Liputan6.com, Palembang - Rendahnya partisipan penyandang disabilitas dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di beberapa periode, memicu tingginya angka golongan putih (golput) dalam pesta rakyat di Indonesia.
Tidak tersedianya sarana dan prasarana (sapras) serta lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang sulit diakses, menjadi alasan kuat penyandang disabilitas memilih golput.
Hal inilah yang disoroti Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan (Sumsel).
Ketua PPDI Musi Banyuasin Sudarman memantau, banyak penyandang disabilitas Musi Banyuasin yang terpaksa memilih golput.
Baca Juga
Advertisement
Salah satunya karena tidak tersedianya sapras yang memadai, untuk mempermudah mereka mencoblos di TPS di Pemilu tahun-tahun sebelumnya.
Bahkan, para tunanetra yang berkesempatan untuk memilih, tidak bisa benar-benar menggunakan hak suaranya secara rahasia. Karena, mereka tidak mendapatkan surat suara huruf braille, yang menyulitkan untuk mengetahui siapa yang akan mereka pilih.
Lalu, besarnya potensi petugas KPU/PPS yang mengarahkan para disabilitas untuk mencoblos siapa sosok yang akan dipilih di Pemilu nantinya.
“Harusnya ada yang didampingi oleh keluarganya, namun banyak juga yang tidak didamping orang terdekatnya, sehingga potensi suara mereka hilang atau digunakan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab juga besar,” katanya kepada Liputan6.com di Musi Banyuasin Sumsel, Selasa (9/1/2024) lalu.
Dia berujar, jumlah disabilitas mencapai 1.000-an orang dari 15 kecamatan di Kabupaten Musi Banyuasin Sumsel. Dilihat dari Pemilu 2019 lalu, para disabilitas banyak yang tidak bisa menggunakan hak suaranya, karena sapras yang tidak memadai di Tempat Pemungutan Suara (TPS), seperti kursi roda atau tongkat.
Hingga saat ini, PPDI Musi Banyuasin belum melihat adanya sosialisasi KPU Musi Banyuasin, yang gencar dilakukan untuk para penyandang disabilitas di 15 kecamatan di Musi Banyuasin Sumsel.
Selain fasilitas tidak memadai, ada juga yang belum terdata atau undangan untuk pencoblosan tidak sampai ke calon pemilih disabilitas. Padahal, para penyandang disabilitas mempunyai KTP, tapi mereka terpaksa golput karena tidak adanya sapras yang memadai.
Dari data PPDI Musi Banyuasin, ada sekitar 80 persen disabilitas yang berasal dari masyarakat kurang mampu dan berpendidikan rendah. Jumlah disabilitas di Musi Banyuasin yang paling banyak berada di kawasan Sekayu dan Kecamatan Lais.
Terpaksa Golput
“Ada juga kawasan yang agak jauh yakni di Kecamatan Rantau Panjang dan Lawang Wetan,yang berpotensi hak suara disabilitas tak bisa tersalurkan,” ujarnya.
Apalagi sejak dia mendatangi beberapa penyandang disabilitas di Kecamatan Sekayu Musi Banyuasin. Ada tunarungu yang terpaksa golput, karena tidak didata sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) selama satu periode Pilpres dan Pileg 2014, serta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Musi Banyuasin dan Sumsel.
Saat melakukan pencoblosan, penyandang disabilitas juga tidak mendapatkan haknya, untuk merahasiakan siapa calon yang dia pilih di Pemilu 2019 lalu. Apalagi petugas yang datang ke rumah disabilitas di Musi Banyuasin, dengan sengaja memamerkan hasil pencoblosan tersebut.
“Salah satu contoh penyandang tunarungu, hasil pencoblosannya malah ditunjukkan ke petugas lainnya. Harusnya dirahasiakan, minimal diketahui oleh orangtuanya saja. Kalau petugas, saksi dan perwakilan partai yang datang tahu semua, itu namanya pelanggaran. Tidak ada lagi rahasia pemilih kalau seperti itu,” ungkapnya.
Kendala Disabilitas di TPS Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) DPD Sumsel Hikmah Meliana membenarkan, jika selama ini penyandang disabilitas di Sumsel kesulitan dalam menggunakan hak pilihnya di setiap pemilihan umum.
Selain sapras yang belum banyak tersedia di TPS-TPS yang didatangi penyandang disabilitas, akses menuju ke TPS juga menyulitkan banyak disabilitas yang terbatas geraknya.
“Harusnya akses ke TPS itu ramah untuk disabilitas, namun akses disabilitas masih belum tersedia. Seperti jalan berlubang ke TPS, yang tidak ramah dengan disabilitas fisik atau kotaknya ketinggian, sehingga sulit memasukkan kertas suara. Harusnya ketinggiannya di bawah 30 sentimeter, yang pakai kursi roda mudah memasukkannya,” ucapnya.
Advertisement
Kendala Sapras Difabel
Hambatan lain yakni tersedianya surat suara dengan huruf braille, tetapi tidak terbaca dan kesalahan pencetakan huruf timbulnya. Belum lagi para penyandang disabilitas dipusingkan dengan banyaknya foto-foto caleg yang tidak diketahui.
Beberapa contoh yang disampaikannya itulah, yang akhirnya membuat para penyandang disabilitas memilih untuk tidak datang ke TPS atau golput. Ditambah dengan tidak adanya penyelenggara Pemilu yang ‘jemput bola’ ke rumah-rumah disabilitas di Sumsel.
“Karena kendala itulah, otomatis kita (penyandang disabilitas) golput. Apalagi rekan-rekan yang mental dan netra, untuk jalan ke sana saja sulit, apalagi untuk mencoblos. Semoga saja di tahun ini ada perubahannya, baik dari akses hingga ke layanan untuk penyandang disabilitas saat pencoblosan nantinya,” katanya.
HWDI Sumsel sudah menyampaikan banyaknya keluhan dari penyandang disabilitas ke KPU, Bawaslu hingga Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel. Namun sejauh ini, belum ada sosialisasi yang didapatkan ke HWDI Sumsel terkait bagaimana proses pencoblosan untuk penyandang disabilitas.
Saat ini, HWDI Sumsel mewadahi sekitar ribuan disabilitas perempuan di Sumsel, tetapi hanya sekitar 50 orang yang aktif mengikuti beragam kegiatan HWDI Sumsel.
Organisasi ini juga sudah mengepakkan sayapnya di beberapa daerah di Sumsel, seperti Kota Palembang, Kota Prabumulih, Kabupaten Ogan Ilir, Muara Enim, OKI dan lainnya, yang banyak menaungi penyandang disabilitas fisik.
Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismahartini mengatakan, beberapa waktu lalu Kementerian Sosial (Kemensos) sudah berdiskusi dengan KPU untuk ketersediaan fasilitas pemilih disabilitas di Indonesia, agar mereka bisa berpartisipasi dalam Pemilu 2024 mendatang.
Suara Mensos
“Tapi kan saya bukan penyelenggara, hanya menyampaikan apa yang dibutuhkan saja,” kata Mensos Risma usai mengunjungi pasien operasi katarak gratis di RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang Sumsel, Jumat (24/11/2023) lalu.
Ada beberapa kendala dalam penyediaan sapras bagi pemilih disabilitas, seperti penyediaan kertas suara berhuruf braille bagi tunanetra. Karena yang mengerti tulisan braille hanyalah tunanetra yang mengenyam pendidikan saja. Sedangkan, tunanetra yang tidak bersekolah, tidak akan mengerti huruf-huruf braille.
Lalu, banyaknya foto calon-calon di Pemilihan Legislatif (Pileg) yang menyulitkan para penyandang disabilitas untuk memilih. Berbeda dengan Pilpres 2024 yang hanya 3 pasangan calon (paslon). Sehingga dibutuhkan pemandu khusus yang sudah diminta ke KPU agar disediakan di TPS-TPS yang menunjang pemilih disabilitas.
“Itulah masalahnya (sapras minim), saat pun saya mencoba menjangkau. Jangankan Pemilu,untuk kehidupan mereka bisa survive itu pun sulit. Ada yang pernah kita tolong, dikasih kursiroda karena tidak bisa jalan, tapi rumahnya di tepi jurang, itu jadi berbahaya. Inilah situasi yangsedang kita pikirkan, bagaimana mereka bisa hidup layak dan lebih baik lagi,” katanya.
Tak hanya penyandang disabilitas saja yang diperjuangkan Kemensos, agar diakomodir di Pemilu 2024 saja. Mensos Risma juga sedang memperjuangkan hak-hak para penyandang Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Banyak masyarakat yang takut dengan ODGJ, padahal menurut Risma, ODGJ bisa diobati seperti orang normal pada umumnya. Hal itulah yang sedang dikampanyekan oleh Kemensos.
“Selain melakukan operasi katarak se-Indonesia, kami juga melakukan campaign pembebasan pasung, kita bawa pengobatan. Kalau dulu minum pil tiap hari, kalau sekarang bisa suntik hari ini, bulan depan suntik lagi. Saya akan coba pakai itu untuk campaign itu,” ucapnya.
Advertisement