Liputan6.com, Jakarta - Perang Hamas Vs Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 telah memasuki hari ke-105 pada Jumat (19/1/2024). Dilansir Al Jazeera yang mengutip dari otoritas kesehatan setempat, setidaknya 24.448 warga Palestina di Jalur Gaza tewas dan 61.504 lainnya terluka.
Angka kematian didominasi oleh anak-anak dan perempuan dan boleh jadi jumlahnya jauh melampaui yang tercatat mengingat masih banyak yang berstatus hilang.
Advertisement
"Skala dan kekejaman yang dilakukan Israel terhadap Jalur Gaza benar-benar mengejutkan. Selama 100 hari masyarakat Gaza mengalami penderitaan luar biasa. Tidak ada tempat yang aman dan seluruh penduduk berisiko mengalami kelaparan," ujar Direktur Timur Tengah Oxfam Sally Abi Khalil, seperti dikutip dari situs web organisasi nirlaba tersebut.
"Tidak dapat dibayangkan bahwa komunitas internasional menyaksikan tingkat konflik paling mematikan di Abad ke-21."
Perang Hamas Vs Israel juga dilabeli sebagai yang paling mematikan bagi jurnalis.
"Perang di Gaza adalah situasi paling berbahaya bagi jurnalis yang pernah kita saksikan dan angka-angkanya menunjukkan hal itu dengan jelas," tutur koordinator program Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) di Timur Tengah dan Afrika Utara Sherif Mansour, seperti laporan Reuters pada 22 Desember 2023.
Tentara Israel telah membunuh lebih banyak jurnalis dalam 10 pekan dibanding tentara atau entitas lain dalam satu tahun. "Dan dengan setiap jurnalis yang tewas, perang ini menjadi lebih sulit untuk didokumentasikan dan dipahami."
CPJ dalam pernyataannya pada Rabu (17/1), mencatat kematian 83 jurnalis dan pekerja media akibat Perang Hamas Vs Israel, dengan rincian 76 orang jurnalis Palestina, empat warga Israel, dan tiga warga Lebanon. Selain itu, 16 jurnalis dilaporkan terluka, tiga hilang, dan 25 lainnya ditangkap.
Setelah melakukan perjalanan keempatnya ke Jalur Gaza sejak perang meletus, kepala Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) menuturkan bahwa wilayah kantong itu telah semakin putus asa. Dia kembali menyerukan gencatan senjata segera.
"Setiap orang yang saya temui memiliki kisah pribadi tentang ketakutan, kematian, kehilangan, dan trauma, untuk dibagikan," ungkap kepala UNRWA Philippe Lazzarini.
"Masyarakat Gaza telah beralih dari keterkejutan karena kehilangan segalanya, bahkan seluruh anggota keluarga mereka - ke perjuangan untuk tetap hidup dan melindungi orang-orang yang mereka cintai.
Lazzarini menekankan, "Tidak ada pemenang dalam perang ini. Yang ada hanya kekacauan tak berkesudahan dan keputusasaan yang semakin besar. Saya sekali lagi menyerukan gencatan senjata kemanusiaan segera."
Sementara itu, laporan TV Israel Channel 12 menyebutkan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu mengatakan kepada para ketua dewan lokal dari komunitas di dekat Gaza pada Selasa (16/1), dia mengantisipasi perang melawan Hamas akan berlanjut hingga tahun 2025.
Netanyahu pada Sabtu (13/1) dengan percaya diri juga mengatakan bahwa Israel akan melanjutkan perang melawan Hamas sampai menang dan itu tidak akan dapat dihentikan oleh siapa pun, termasuk Mahkamah Internasional (ICJ).
"Kita tentu bisa melihat bahwa bagi Netanyahu adalah tidak ada cara lain untuk keluar dari peperangan ini selain obsesinya untuk memenangkan perang. Tapi kan realitasnya hingga 100 hari ini tanda-tanda kemenangan Israel juga belum tampak dan potensi untuk mendapatkan kemenangan strategis juga diragukan, sementara katakan lagi ini sudah berjalan sedemikian rupa, korban sudah sangat banyak," tutur pengamat urusan Timur Tengah dari Universitas Indonesia Yon Machmudi, kepada Liputan6.com, Kamis (18/1).
"Maka dengan itu, saya kira Netanyahu memang membutuhkan way out, cara keluar dari peperangan ini secara terhormat, dia tidak mau kehilangan muka dan biaya sudah terlalu besar. Korban di pihak Israel juga cukup besar."
Yon menuturkan bahwa salah satu cara menciptakan perdamaian adalah melalui mediasi.
"Dalam hal ini, saya kira Qatar menjadi negara yang punya peluang besar untuk dapat memberikan solusi atas peperangan," beber Yon.
"Negosiasi antara Israel dan Hamas yang dimediasi oleh Qatar bisa membuahkan salah satu pertukaran tahanan dan juga dilakukan ceasefire (gencatan senjata). Nah, ini saya kira yang bisa dilakukan karena tidak mungkin untuk melanjutkan perang dalam waktu yang lama sementara dukungan internasional juga semakin berkurang."
Mendorong Andil Negara-negara Berpengaruh
Nama Qatar memang tidak asing sebagai mediator konflik Hamas Vs Israel. Amerika Serikat (AS) tentu saja memainkan peran, begitu pula Mesir. Namun, Qatar adalah penengah utama.
Jauh sebelum perang terbaru Hamas Vs Israel pecah, negara Teluk yang kecil namun kaya ini telah memiliki reputasi sebagai mediator, terutama dalam negosiasi penyanderaan. Citra tersebut dinilai sengaja dibangun Qatar, yang mengelola hubungan pragmatis dengan para pemain utama di kawasan - menjadi semacam perantara antara pihak-pihak yang tidak akur.
Qatar tidak hanya signifikan karena salah satunya menjadi tuan rumah pangkalan militer AS yang penting untuk operasi di Suriah dan Irak, namun negara ini pula memiliki hubungan baik dengan kelompok-kelompok Islam, termasuk Hamas yang cabang politiknya memiliki kantor di Doha.
Fakta tersebut jelas memberikan Qatar pengaruh dan yang terpenting: akses. AS dan Israel tidak bernegosiasi langsung dengan Hamas maka Qatar adalah perantara yang sangat diperlukan. Melansir VOX, Qatar juga memainkan peran perantara antara AS dan Taliban sebelum keduanya merundingkan perjanjian damai secara langsung di Doha.
Hubungan terbuka Qatar dengan Taliban disebut telah membantu memfasilitasi evakuasi dari Afghanistan pasca jatuhnya Kabul pada tahun 2021, dan bahkan setelahnya.
Ketika ditanya peluang negara lain menjadi mediator perdamaian seperti China atau bahkan Indonesia, Yon mencatat sejumlah hal.
"China harusnya lebih agresif ya di dalam hal menawarkan alternatif solusinya guna memediasi konflik antara Israel dan Palestina yang sudah cukup panjang karena tentu tidak mungkin menyerahkan urusan ini kepada AS. AS kan tidak lagi menunjukkan sikap yang objektif, tetapi justru berpihak dan mendukung Israel," beber Yon.
Menteri Luar Negeri (Menlu) China Wang Yi beberapa hari lalu menyerukan konferensi perdamaian yang lebih besar terkait konflik Israel-Palestina.
"China mendesak diadakannya konferensi perdamaian internasional berskala lebih besar, lebih otoritatif dan lebih efektif; perumusan jadwal dan peta jalan yang spesifik untuk penerapan solusi dua negara; dan dukungan untuk segera dimulainya kembali perundingan perdamaian Israel-Palestina," ungkap Wang Yi seperti dikutip dari Reuters.
Dalam kesempatan berbeda, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning mengatakan, peta jalan yang dimaksud harus mengikat.
Melalui pernyataan bersama dengan Sekretaris Jenderal Liga Arab pada Minggu (14/1) mengenai konflik di Jalur Gaza, Menlu Wang Yi menggarisbawahi, "Negara-negara berpengaruh, khususnya, perlu memainkan peran objektif, tidak memihak dan konstruktif dalam hal ini."
Terkait peran Indonesia, Yon menuturkan Indonesia harus tetap melakukan kegiatan-kegiatan yang menunjukkan dukungan terhadap Palestina.
"Karena itu adalah kapasitas Indonesia untuk menjaga moral internasional berkaitan dengan kekejian, tragedi kemanusiaan yang ada di Gaza yang dilakukan oleh Israel. Ada perbedaan pandangan antara negara-negara yang terlibat dengan pendudukan penjajahan dengan negara-negara yang menjadi korban penjajahan yang biasanya mereka anti terhadap pendudukan Israel, sementara negara-negara Eropa cenderung memberikan semacam legitimasi terhadap aksi self-defense yang dilakukan Israel yang ujungnya adalah justru melakukan pemusnahan secara massal," ungkap Yon.
"Nah ini saya kira yang harus diperhatikan betul-betul tentang peran Indonesia agar kemudian bisa menjadi standar moral pertama, kemudian yang kedua, negosiasi pembicaraan dengan negara-negara yang memiliki potensi kuat dalam menyelesaikan ini, dalam hal ini adalah Qatar, tentu harus lebih diperkuat agar mediasi itu bisa dilakukan dan tentu juga bisa menghentikan peperangan."
Advertisement
Normalisasi Hubungan Israel dan Arab Saudi Jadi Elemen Kunci?
Berbicara di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, pada Kamis, Presiden Israel Isaac Herzog mengklaim bahwa normalisasi hubungan antara Israel dan Arab Saudi adalah elemen kunci untuk mengakhiri perang dengan Hamas dan membawa perubahan bagi seluruh Timur Tengah.
"Kondisinya masih sulit, rapuh, dan memakan waktu lama, namun menurut saya ini adalah peluang bagi dunia untuk bergerak maju dan menuju masa depan kawasan yang lebih baik lagi," ujar Herzog, seperti dilansir AP.
Pernyataan Herzog muncul setelah Menlu Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan dalam forum yang sama menyatakan pihaknya setuju bahwa perdamaian regional termasuk perdamaian bagi Israel.
"Tetapi hal itu hanya bisa terjadi melalui perdamaian bagi Palestina, melalui (berdirinya) negara Palestina," kata Pangeran Faisal bin Farhan.
Hal senada disampaikan pula oleh Menlu AS Antony Blinken yang menyatakan bahwa berdirinya negara Palestina dapat membantu meningkatkan keamanan Israel dan hubungannya dengan negara-negara lain di kawasan.
Solusi Dua Negara dan Pertanyaan dari Israel
PM Netanyahu dan koalisi pemerintahan sayap kanannya tegas menentang konsep solusi dua negara sebagai penyelesaian konflik Israel-Palestina. Herzog, yang peran seremonialnya dimaksudkan sebagai pemersatu nasional, juga mengaku dukungan publik terhadap solusi dua negara rendah karena warga Israel yang trauma setelah serangan Hamas pada 7 Oktober fokus pada keselamatan mereka sendiri.
"Ketika sebuah negara maju dan menyebutkan solusi dua negara, pertama-tama mereka harus menjawab pertanyaan awal, yang merupakan pertanyaan inti bagi manusia: Apakah kami benar-benar mendapatkan keamanan?" kata Herzog.
"Warga Israel kehilangan kepercayaan terhadap proses perdamaian karena mereka melihat bahwa teror diagung-agungkan oleh negara-negara tetangga kami."
Solusi dua negara yang telah lama mandek akan membuat Israel dan Palestina saling mengakui kemerdekaan masing-masing dan hidup berdampingan sebagai dua negara yang independen.
Advertisement