Protes Bisnis Spa Kena Pajak Hiburan 40%-75%, Pengusaha: Pemerintah Salah Kaprah

Pengusaha spa memprotes keras atas penggolongan bisnis spa ke dalam kelompok hiburan tertentu yang akan dikenakan pajak mulai dari 40 persen hingga 75 persen. Ketentuan ini diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah alis UU HKPD.

oleh Tim Bisnis diperbarui 18 Jan 2024, 19:00 WIB
Pengusaha spa memprotes keras atas penggolongan bisnis spa ke dalam kelompok hiburan tertentu yang akan dikenakan pajak mulai dari 40 persen hingga 75 persen. Ketentuan ini diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah alis UU HKPD.(Foto: Dokumen/GROHE)

Liputan6.com, Jakarta Pengusaha spa memprotes keras atas penggolongan bisnis spa ke dalam kelompok hiburan tertentu yang akan dikenakan pajak hiburan mulai dari 40 persen hingga 75 persen. Ketentuan ini diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah alis UU HKPD.

Ketua Wellness Healthcare Entrepreneur Association (WHEA) Agnes Lourda Hutagalung mengatakan, penggolongan bisnis spa sebagai hiburan tertentu dalam UU HKPD bertentangan dengan Undang Undang Nomor 10 tahun 2010 tentang Kepariwisataan. 

Sebab, dalam Pasal 14 UU Pariwisata, usaha SPA tidak merupakan jenis usaha yang berbeda dengan penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi.

"Kami menilai pemerintah salah kaprah jika menggolongkan spa ke dalam kelompok hiburan yang dikenakan pajak dari mulai 40 persen," kata Lourda dalam acara konferensi pers Kenaikan Pajak Hiburan di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (18/1).

Menurut Lourda, bisnis SPA merupakan bagian dari kelompok perawatan kesehatan atau wellness sebagai payung besarnya. Adapun cakupan utama bisnis spa ialah promosi (promotion) dan pencegahan (prevention).

"Kami menilai, SPA lebih tepat dikelompokkan berbeda dari kegiatan usaha hiburan atau rekreasi sebagaimana yang diatur di dalam UU Pariwisata. Apalagi, secara definisi SPA memang bukan bagian dari aktivitas hiburan melainkan perawatan kesehatan,"  jelasnya.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi besar dalam pengembangan industri spa. Mengingat, setiap daerah di Indonesia memiliki keunikan tersendiri di bidang spa untuk kesehatan dan kebugaran. 

"Dengan kondisi seperti ini kami baru bisa menemukan 15 etnik pola pengobatan untuk kesehatan dan kebugaran dengan berbagai bukti empirisnya yang di lakukan oleh para ahli yang tergabung dalam Assosiasi IWMA yang dikenal dengan Etnaprana," ucapnya.

 


Keberlanjutan Bisnis Spa

Ketua Wellness Healthcare Entrepreneur Association (WHEA) Agnes Lourda Hutagalung mengatakan, upaya penundaan pungutan pajak bisnis spa hingga 75 persen tersebut bukanlah sebuah solusi.

Oleh karena itu, Lourda mendesak pemerintah agar lebih memperhatikan keberlanjutan bisnis spa di Indonesia  agar bisa berbicara lebih banyak di kancah internasional. Antara lain dengan memberikan insentif pajak khusus hingga 0 (nol) persen untuk bisa berkontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia.

"Dan setelah berkembang pesat

baru dikenakan pajak sebagaimana mestinya, karena untuk menerapkan standard spa

wellness yang telah ditentukan oleh pemerintah tidak mudah karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga jika ditambah beban pajak yang tinggi, tentu akan berdampak

pada Kesehatan finansial pelaku usahanya," pungkas Lourda.

 

 


Kata Kemenkeu

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Lydia Kurniawati Christyana, membeberkan alasan Pemerintah menaikkan tarif pajak hiburan dengan batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen untuk hiburan tertentu, seperti diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan merespon protes pengusaha atas pengenaan pajak diskotek, karaoke, kelab malam, bar, hingga spa mulai dari 40 persen sampai dengan 75 persen. Besaran pungutan pajak ini diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah atau UU HKPD.

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Lydia Kurniawati Christyana mengatakan, pengenaan besaran pajak 40 persen hingga 75 persen tersebut karena penikmat hiburan karaoke hingga spa tersebut berasal dari masyarakat kalangan tertentu. 

"Bahwa untuk jasa hiburan spesial tertentu tadi dikonsumsi masyarakat tertentu. Sehingga, tidak dikonsumsi oleh masyarakat secara terbuka atau masyarakat kebanyakan," ujar Lydia dalam Media Briefing di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (16/1).

Lanjutnya, pengenaan pajak hiburan khusus tersebut telah mendapatkan persetujuan dari DPR RI. Dalam proses pembahasan UU HKPD bersama DPR RI disepakati bahwa besaran pungutan pajak hiburan karaoke hingga spa mulai dari 40 persen hingga 75 persen.

"Jadi, dalam dinamika pembahasan bersama DPR maka ketemu lah angka segitu," ucap Lydia.

Selain itu, kinerja keuangan bisnis karaoke, diskotek, hingga spa juga telah berhasil pulih ke level sebelum pandemi. Lydia mencatat, pendapatan pajak daerah dari hiburan khusus tersebut mencapai Rp2,4 triliun pada 2019 lalu. Sedangkan, data internal untuk tahun 2023 berjalan telah terkumpul Rp2,2 triliun.

"Jadi, 2019 total pendapatan dari pajak hiburan adalah tertentu Rp2,4 triliun. Covid 2020 turun tuh terjun Rp787 miliar. Di 2021, makin turun Rp477 miliar. Lalu covid 2022, itu naik dari Rp 477 miliar menjadi Rp1,5 triliun. Dan sekarang sudah hampir mendekati sebelum covid, data kami di 2023  sementara itu Rp2,2 triliun," beber Lydia.

Lydia menyebut bahwa UU HKPD juga tetap membuka ruang bagi pelaku usaha diskotek, karaoke, hingga spa untuk mengajukan insentif bagi yang merasa kesulitan untuk membayarkan kewajiban pajaknya. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 101 UU HKPD.

Infografis Heboh Kenaikan Pajak Hiburan 40-75 Persen. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya