Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Badung, Bali berupaya memfasilitasi keberatan pelaku pariwisata setempat yang memiliki usaha di bidang hiburan seiring tarif pajak yang mengalami kenaikan 40%-75%. Pemkab Badung akan merumuskan kebijakan dan instrumen hukum untuk meringankan wajib pajak.
Sekretaris Daerah Kabupaten Badung, I Wayan Adi Arnawa menuturkan, pelaku usaha pariwisata yang bergerak di bidang usaha hiburan keberatan dengan kenaikan tarif pajak hiburan.
Advertisement
"Oleh sebab itu, kami sedang mencoba merumuskan instrumen hukum untuk membantu atas keberatan-keberatan pelaku pariwisata dengan mencarikan celah hukum dalam rangka meringankan sesuai dengan kebijakan fiskal kami,” ujar Adi di Mangupura, seperti dikutip dari Antara, Kamis (18/1/2024).
Adapun pajak hiburan tertentu di Badung ditetapkan sebesar 15 persen sebelum penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Adi Arnawa pun meminta Plt Kepala Bapenda, Kabag Hukum dan Kadisparda Badung untuk segera merumuskan pengurangan dan keringanan pajak hiburan secara jabatan setelah mengikuti pertemuan virtual dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Wamenkeu Suahasil Nazara terkait penyamaan persepsi tentang pajak hiburan tertentu berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2022.
“Kalau kami tetap menggunakan tarif 15 persen, maka akan terjadi pengurangan sebesar 25 persen dari tarif batas bawah 40 persen,” ujar dia.
Ia menuturkan, berdasarkan kebijakan itu, pembayaran pajak hiburan tertentu di Kabupaten Badung berada di kisaran 15 persen sesuai dengan tarif lama.
“Pola inilah yang akan secepatnya dirumuskan oleh Pemkab Badung, sehingga pemerintah daerah bisa segera mengundang pelaku usaha untuk melakukan sosialisasi terkait tarif pajak hiburan tertentu di Kabupaten Badung,” tutur Adi Arnawa.
Pertimbangan Pemkab Badung Bali
Adi mengatakan, meski kebijakan itu dinilai akan berdampak terhadap pendapatan asli daerah, tetapi Pemkab Badung memiliki perhatian tinggi terhadap perkembangan pariwisata di Bali atau Badung pada masa pemulihan setelah pandemi COVID-19.
Adi menuturkan, pihaknya tidak hanya berpikir untuk peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) tetapi bagaimana dapat mempertimbangkan aspek sosial dan sosiologis pengusaha yang sedang bangkit. Hal itu juga dinilai akan berdampak multidimensional.
“Kami akan mencoba sesuai perintah Bapak Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta bagaimana agar sebisa mungkin meringankan wajib pajak meskipun kami butuh uang. Dan saya melihat ada celah hukum untuk memenuhi keinginan teman-teman pelaku usaha hiburan,” kata Adi.
Advertisement
Perintah Menko Luhut: Tunda Kenaikan Pajak Hiburan 40%-75%
Sebelumnya diberitakan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ikut buka suara terkait pajak hiburan naik berkisar 40-75 persen. Dia langsung mengambil keputusan kalau penerapan pajak hiburan ditunda sementara waktu.
Diketahui, aturan kenaikan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). Merespons ini, banyak kalangan pengusaha melayangkan protes.
Menko Luhut mengaku mendapat kabar ini ketika berada di Bali. Dia langsung mengambil langkah cepat dengan memanggil sejumlah pejabat terkait. Pemerintah memutuskan untuk menunda terlebih dahulu.
Jadi kita mau tunda dulu aja pelaksanaannya, itu satu. Karena itu dari komisi XI DPR RI kan itu sebenarnya, jadi bukan dari pemerintah ujug-ujug terus jadi gitu," ujar Luhut melalui Instagram @luhut.pandjaitan, Rabu (17/1/2024).
Penundaan Kenaikan Pajak Hiburan
Keputusan penundaan kenaikan pajak hiburan juga sejalan dengan adanya gugatan judicial review oleh sejumlah pengusaha ke Mahkamah Konstitusi (MK). Di sisi lain, Luhut menimbang dampak dari kenaikan pajak hiburan bisa berimbas pada rakyat kecil.
"Sehingga kemarin kita putuskan ditunda, kita evaluasi dan kemudian ada judicial review ke MK kan. Saya pikir itu harus kita pertimbangkan. Karena kita, keberpihakan kita kepada rakyat kecil sangat tinggi karena itu banyak menyangkut pada pedagang-pedagang kecil juga," tuturnya.
Adanya potensi pedagang kecil dan lainnya yang terdampak itu, Menko Luhut tak melihat alasan lain untuk menerapkan kenaikan pajak hiburan dalam waktu dekat.
"Jadi yang hiburan itu jangan hanya dilihat diskotek, bukan ini banyak, sekali lagi, impact pada yang lain, orang yang menyiapkan makanya yang jualan dan yang lain sebagainya. Saya kira saya sangat pro dengan itu, dan saya tidak melihat alasan untuk kita menaikkan pajak dari situ," tegas Luhut Binsar Pandjaitan.
Advertisement
Evaluasi Dampak Kenaikan Pajak Hiburan
Pada kesempatan itu, melalui keterangan dalam unggahan di Instagram pribadinya, Luhut mengatakan telah mengumpulkan sejumlah pejabat di instansi terkait. Dia juga menimbang untuk melakukan evaluasi terlebih dahulu. Utamanya, terkait dampak penerapan pajak terhadap kelompok pengusaha kecil.
"Pertama, terkait kenaikan pajak hiburan. Saya sebenarnya sudah mendengar ini sejak beberapa waktu lalu. Sehingga saat itu saya langsung mengambil inisiatif dengan mengumpulkan instansi terkait untuk membahas masalah ini. Saya berpendapat wacana ini perlu ditunda dulu pelaksanaannya, untuk kami evaluasi bersama apa dampaknya pada rakyat. Terutama mereka para pengusaha kecil," urainya.
Menko Luhut menegaskan, pada konteks industri hiburan tadi, tidak terbatas pada usaha-usaha berskala besar. Tapi ada pengusaha kecil lain dalam ekosistem industri hiburan tersebut.
"Yang perlu masyarakat ketahui adalah, industri hiburan bukan hanya berisi karaoke dan diskotik saja. Ada banyak pekerja yang sumber penghasilannya bergantung pada para penyedia jasa hiburan baik skala kecil sampai menengah. Atas dasar itulah, saya merasa belum ada urgensi untuk menaikkan pajak ini," tulisnya.