Liputan6.com, Jakarta - Calon wakil presiden nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka kembali memancing keributan dengan mencetuskan pertanyaan soal greenflation. Pertanyaan itu dilontarkan kepada cawapres nomor urut 3 Mahfud Md.
"Bagaimana cara mengatasi greenflation? Terima kasih," tanya Gibran kepada Mahfud dalam Debat Capres Cawapres 2024 ke-4 yang berlangsung di JCC Senayan, Jakarta, Minggu (21/1/2024).
Advertisement
Gibran hanya memanfaatkan kurang dari 10 detik dari 60 detik yang disediakan untuk melontarkan pertanyaan tersebut. Sejumlah pendukung bereaksi karena ia melontarkan istilah tanpa penjelasan hingga membuat Gibran kembali bersuara.
"Ini tadi tidak saya jelaskan karena kan beliau seorang profesor," kilah Gibran.
Moderator pun mengingatkan kembali aturan main bahwa istilah harus diperjelas. "Greenflation adalah inflasi hijau, sesimpel itu," jawab Gibran.
Mahfud Md akhirnya berusaha menjawab pertanyaan sesuai definisi singkat yang diberikan Gibran. Menurut pemahamannya, greenflation terkait dengan ekonomi hijau dan ekonomi hijau berkaitan dengan ekonomi sirkular. Berdasarkan hal itu, ia meyakini bahwa masyarakat Indonesia, khususnya di Madura, sudah memiliki kearifan lokal.
"Orang Madura itu yang memunguti sampah-sampah, plastik-plastik, lalu diolah sehingga ekonomi sirkular itu jadi kesadaran masyarakat. Bagaimana mengatasi itu, ya diatur saja jatahnya. Di sini sudah ada kecenderungannya begini, kebijakannya begini," ucapnya.
Namun, jawaban itu tak memuaskan Gibran. Ia kembali menyerang Mahfud dalam debat. "Saya lagi nyari jawabannya Prof Mahfud. Saya nyari-nyari di mana jawabannya, kok nggak ketemu jawabannya? Saya tanya masalah inflasi hijau kok malah jelaskan ekonomi hijau?"
Penjelasan Greenflation Versi Gibran
Gibran pun melanjutkan kalimatnya. "Namanya greenflation, kita kasih contoh yang simpel aja, demo rompi kuning di Prancis, bahaya sekali, sudah memakan korban. Harus kita antisipasi, kita belajar dari negara maju. Negara-negara maju aja masih ada tantangan-tantangannya," ucap putra sulung Presiden Joko Widodo itu.
Ia menambahkan agar transisi energi hijau harus dilakukan super hati-hati. "Jangan sampai membebankan R&D yang mahal, transisi yang mahal ke masyarakat kecil," katanya.
Tanggapan Gibran memancing emosi Mahfud. Saat moderator mempersilakannya untuk menanggapi pertanyaan tersebut, Mahfud menyatakan tak berkenan untuk menjawab. Ia membalas ucapan Gibran dengan menjawab pertanyaan soal greenflation adalah pertanyaan receh.
"Saya ingin mencari, jawabannya ngawur juga. Ngarang-ngarang ndak karuan mengaitkan sesuatu yang tidak ada. Kalau akademis, bertanya-tanya gitu itu recehan. Oleh sebab itu, itu tidak layak dijawab. Saya kembalikan ke moderator. Ndak ada jawabannya. makasih," ujarnya.
Moderator kembali berusaha meminta Mahfud menanggapi pernyataan Gibran. Tapi, Mahfud menolak. "Ndak ada gunanya menjawab," katanya.
Advertisement
Benarkah Greenflation Terkait Demo Rompi Kuning?
Demo rompi kuning merujuk pada gerakan massa berompi kuning yang turun ke jalan-jalan di Paris sejak November 2018. Menurut AFP, demo digelar massa yang menyuarakan persepsi mereka atas ketidakadilan ekonomi dan pemerintahan Prancis di bawah pimpinan Presiden Emmanuel Macron.
Mengutip kanal Global, rompi kuning merujuk pada pakaian keselamatan kerja. Gerakan Rompi Kuning di Prancis fokus ke berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kelas pekerja. Pada 2018, Presiden Prancis Emmanuel Macron akhirnya berjanji untuk menaikkan upah dan meringankan pajak setelah demo Rompi Kuning.
Menurut euroactiv, pajak yang dimaksud adalah pajak karbon yang menaikkan harga BBM, sehingga memicu protes. Pajak tersebut merupakan strategi Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk membiayai pengembangan energi bersih. Namun, banyak rakyat Prancis tidak senang dengan kondisi hidup mereka saat ini dan merasa 'tidak pernah didengar' oleh pemerintah.
Demo Rompi Kuning itu terus berlangsung sampai September 2019. Demonstrasi itu berlangsung rusuh sampai petugas menggunakan gas air mata. Protes tersebut bertepatan dengan demonstrasi oleh aktivis iklim dan pawai terpisah oleh serikat pekerja sayap kiri menentang reformasi pensiun yang direncanakan.
Apa Sebenarnya Greenflation?
Mengutip euronews, Minggu (21/1/2024), anggota Dewan Energi, Lingkungan dan Air (CEEW) Vaibhav Chaturvedi menjelaskan bahwa greenflation adalah biaya yang terkait dengan upaya ramah lingkungan, sebagai suatu kekhawatiran, terutama dalam jangka pendek. Harga logam seperti timah, aluminium, tembaga, nikel-kobalt, misalnya, telah meningkat hingga 91 persen pada 2021. Logam-logam itu digunakan dalam teknologi yang merupakan bagian dari transisi energi.
Di sisi lain, Chaturvedi melihat penurunan biaya pendanaan untuk proyek-proyek energi terbarukan sebagai “pengaruh yang besar” untuk melawan kenaikan biaya-biaya mendasar. Pasar energi terbarukan global – bernilai lebih dari USD881 miliar (€781 miliar) pada 2020 – diperkirakan akan meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi hampir USD2 triliun (€1,8 triliun) pada 2030, menurut proyek Allied Market Research.
Sementara, greenflation menurut Isabel Schnabel, anggota Dewan Eksekutif Bank Sentral Eropa, adalah paradoks yang dihadapi dalam melawat perubahan iklim. Intinya, semakin cepat dan mendesak untuk berubah menuju energi yang lebih hijau, semakin mahal biaya yang harus ditanggung dalam jangka waktu pendek.
Dampak dari greenflation lebih tidak kentara dibandingkan climateflation dan fossilflation. Banyak perusahaan yang mengadaptasi proses produksinya dalam upaya mengurangi emisi karbon. Namun, sebagian besar teknologi ramah lingkungan memerlukan sejumlah besar logam dan mineral, seperti tembaga, litium, dan kobalt, terutama selama masa transisi. Kendaraan listrik, misalnya, menggunakan mineral enam kali lebih banyak dibandingkan kendaraan konvensional.
Advertisement