Heboh Dibahas dalam Debat Cawapres, Ekonom Bocorkan Jurus Cegah Green Inflation di Indonesia

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, sejauh ini belum ada dampak serius yang ditimbulkan dari green inflation atau inflasi hijau di Indonesia.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 22 Jan 2024, 13:23 WIB
Ilustrasi Inflasi (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta- Green inflation atau inflasi hijau menjadi salah satu topik yang dibahas dalam Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) ke-4, pada Minggu 21 Januari 2024 malam.

Pembahasan green inflation bermula ketika Cawapres Nomor Urut 2 Gibran Rakabuming Raka bertanya kepada Cawapres Nomor Urut 3 Mahfud MD mengenai cara mengatasi green inflation atau inflasi hijau.

Usai debat, green inflation dengan cepat menjadi topik yang ramai diperbincangkan masyarakat luas di internet. Inflasi hijau pun tak terlepas dari upaya Indonesia mewujudkan transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, sejauh ini belum ada dampak serius yang ditimbulkan dari inflasi hijau di Indonesia.

“Dampaknya belum ada di Indonesia. Sejauh ini bauran energi terbarukan masih sangat kecil,” ungkap Bhima kepada Liputan6.com, dikutip Senin (22/1/2024).

Bhima melihat, yang menyebabkan inflasi sejauh ini sebagian besar masih pada energi fosil. “Sementara yang justru sebabkan kenaikan inflasi adalah energi fossil yang harga nya fluktuatif,” jelasnya.

Hal itu ditambah dengan impor minyak dan gas (migas) di Indonesia yang sangat besar.

Meskipun demikian, Bhima mengungkap, ada solusi jika inflasi hijau terjadi di tengah upaya Indonesia melakukan transisi energi.

“Andai terjadi tekanan pada biaya transisi energi maka solusinya adalah mencabut subsidi dan insentif energi fosil kemudian digeser ke energi terbarukan. Cara itu akan efektif mitigasi green inflation,” imbuh Bhima.

 


Apa Itu Greenflation, Disinggung Gibran dalam Debat Cawapres 2024

Pedagang sayuran menunggu pembeli di sebuah pasar di Jakarta, Rabu (1/4/2020). Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pada Maret 2020 terjadi inflasi sebesar 0,10 persen, salah satunya karena adanya kenaikan harga sejumlah makanan, minuman, dan tembakau. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Green inflation atau inflasi hijau menjadi salah satu topik yang dibahas dalam Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) 2024 pada Minggu (21/1).

 Pembahasan inflasi hijau terjadi ketika Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2 Gibran Rakabuming Raka bertanya kepada Calon Wakil Presiden Nomor Urut 3 Mahfud MD mengenai cara mengatasi greenflation.

Mahfud MD pun menjawab bahwa menangani greenflation sama dengan menjalankan ekonomi hijau dimana proses pemanfaatan produk ekonomi dan dimanfaatkan didaur ulang dan bukan dibuang.

Mengutip laman COBS Insights, Senin (21/1/2024) inflasi hijau merupakan kenaikan harga barang dan jasa (inflasi) sebagai konsekuensi transisi perekonomian saat ini, ke perekonomian yang lebih ramah lingkungan atau ekonomi net-zero

Atau menurut Philonomist, Inflasi hijau mengacu pada kenaikan harga bahan mentah dan energi sebagai akibat dari transisi hijau.

Meski demikian, penting juga untuk diingat bahwa tidak semua kenaikan harga disebabkan oleh inflasi hijau.

 


Contoh

Dikutip dari Philonomist, salah satu contoh adalah kebijakan pajak karbon, yang masuk akal dari sudut pandang lingkungan hidup, namun di sisi lain menyebabkan harga bahan bakar naik. 

Hal itu yang memicu gerakan protes Rompi Kuning di Prancis pada tahun 2018. 

Kemudian dari segi logam strategis, harga litium yang digunakan untuk membuat baterai mobil listrik meningkat sebesar 400 persen pada tahun 2021. Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut, sementara permintaan litium global diperkirakan meningkat hingga 40 kali lipat pada tahun 2040.

Hal yang sama berlaku untuk aluminium, yang digunakan untuk menghasilkan energi surya dan angin, yang harganya naik dua kali lipat antara tahun 2021 dan 2022, dan mencapai titik tertinggi sepanjang masa. 

Tren ini juga diperkirakan akan bertahan lama, karena China, yang memproduksi 60 persen dari seluruh aluminium, telah memutuskan untuk membatasi produksi pabrik baru yang berpolusi tinggi, untuk mencapai netralitas karbon. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya