Liputan6.com, Jakarta Harga nikel kian mengalami kemerosotan pada awal 2024 ini. Harga nikel berjangka di London Metal Exchange (LME) pada Senin (22/1/2024) ditutup turun 0,18 persen menjadi USD 16.007 per ton.
Anjloknya harga nikel diklaim turut dipengaruhi oleh lithium ferrophosphate (LFP) sebagai alternatif bahan baku kendaraan listrik. LFP sendiri saat ini tengah hangat diperbincangkan sebagai komponen yang lebih murah dan mudah dibanding nikel.
Advertisement
"Iya, (harga nikel terdampak LFP) selama ada pembanding. Jadi kalau hanya satu komoditi begitu permintaan tinggi, maka supply rendah, harga naik," ujar Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto saat ditemui di Pullman Jakarta Indonesia Thamrin CBD, Selasa (23/1/2024).
"Begitu ada pesaing, maka orang akan melihat pesaingnya, sehingga demand berkurang. Ketika demand berkurang maka harga turun. Itu mengenai supply demand aja," kata Djoko.
Harga Nikel Turun
Menurut dia, harga nikel turun mengikuti hukum alam ketika ada komoditas pesaingnya yang lebih murah dan terbukti sudah bisa dipakai, dalam hal ini LFP.
"Kalau kita hanya ada satu alternatif, maka nanti kalau tiba-tiba enggak ada nikelnya, maka nanti ya harga semakin tinggi, terus susah. Nanti keberlanjutan baterai gimana?" ungkapnya.
Oleh karenanya, Djoko tak tutup mata jika teknologi ke depan akan terus berkembang. Para pelaku industri kendaraan listrik pun akan terus mencari teknologi yang bisa menjadi alternatif, dan tentunya lebih hemat biaya. "Karena research and development terus berkembang. Begitu ada yang lebih murah teknologinya, juga lebih maju, terus berkembang teknologi itu. Jadi ini ada alternatif saingan dari nikel," tuturnya.
Nikel Diklaim Lebih Efektif Jadi Bahan Baterai Kendaraan Listrik daripada LFP
Perdebatan soal lithium ferrophosphate (LFP) dan nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik tengah menghangat. Masing-masing diklaim punya kelebihan, dimana LFP secara biaya lebih murah. Sedangkan nikel dinilai lebih punya daya tahan tinggi.
Untuk beberapa aspek, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves, Jodi Mahardi menganggap baterai mobil listrik berbasis nikel masih lebih efisien ketimbang LFP.
Khususnya pada tingkat kepadatan energi, dimana baterai listrik dengan komponen nikel punya daya lebih besar namun secara ukuran lebih kecil dari LFP.
"Yang saya tahu lithium phosphate itu energy density-nya tetap engga bisa iniin (unggulin) nickel based lah. Dan itu baterainya nanti akan membutuhkan baterai ukuran besar. Jadi enggak seefisien yang nickel based," ujarnya di Pullman Jakarta Indonesia Thamrin CBD, Selasa (23/1/2024).
Sudah Digunakan di China
Menurut dia, EV battery berbahan dasar nikel masih banyak dikembangkan di dunia. Meskipun pabrikan mobil listrik China saat ini menggunakan LFP, termasuk Tesla dengan Tesla mobil listrik Model 3 yang diproduksi di pabrik Shanghai.
"Tesla itu kan menggunakan nickel based juga, yang di Amerika. Yang di China mungkin menggunakan LFP, itu kan mungkin di city (penggunaan dalam kota) aja yang distance-nya enggak jauh," ungkapnya.
Saat ditanya apakah Indonesia akan ikut-ikutan mengembangkan industri LFP, Jodi lebih memilih untuk membesarkan nikel yang sudah jadi kekayaan alam Nusantara.
"Kita sih pinginnya mengembangkan yang nickel based, karena kita yang punya nikelnya," pungkas Jodi.
Advertisement
Benarkah Ramalan Tom Lembong Bahwa Tesla Dkk Bakal Tinggalkan Nikel Demi LFP?
Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2, Gibran Rakabuming Raka mempertanyakan sikap Cawapres Nomor Urut 1, Muhaimin Iskandar terkait hilirisasi nikel untuk baterai kendaraan listrik.
Pasalnya, Co Captain Timnas AMIN Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong lebih sering menyebut Lithium Ferrophosphate (LFP) sebagai alternatif bahan baku baterai kendaraan listrik ketimbang nikel. Gibran lantas mengklaim Tesla masih memakai nikel untuk memproduksi baterai kendaraan listrik.
Melihat realita yang ada, Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho mengungkapkan jika produsen mobil listrik besar saat ini memang cenderung lebih memilih LFP daripada nikel.
"Sebetulnya arahnya sih memang ke arah LFP. Jadi untuk pengembangan baterai kendaraan listrik pada hari ini saya rasa global arahnya sudah ke LFP," ujar Andry kepada Liputan6.com, Senin (22/1/2024).
Menurut catatannya, pabrikan besar dunia cendrung melirik LFP sebagai alternatif baterai berbasis nikel dan kobalt (NMC). Selain lebih murah, jumlah cadangan bijih besi dan fosfat lebih banyak dibandingkan nikel dan kobalt.
LFP sebenarnya sudah digunakan sejak lama di China. Penggunaannya dimulai oleh BYD sebagai pabrikan pertama baterai mobil listrik pada 2010. Contemporary Amperex Technology Co Limited (CATL) saat itu masih menggunakan NMC karena memiliki energy density yang besar dibanding LFP. Rendahnya energy density membuat mobil listrik dengan LFP tidak dapat digunakan dengan jarak tempuh yang jauh.
"Dengan adanya hal tersebut, saya rasa LFP menjadi opsi yang cukup menggiurkan bagi para pabrikan. Dari segi keamanan sendiri LFP jauh lebih baik dibandingkan nickel based batteries," imbuh Andry.
"Paling lambat di 2025 pabrikan-pabrikan yang masih menggunakan nickel based batteries akan berpindah kepada LFP. Jadi saya melihat ini jadi hal yang concerning. Sehingga kita memunculkan pertanyaan terkait apakah masih relevan untuk mengembangkan baterai nikel kita dalam negeri," sebutnya.