Liputan6.com, Gaza - Ahlam Saqr (50) tak kuasa menahan tangis ketika putra-putranya menebang dahan pohon zaitun yang akan dijadikan kayu bakar untuk memasak, menghangatkan badan, hingga memanaskan air untuk mandi.
Yang penting, kata dia, adalah kelangsungan hidup agar keluarganya dapat bertahan melewati dampak serangan demi serangan Israel yang belum berhenti di Jalur Gaza. Meski demikian, tetap tidak mudah baginya menyaksikan empat pohon zaitun kesayangannya ditebang.
Advertisement
"Kami punya kenangan indah bersama pohon-pohon itu," kata dia, seperti dilansir Al Jazeera, Rabu (24/1/2024).
Sejak 7 Oktober 2023, babak baru perang Hamas Vs Israel, Jalur Gaza berada di bawah pengeboman brutal dan pengepungan Israel yang membuat sebagian besar penduduknya mengungsi dan pada saat bersamaan menghalangi masuknya bahan bakar, gas, serta berbagai kebutuhan penting lainnya.
Kesengsaraan warga Jalur Gaza bertambah ketika banyak dari mereka terpaksa menebang pohon-pohon zaitun demi bertahan hidup.
Menghancurkan pohon zaitun, salah satu simbol dari identitas nasional Palestina, meninggalkan bekas luka bagi tiap-tiap warga Jalur Gaza.
"Saya biasanya mengatakan kepada semua orang bahwa pohon-pohon saya adalah teman hidup saya. Mereka sudah ada di sana ketika saya membesarkan anak-anak, mereka melihat semua fase hidup kami," tutur Ahlam.
Khaled Baraka (65) juga berduka atas pohon-pohonnya, namun dia tidak yakin bagaimana keadaan pohon-pohon tersebut saat ini karena dia terpaksa mengungsi dari rumahnya di Bani Suheila sekitar enam pekan lalu.
"Saya mengungsi … ketika tank Israel memasuki Kota Khan Younis, kami sudah mengalami kesulitan. Kebun dan ladang saya berada tepat di sebelah rumah kami, dan kami sudah mulai membakar ranting-rantingnya," ujarnya.
Pada saat Khaled dan keluarganya melarikan diri dari Bani Suheila, separuh pohon telah habis, ditebang sedikit demi sedikit untuk kebutuhan keluarga atau karena para tetangga datang meminta kayu bakar agar anak-anak mereka tetap hangat dan dapat makan.
"Untuk membuat roti, dibutuhkan api," ungkapnya dengan getir. "Bagaimana lagi hal itu bisa terjadi? Ada begitu banyak jenis pohon yang berbeda. Jambu biji, lemon, jeruk, dan zaitun – semuanya ditebang dan saya yakin ketika pasukan pendudukan menduduki wilayah tersebut, mereka menghancurkan apa pun yang tersisa."
Khaled mewarisi pohon-pohon itu dari ayahnya, di mana sebagian besar dari pohon-pohon itu setidaknya berusia 70 tahun
"Pohon-pohon ini hidup melalui saat-saat suka dan duka saya," kata Khaled. "Mereka mengetahui rahasia saya. Ketika saya sedih dan khawatir, saya akan berbicara dengan pohon-pohon itu, merawatnya … tetapi perang membunuhnya."
Terpaksa Ditebang
Fayza Jabr (60) sudah 10 tahun hidup sendiri sejak suaminya meninggal dunia. Pasangan itu tidak memiliki anak.
Sekitar tujuh tahun sebelum kematian suaminya, dia menanam dua pohon zaitun, satu pohon lemon, dan satu pohon jeruk clementine di sekitar rumahnya, menghabiskan waktunya merawat pohon-pohon itu dan menyaksikan dengan bangga mereka tumbuh dan menghasilkan buah.
"Mereka adalah teman-teman saya, bagian dari hidup saya," kata Fayza. "Saat pohon sedang berbuah, saya akan menelepon putra tetangga, Abboud, yang berusia 11 tahun. Dia akan membantu saya memetik buah ... Saya tidak ingin membangun tembok di sekeliling rumah saya sehingga saya dapat melihat pepohonan dari dalam sehingga orang-orang yang lewat dapat menikmati kehijauan," tutur Fayza.
"Pada pertengahan Oktober, saudara laki-laki dan perempuan saya, anak-anak dan cucu-cucu mereka mengungsi ke rumah saya di Khan Younis – lebih dari 30 orang di rumah kecil saya, semuanya membutuhkan makanan dan roti. Untuk mengatasinya, kami akhirnya harus menggunakan pepohonan untuk menyalakan api."
Pada awalnya, lanjut Fayza, mereka bisa menemukan sekantong kayu bakar di pasar dan mengumpulkan sekitar USD 30 untuk membeli sekantong kayu bakar yang bisa bertahan dua hari.
Namun, pada akhirnya, persediaan itu habis dan saudara perempuannya bangun di waktu fajar untuk mencari apa saja demi menyalakan api. Segala macam benda dibakar: kain, plastik, bahkan sepatu.
"Saat itu adalah musim zaitun di akhir Oktober, jadi saya meminta keluarga saya untuk membantu saya memetik buah zaitun, tanpa mengetahui bahwa itu akan menjadi musim perpisahan bagi pohon saya. Saya pikir saya beruntung bisa memetik buah zaitun dari dua pohon saya. Mereka berusia lebih dari 17 tahun. Jika mereka adalah anak-anak saya, mereka pasti sudah remaja," ujar Fayza.
"Sekitar sebulan setelah panen, saya perhatikan ada beberapa cabang yang patah, jadi saya bertanya kepada saudara perempuan saya tentang hal itu. Mereka mengatakan kepada saya bahwa mereka terpaksa menebang pohon karena tidak ada solusi lain. Kini kebun itu tandus. Kami harus mencabut pohon sampai ke akar-akarnya untuk memanfaatkan sisa-sisanya. Saya sedih. Sulit bagi saya untuk menebang pohon, tetapi saya tidak bisa marah karena ada anak-anak di rumah yang perlu makan."
Advertisement
Melambangkan Identitas Nasional Palestina
Pohon zaitun merangkum identitas Palestina. Mengutip ReliefWeb, portal informasi kemanusiaan di bawah Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (UNOCHA), pohon zaitun tidak hanya punya arti penting secara ekonomi dalam kehidupan masyarakat Palestina.
Tidak seperti pohon-pohon lainnya, pohon zaitun melambangkan keterikatan warga Palestina terhadap tanah air mereka. Ketahanan terhadap angin dan sifatnya yang dapat tumbuh di bawah kondisi tanah yang buruk, membuat pohon zaitun mewakili perlawanan dan ketahanan Palestina.
Fakta bahwa pohon zaitun hidup dan menghasilkan buah selama ribuan tahun sejalan dengan sejarah Palestina dan kelestarian lahan tersebut. Orang-orang Palestina bangga dengan pohon zaitun mereka dan merawatnya dengan sepenuh hati.
Palestina memiliki beberapa pohon zaitun tertua di dunia, yang berumur 4.000 tahun. Beberapa keluarga memiliki pohon yang telah diwariskan kepada mereka dari generasi ke generasi.
Musim panen zaitun di bulan Oktober mempunyai makna sosial budaya, di mana keluarga berkumpul untuk memanen pohon zaitun mengingat nenek moyang dan ibu mereka pernah merawat pohon yang sama.
"(Pohon Zaitun) ini mewakili ketabahan rakyat Palestina, yang mampu hidup dalam keadaan sulit," kata Sliman Mansour, seorang pelukis Palestina di Yerusalem yang karya seninya telah lama berfokus pada tema tanah, seperti dilansir Arab News.
"Sama seperti pohon-pohon yang dapat bertahan hidup dan memiliki akar yang kuat di tanah mereka, demikian pula rakyat Palestina."
Selain makna simbolisnya, buah zaitun merupakan sumber pendapatan utama bagi sekitar 80.000-100.000 keluarga Palestina. Menurut angka PBB, sekitar 48 persen lahan pertanian di Tepi Barat dan Jalur Gaza ditanami pohon zaitun.
Pohon zaitun menyumbang 70 persen produksi buah di Palestina dan berkontribusi sekitar 14 persen terhadap perekonomian Palestina. Adapun 93 persen dari panen zaitun digunakan untuk produksi minyak zaitun sedangkan sisanya digunakan untuk sabun zaitun, buah zaitun untuk dikonsumsi langsung, dan acar. Sebagian besar produksi zaitun ditujukan untuk konsumsi lokal dan sejumlah kecil zaitun diekspor terutama ke Yordania.
Dengan meningkatnya minat terhadap makanan organik dan perdagangan yang adil, buah zaitun Palestina kini juga menjangkau pasar Eropa dan Amerika Utara.