Warga Israel Marah ke Benjamin Netanyahu sampai Labrak Kantor Parlemen, Ada Apa?

Sejumlah warga Israel melabrak kantor parlemen lantaran marah ke PM Benjamin Netanyahu.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 24 Jan 2024, 14:02 WIB
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (Dok. AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Para kerabat dari warga Israel yang disandera di Gaza oleh Hamas menyetujui sidang komite parlemen di Yerusalem.

Mereka menuntut anggota parlemen berbuat lebih banyak untuk membebaskan orang-orang yang mereka cintai, dikutip dari laman Al Jazeera, Rabu (24/1/2024).

Tindakan yang dilakukan oleh sekitar 20 kerabat pada Senin (22/1) menggambarkan kemarahan yang meningkat atas penolakan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menyetujui kesepakatan dengan kelompok Palestina ketika perang Gaza memasuki bulan keempat.

Seorang wanita menunjukkan foto tiga anggota keluarga yang termasuk di antara 253 orang yang ditangkap Hamas pada 7 Oktober.

Sekitar 100 sandera dirilis selama gencatan senjata selama seminggu pada November 2023. Sekitar 130 orang masih ditahan di Gaza.

“Hanya satu yang ingin aku hidupkan kembali, satu dari tiga!” seru wanita pengunjuk rasa setelah ikut serta dalam diskusi Komite Keuangan Knesset.

Pengunjuk rasa lainnya yang mengenakan kaos hitam, mengangkat poster bertuliskan: “Anda duduk di sini sementara mereka mati di sana.”

“Lepaskan mereka sekarang, sekarang, sekarang!” teriak mereka.

Upaya mediasi AS, Qatar dan Mesir nampaknya masih jauh dari mendamaikan kedua belah pihak. Netanyahu menyetujui bahwa Israel akan melanjutkan kampanyenya sampai Hamas kalah.

Kelompok Palestina menuntut agar Israel menarik dan membebaskan ribuan warga Palestina dari penjaranya agar tawanan Israel dapat dibebaskan.

 

 


Demo Sampai ke Rumah Benjamin Netanyahu

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (Dok. AFP)

Kemarahan keluarga sandera tidak hanya terbatas pada gedung-gedung resmi saja. Kerabat dan pendukung para sandera juga menyampaikan amarahnya di dekat kediaman Netanyahu di Yerusalem Barat.

“Kami meminta pemerintah kami untuk mendengarkan, duduk di meja perundingan dan memutuskan apakah akan menerima perjanjian ini atau perjanjian lain yang sesuai dengan Israel,” kata Gilad Korenbloom, yang menjadi putra sandera di Gaza.

Para pengunjuk rasa juga berkemah di luar rumah Netanyahu di pantai pesisir serta gedung Knesset, beberapa di antaranya menuntut diakhirinya perang secara sepihak atau mengadakan pemilu yang mungkin akan memperingati pemerintahan sayap kanan.


Netanyahu Tersudutkan dan Mengalahkan Hamas Dinilai Tidak Realistis

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (Dok. AFP)

Perpecahan dalam pemerintahan Israel semakin mendalam setelah menteri kabinet perang Gadi Eisenkot menyatakan tujuan utama perang untuk mengalahkan Hamas tidak realistis. Tidak hanya itu, Eisenkot menyerukan digelarnya pemilu dalam beberapa bulan mendatang.

Eisenkot berbicara tidak lama setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali mengatakan operasi militer Israel di Jalur Gaza akan terus berlanjut sampai mencapai kemenangan penuh atas Hamas. Pernyataannya juga muncul setelah Israel menarik sebagian pasukannya dari Jalur Gaza Utara dan mengisyaratkan fase baru konflik akan segera dimulai.

"Pencapaian strategis tidak tercapai … Kami tidak menghancurkan organisasi Hamas," kata Eisenkot kepada Channel 12 News, seperti dilansir CNN, Sabtu (20/1).

Pernyataan tersebut merupakan gejala terbaru dari perpecahan dalam pemerintahan koalisi pimpinan Netanyahu dan meningkatnya ketidakpuasan terhadap rencana perangnya. Didirikan tidak lama setelah serangan Hamas pada 7 Oktober, kabinet perang Israel mencakup beberapa menteri yang berselisih satu sama lain.


Seruan untuk Pemilu

Warga Israel Geruduk Kantor Parlemen hingga Rumah Benjamin Netanyahu

Eisenkot menekankan Israel perlu menyelenggarakan pemilu karena rakyat tidak lagi percaya pada kepemimpinan Netanyahu. Dia menepis kekhawatiran mengenai penyelenggaraan pemilu ketika negara tersebut sedang perang.

"Kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sama parahnya dengan kurangnya persatuan saat perang," ujar Eisenkot.

"Kita perlu pergi ke tempat pemungutan suara dan mengadakan pemilu dalam beberapa bulan ke depan, untuk memperbarui kepercayaan karena saat ini tidak ada kepercayaan. Negara Israel adalah negara demokrasi dan perlu bertanya pada diri sendiri, setelah kejadian serius ini, bagaimana kita bisa maju dengan kepemimpinan yang bertanggung jawab atas kegagalan mutlak ini?"

Presiden Institut Demokrasi Israel (IDI) di Yerusalem Yohanan Plesner menuturkan meskipun kabinet perang dibentuk untuk menunjukkan persatuan, hal itu tidak menutupi fakta bahwa terdapat perbedaan besar dalam kebijakan dan pendekatan. Perpecahan itu pun sekarang muncul ke permukaan.

Senada dengan Plesner, ilmuwan politik di Universitas Ibrani Yerusalem Reuven Hazan menilai bahwa ketika perang telah melewati batas 100 hari, perpecahan pasti akan muncul.

"Dan memang demikian," kata Hazan kepada CNN, seraya menambahkan bahwa perbedaan antara kedua kubu semakin buruk setiap hari.

Lebih dari tiga bulan setelah Netanyahu melancarkan perang di Jalur Gaza, tanda-tanda pertempuran akan berakhir masih belum terlihat.

Infografis Ragam Tanggapan Perang Israel-Hamas Lewati 100 Hari. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya