Liputan6.com, Jakarta Menteri Investasi/ Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, menyebut calon wakil presiden nomor urut 1 Muhaimin Iskandar atau Cak Imin tidak paham mengenai hilirisasi.
Hal itu merespon pernyataan Cak Imin dalam deba Capares kedua di JCC Senayan pada Minggu (21/1). Cak Imin menilai hilirisasi yang dilakukan Pemerintah ugal-ugalan karena menyebabkan kerusakan lingkungan, banyak terjadi kecelakaan kerja, hingga pekerja di dominasi oleh tenaga asing.
Advertisement
Bahlil menjelaskan, sebelum Pemerintah menerapkan hilirisasi tentunya memperhatikan kaidah, norma hingga aturan agar tidak menyebabkan dampak negatif bagi sektor lainnya.
"Yang namanya hilirisasi industri tambang itu kan semuanya harus memenuhi kaidah, norma, dan aturan. Contoh AMDAL-nya dia harus selesaikan, izinnya harus diselesaikan, lingkungannya harus diselesaikan," kata Bahlil usai konferensi pers kinerja investasi tahun 2023, di Kantor Kementerian Investasi, Rabu (24/1/2024).
Pria kelahiran Maluku Utara ini menegaskan, jika sudah memenuhi standar maka tidak layak Cak Imin menyebut hilirisasi yang dilakukan Pemerintah ugal-ugalan.
"Jadi kalau sudah memenuhi standar, di mananya ugal-ugalan?," imbuhnya.
Genjot Hilirisasi
Lebih lanjut, Bahlil menjelaskan, Pemerintah saat ini memang terus menggenjot hilirisasi untuk memperoleh nilai tambah, dari yang sebelumnya hanya mengekspor bahan baku mentah tapi menjadi barang setengah jadi atau jadi.
"Yang bilang ugal-ugalan itu, yang bersangkutan kali yang ugal-ugalan," pungkas Bahlil Lahadalia.
Cak Imin di Debat Cawapres: Kita Ugal-ugalan Eksplorasi Nikel, Tapi Pemasukan Negara Kecil
Calon Wakil Presiden atau Cawapres Muhaimin Iskandar menyatakan selama ini pemerintah ugal-ugalan dalam eksplorasi nikel. Meski sudah dieksplorasi, ternyata penerimaan negara dari nikel ternyata masih minim.
Hal tersebut diungkapkan Cak Imin dalam dalam Debat Cawapres 2024 di JCC Senayan, Jakarta, Minggu (21/1/2024).
"Gara-gara negara kita mengeksplorasi nikel ugal-ugalan, lalu hilirisasi tanpa pertimbangan ekologi, mempertimbangkan sosialnya. Buruh kita diabaikan malah pakai tenaga kerja asing. dan juga yang terjadi korban kecelakaan," jelas dia.
"Di sisi lain, pemasukan dari nikel juga kecil. Ini menjadi pertimbangan," lanjut Cak Imin.
Selain itu, Cak Imin juga menyoroti produksi nikel yang berlebihan. Akibatnya, Indonesia menjadi tidak memiliki daya tawar untuk mengangkat harga nikel.
"Yang paling parah, nikel kita berlebih produksinya. Bukan harga tawar kita naik, tapi kita jadi korban dari policy kita sendiri," ungkapnya.
Sementara itu, dengan eksplorasi nikel yang ugal-ugalan, pemerintah malah mengorbankan masalah lingkungan dan menimbulkan konflik sosial.
"Sementara masa depan kita tidak jelas, di sisi lain kita mengorbankan lingkungan dan sosial kita sekaligus keuntungan yang sangat berbatas bagi negara. Oleh karena itu bukan soal gegabah, ini soal keberanian dan keberpihakan," tutup dia.
Advertisement
Mau Jadi Raja Baterai Listrik Dunia, Pemerintah Tak Serius Dorong Kebijakan Nikel
Kebijakan hilirisasi nikel dengan menghentikan ekspor bijih nikel kini sudah berjalan selama 4 tahun. Itu bertujuan untuk mendongkrak nilai tambah nikel, salah satunya menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.
Hal itu kemudian sempat ditekankan Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2, Gibran Rakabuming Raka yang menyebut Indonesia punya cadangan nikel terbesar dunia.
Namun, pabrikan kendaraan listrik dunia kini cenderung lebih bergerak ke arah pemakaian lithium ferrophosphate (LFP). Bahan baku tersebut diklaim memiliki tingkat keamanan lebih tinggi dan lebih murah.
Di sisi lain, Pemerintah Indonesia tampaknya juga belum cukup serius untuk mendorong nikel sebagai komponen utama baterai kendaraan listrik.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, mengatakan bahwa pemerintah belum mencantumkan nikel sebagai syarat dari pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Tanah Air.
Seperti tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2023. Regulasi tersebut belum mensyaratkan pemakaian nikel untuk kendaraan listrik, dan memberi sejumlah insentif bagi pelaku usaha yang melakukan importasi kendaraan listrik utuh, atau completely built up (CBU).
"Karena kalau kita misalnya kita mengambil bagian daripada mengedepankan nikel untuk kendaraan listrik, seharusnya itu sudah tertuang di regulasi, di Perpres yang sudah diteken presiden," kata Andry kepada Liputan6.com, Selasa (23/1/2024).
"Tapi nyatanya, yang diinginkan oleh Pemerintah Indonesia pada hari ini adalah bagaimana penetrasi dari kendaraan listrik, bukan penetrasi kendaraan listrik yang berbasis nikel," serunya.