Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menegaskan, Undang-Undang Pemilu tidak melarang seorang presiden untuk berkampanye, baik untuk pemilihan presiden atau pemilihan legislatif. Termasuk pada payung hukum yang sama, juga tidak ada larangan kepala negara untuk berpihak atau mendukung salah satu pasangan calon presiden.
“Pasal 280 Undang-Undang Pemilu secara spesifik menyebut di antara pejabat negara yang dilarang berkampanye adalah ketua dan para Hakim Agung, ketua dan hakim Mahkamah Konstitusi, ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Tidak ada penyebutan presiden dan wakil presiden atau menteri di dalamnya,” jelas Yusril melalui keterangan diterima, Kamis (25/1/2024).
Advertisement
Yusril melanjutkan, pada pasal 281, mensyaratkan pejabat negara yang ikut berkampanye dilarang untuk menggunakan fasilitas negara atau mereka harus cuti di luar tanggungan. Kendati begitu, undang-undang tersebut tidak menghapuskan aturan soal pengamanan dan kesehatan terhadap presiden atau wakil presiden yang berkampanye.
“Bagaimana dengan pemihakan? Ya kalau Presiden dibolehkan kampanye, secara otomatis Presiden dibenarkan melakukan pemihakan kepada capres cawapres tertentu, atau parpol tertentu. Masa orang kampanye tidak memihak?,” heran Yusril
Yusril menegaskan, tidak ada aturan menyatakan Presiden harus netral atau tidak boleh memihak. Sebab jika presiden tidak boleh berpihak, maka seharusnya jabatan presiden dibatasi untuk satu periode saja.
Pria yang juga mejabat sebagai ketua umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini lalu mempersilakan kepada pihak yang ingin presiden netral dan tidak memihak untuk mengusulkan perubahan konstitusi.
“Itu (agar presiden netral) memerlukan amandemen UUD 45. Begitu pula Undang-Undang Pemilu harus diubah, kalau presiden dan wakil presiden tidak boleh berkampanye dan memihak. Aturan sekarang tidak seperti itu, maka Presiden Jokowi tidak salah jika dia mengatakan presiden boleh kampanye dan memihak,” ungkap Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) periode 2001-2004 ini.
Pasang Badan
Yusril pun siap pasang badan, bila ada yang menilai keberpihakan presiden dicap tidak etis. Senab harus digarisbawahi adalah perbedaan antara norma etik dengan code of conduct.
“Kalau etis dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat, yang harusnya dibahas ketika merumuskan Undang-Undang Pemilu,” kata dia.
“Tetapi kalau etis dimaknai sebagai code of conduct dalam suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil dan seterusnya. Masalahnya, sampai sekarang code of conduct presiden dan wakil presiden (dilarang kampanye atau berpihak) belum ada,” imbuh Yursil menandasi.
Advertisement