Liputan6.com, Jakarta - Marah merupakan salah satu ekspresi dari suatu emosi di dalam tubuh manusia. Seringkali kata 'marah' identik dengan perasaan yang buruk yang diikuti pula perilaku yang buruk.
Baca Juga
Advertisement
Bahkan di dalam Islam mengajarkan bagi setiap muslim untuk dapat menjaga emosi negatif seperti marah agar tidak berakhir menyakiti hati sesama muslim lainnya.
Jika seseorang tidak dapat menahan kemarahannya dan mengelola emosi tersebut dengan baik, hal tersebut dapat menimbulkan konflik antara sesama muslim dan membuat hubungan menjadi semakin renggang.
Namun begitu, di dalam Islam tidak semua kemarahan dinilai buruk. Bahkan Agama Islam memperbolehkan seorang muslim untuk marah.
Agar tidak gagal paham, simak penjelasan berikut ini.
Simak Video Pilihan Ini:
Ini Marah yang Diperbolehkan
Marah yang baik dan dianjurkan adalah marah karena Allah Ta’ala. Yakni, marah disebabkan ada aturan (syariat) Allah yang dihina dan dilanggar, menegakkan kebenaran, dan untuk membela agama.
"Itulah marah yang terpuji dan mendapatkan pahala. Sebagaimana marahnya Nabi Musa ketika pulang mendapati kaumnya berbuat kesyirikan dengan menyembah patung anak sapi (Lihat QS. Al-A’raf: 148-154)," demikian dikutip dari laman muslim.or.id, Jumat (26/01/2024).
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَمَّا رَجَعَ مُوسَىٰٓ إِلَىٰ قَوْمِهِۦ غَضْبَٰنَ أَسِفًا قَالَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُونِى مِنۢ بَعْدِىٓ ۖ
“Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati, dia berkata, ‘Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku!’” (QS. Al-A’raf: 150)
Advertisement
Boleh Marah, Tapi yang Terukur
Masih bersumber dari laman yang sama, walaupun ada marah yang dianjurkan, tetapi harus terukur. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan (menahan) dirinya ketika marah (yang tercela maupun yang terpuji).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain,
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ
“Barangsiapa yang menahan kemarahannya padahal dia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah Ta’ala akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari bermata jeli yang disukainya.” (HR. Abu Dawud no. 4777, At-Tirmidzi no. 2021, Ibnu Majah no. 4186).
Meski marah tetap diperbolehkan dalam Agama Islam, namun sejatinya setiap muslim sebaiknya dapat menjaga amarahnya terutama jika kemarahan tersebut bukan atas dasar Allah SWT.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul