Timbang-Timbang Baterai Mobil Listrik LFP vs Nikel, Mana Lebih Untung?

Baterai mobil listrik menjadi perhatian usai Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) pekan lalu. Ada perdebatan antara baterai lithium ferro phosphate (LFP) dan baterai berbasis nikel atau nickel-mangan-cathode (NMC).

oleh Arief Rahman H diperbarui 26 Jan 2024, 16:45 WIB
Melihat Langsung Pabrik Baterai Lithium LFP Milik BYD di China (Arief A/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Baterai mobil listrik menjadi perhatian usai Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) pekan lalu. Ada perdebatan antara baterai lithium ferro phosphate (LFP) dan baterai berbasis nikel atau nickel-mangan-cathode (NMC).

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pengembangan Industri Sektor ESDM Agus Tjahajana mengungkap potensi dari kedua jenis baterai mobil listrik tersebut. Misalnya, LFP memiliki kekurangan dari sisi massa jenis atau densitas.

"LFP itu ada kekurangannya dibandingkan dengan NMC, jadi density dari energinya lebih rendah, jadi kalau dari skala 10 density energinya nikel, yang LFP itu density-nya 5," ujar Agus saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (26/1/2024).

Secara sederhana, baterai LFP bakal memiliki ukuran yang lebih besar dan juga lebih berat. Dia mencontohkan, untuk baterai motor listrik misalnya, berat baterainya bisa 16-17 kilogram (kg).

"Motor aja gampang, (baterai) motor itu sekitar 10-11 kg yang NMC, kalau pakai LFP bisa 16-17 kilo. Karena density-nya itu lebih kecil sehingga perlu barangnya lebih besar," tuturnya.

Baterai LFP

Agus menerangkan, jika baterai LFP ini dipakai di mobil listrik yang notabene mahal, maka tidak akan cocok. Itu lebih cocok menggunakan baterai NMC. Sementara, LFP disebut lebih cocok untuk kendaraan besar seperti truk atau bus.

"Low end itu pasti LFP, coba tanya (Hyundai) ioniq, ioniq kan pake NMC," kata Agus.

"Sekarang bayangkan, kalau kamu pakai mobil yang mahal abis beratnya sama baterai, ya gak cocok. Jadi kalau barang mahal ya pakai baterai mahal aja, yang enteng jaraknya bisa jauh, sehingga LFP itu akan bagus untuk kendaraan-kendaraan yang truk, bus gitu karena dia kan gak tergantung sama berat segede apapun dia bawa kan, tapi kendaraan juga pakai itu untuk kendaraan yang low end," urainya.

 


Ketahanan Baterai

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pengembangan Industri Sektor ESDM Agus Tjahajana mengungkap potensi dari kedua jenis baterai mobil listrik tersebut. Misalnya, LFP memiliki kekurangan dari sisi massa jenis atau densitas.

Lebih lanjut, Agus juga menyinggung soal usia baterai, baik LFP maupun NMC. Dia memandang LFP bisa memiliki masa pakai yang lebih lama lantaran tingkat panas yang dikeluarkan lebih kecil.

Berbeda dengan baterai nikel atau NMC yang lebih panas. Ini dihitung dari besarnya daya yang digunakan dari kedua baterai tersebut. Dia mengembalikan, hal itu pada tantangan teknologi kedepannya untuk meracik yang paling tepat.

"LFP lebih bagus, karena LFP itu panasnya lebih kecil, karena nyedot dayanya lebih rendah. Kalau panas lebih tinggi itu umurnya agak pendek, tapi itu semuanya yang lagi dicoba supaya umur lebih panjang, jarak tempuh lebih panjang, itu tantangan teknologi, jadi meracik itu," jelas Agus.

 


Penjelasan Menko Luhut Soal LFP

Melihat Langsung Pabrik Baterai Lithium LFP Milik BYD di China (Arief A/Liputan6.com)

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan buka-bukaan awal mula munculnya lithium ferro phosphate (LFP) untuk tenaga mobil listrik. Ini disebut-sebut jadi pengganti baterai berbasis nikel.

Menko Luhut bilang, awalnya LFP hadir sebagai alternatif dari kobalt. Beberapa waktu lalu, kobalt mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan, akhirnya, ditemukanlah LFP sebagai gantinya.

Ini dikaitkan Menko Luhut dengan pernyataan Co-Captain Timnas AMIN Tom Lembong terkait harga nikel.

Tom harus ngerti, kalau harga nikel terlalu tinggi, sangat berbahaya, kira belajar dari kasus kobalt. Tiga tahun lalu harganya begitu tinggi, orang akhirnya mencari bentuk baterai lain. Itu salah satu lahirnya lithium-ferro-phospate (LFP) itu," ungkap Luhut melalui akun Instagram @luhut.pandjaitan, Rabu (24/1/2024).

"Jadi ini kalau kita juga membikin harga itu ketinggian, orang akan cari alternatif lain, teknologi berkembang sangat cepat," imbuhnya.

Menko Luhut menegaskan, berkaca pada kasus itu, penting untuk memberikan keseimbangan suplai. Utamanya pada sektor nikel yang tengah digenjot oleh Indonesia.

"Oleh karena itu kita mencari keseimbangan benar, keseimbangan supaya betul-betul barang kita nih tetap masih dibutuhkan sampai beberapa belas tahun yang akan datang, kita gak tau berapa tahun," ucapnya.

 


Lithium Bisa Didaur Ulang

Perusahaan Asal Cina Bakal Buat Baterai Tanpa Nikel dan Kobalt (Paultan)

Dia turut membandingkan antara LFP dan baterai berbasis lithium. Menurutnya, lithium bisa didaur ulang, sementara LFP tidak. Guna menjawab perkembangan itu, dia mengklaim Indonesia sudah menjalin kerja sama dengan China untuk pengembangan kedua jenis baterai mobil listrik itu.

"Tapi ingat lithium battery itu bisa recycling, sedangkan tadi LFP itu tidak bisa recycling sampai hari ini. Tapi sekali lagi teknologi itu terus berkembang. Nah kita bersyukur LFP juga kita kembangkan dengan Tiongkok, tadi lithium baterai juga kita kembangkan dengan Tiongkok maupun dengan lain-lain," urai Luhut.

 

motor listrik lebih murah dalam perawatan, tapi tidak untuk baterai (liputan6.com/abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya