Liputan6.com, Jakarta - Direktur Pengendalian Pencemaran Air Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Nety Widayati, mengklaim bahwa pihaknya telah melakukan pemantauan di 2.070 sungai di Indonesia. Dari situ, mereka melakukan klasifiksasi baku mutu dengan kelas 2 PP Nomor 22 Tahun 2021 sebagai pembanding.
"Kondisi (sungai) yang masih baik itu 19 persen. Kemudian, (sungai) cemar ringan 67 persen, cemar sedang 13 persen, dan cemar berat satu persen," katanya saat jadi narasumber program Climate Talk Liputan6.com bertema "Meretas Jalan Menuju Sungai Bersih, Dimana Peran Kita?" Jumat (26/1/2024).
Advertisement
Khsusu di Pulau Jawa, Nety menambahkan, mereka memantau 92 sungai. "Berdasarkan baku mutu (dibandingkan kelas 2 PP Nomor 22 Tahun 2021), hanya 1,03 persen sungai berkualitas baik di Jawa, sisanya ada cemar sedang 21,11 persen," sebut dia.
Ia menyambung bahwa sungai yang terbilang masih bersih rata-rata berada di wilayah yang penduduk dan kegiatan industrinya masih sedikit. Dari 2.070 sungai yang dipantau KLHK, dengan 927 titik pemantauan, 456 titik di antaranya diklaim masih dalam kondisi baik.
"Itu tersebar di beberapa sungai di Indonesia," ujar Nety. Selain di Papua, ada enam titik sungai dalam kategori bersih di Kabupaten Buleleng, Bali. Lalu, 10 titik di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, tepatnya di Sungai Alas Bayur dan Sungai Belimbing yang masih memenuhi baku mutu."
Ia menggarisbawahi bahwa memperbaiki kualias air sungai berarti harus mengidentifikasi sumber pencemar, entah kegiatan indutsri; domestik yang terdiri dari air limbah dan sampah; peternakan; pertanian; maupun usaha skala kecil. "Dengan mengetahui sumber pencemar, kita bisa mengelola dengan bantuan seluruh stakeholders," terangnya.
Melibatkan Masyarakat
Menyambung peran berbagai pihak, Nety menyebut bahwa KLHK punya beberapa program pelestarian sungai yang melibatkan masyarakat. "Patroli Sungai, misalnya," kata dia. "Kami membina komunitas peduli sungai, yang mana mereka melaporkan situasi terkini sungai yang mereka pantau ke sistem yang bisa diakses semua orang."
Selain itu, menurut Nety, komunitas peduli sungai ini juga biasanya melakukan aksi bersih-bersih dan menjaga ekosistem di sekitar sungai. "Program lainnya ada ekoriparian yang memanfaatkan badan sungai yang semula, misalnya, jadi tempat buangan sampah, kami bangun fasilitas ruang terbuka hijau dan (tempat) penurunan beban tercemar yang dibangun sesuai kebutuhan wilayah setempat."
"Semua itu dikelola masyarakat. Adanya fasilitas ini minimal membuat masyarakat malu kalau mau buang sampah di situ. Dengan begini, masyarakat juga jadi lebih terlibat dalam perbaikan kualitas air sungai dan lingkungan secara umum," bebernya.
Patroli Sungai memang sudah ada di beberapa sungai di Indoensia, sebut Nety. Namun yang teraktif ada di Sungai Ciliwung, tambahnya.
Advertisement
Sungai Tercemar Bisa Pulih, Asalkan ...
Nety melanjutkan,"Pemerintah daerah juga sudah mereplika program kami di beberapa sungai di Indonesia, sementara komunitas peduli sungai sudah ada di seluruh Indonesia." Ekoriparian, kata Nety, juga replikasi pemerintah daerah maupun pihak swasta lewat program CSR.
Di samping itu, ia juga optimis bahwa sungai tercemar pun bisa dipulihkan. "Tergantung komitmen seluruh pihak," katanya, seraya mencontohkan kasus di Sungai Citarum.
Dalam upaya memperbaiki kualitas air sungai, ada Satgas Citarum yang melibatkan seluruh stakeholders, sebut Nety. "Status mutu di hulu Sungai Citarum pada 2018 itu cemar sedang, lalu tahun 2022, cemar ringan. Artinya, itu mengalami perbaikan," kata dia.
Peran masyarakat di hulu sungai juga sempat disinggung aktivis lingkungan, sekaligus anggota Dewan Kongres Sungai Indonesia, Ahmad Yusran. "Hari ini, masyarakat di hulu (sungai sebaiknya didorong) memafaatkan teknologi untuk melakukan pemantauan terhadap kualitas air sungai," ucapnya di kesempatan yang sama.
Ia juga mendorong pemerintah untuk menurunkan peneliti ke masyarakat demi menyelatkan sungai dari hulu. "Semua bisa dilakukan dengan berbasis digital," imbuhnya.
Belajar dari Belanda
Di antara banyak, Belanda dianggap bisa jadi salah satu rujukan dalam mengelola sungai. Head of Climate and Energy Dutch Embassy to Indonesia, Timor Leste, dan ASEAN, Robin Van Boxtel, berkata bahwa permukaan air memang sangat tinggi di Belanda.
"Masalah ini diatasi dengan menajemen ruang sungai agar masyarakat terutama terhindar dari banjir," kata dia, masih dalam sesi Climate Talk. "Pelebaran sungai, perbaikan tanggul, serta (ruang) menyimpan dan mengalirkan air lebih banyak untuk mengatasi (dampak) perubahan iklim pun dilakukan.
Boxtel menggarisbawahi bahwa Belanda merupakan salah satu negara yang sangat rentan pada perubahan iklim. "Kami selalu berupaya mengembangkan teknologi berbasis alam, termasuk dalam pengelolaan air dan kawasan pesisir. Dalam hal ini (punya banyak wilayah pesisir), Belanda mirip dengan Indonesia."
Ia pun mengamini bahwa kolaborasi masyarakat dan pemerintah harus terjalin secara berkelanjutan demi melestarikan ekosistem sungai. "Belanda punya aturan yang sangat ketat, terutama dalam hal pembuangan limbah," tuturnya.
"Masyarakat di Belanda juga terbiasa membayar pajak pengelolaan air dan limbah yang nantinya akan diberdayakan dalam mengolah polutan di air," sebut dia lagi.
Advertisement