Liputan6.com, Jakarta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi adanya pengurangan jumlah kendaraan berbasis BBM kedepannya. Bahkan, pada 2040 mendatang, hanya tersisa 40 persen dari jumlah total kendaraan yang ada.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pengembangan Industri Sektor ESDM Agus Tjahajana menilai hal ini bisa terjadi karena bauran energi bersih. Salah satunya peralihan dari kendaraan bertenaga BBM, internal combustion engine (ICE) ke kendaraan listrik berbasis baterai.
Advertisement
"Proyeksi ini memperlihatkan transisi energi ini akhirnya akan membuat kita harus menentukan jenis-jenis kendaraan baru. Sehingga ICE, itu akan berkurang," kata dia di kantor Kementerian ESDM, dikutip Minggu (28/1/2024).
"Forecast (prediksi) di 2040 tinggal 50 persen malah ada yang bilang tinggal 40 persen, dan sisanya itu adalah kendaraan-kendaraan yang ramah lingkungan," sambungnya.
Banyak Ragam
Agus mengatakan, kendaraan yang ramah lingkungan itu cukup beragam. Mulai dari kendaraan listrik (electric vehicle/EV) berbasis baterai, atau kendaraan hybrid.
"Di ramah lingkungan itu ada macam-macam ada EV, ada yang hybrid," ungkapnya.
Agus kemudian melihat kembali baterai kendaraan listrik yang dipakai. Ada yang berbasis nikel, Nickel-Mangan-Cobalt (NMC), serta Lithium-Ferro-Phosphate (LFP). Keduanya digadang memiliki keunggulannya masing-masing.
NMC vs LFP
Sebelumnya, Baterai mobil listrik menjadi perhatian usai Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) pekan lalu. Ada perdebatan antara baterai lithium ferro phosphate (LFP) dan baterai berbasis nikel atau nickel-mangan-cathode (NMC).
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pengembangan Industri Sektor ESDM Agus Tjahajana mengungkap potensi dari kedua jenis baterai mobil listrik tersebut. Misalnya, LFP memiliki kekurangan dari sisi massa jenis atau densitas.
"LFP itu ada kekurangannya dibandingkan dengan NMC, jadi density dari energinya lebih rendah, jadi kalau dari skala 10 density energinya nikel, yang LFP itu density-nya 5," ujar Agus saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (26/1/2024).
Ukuran dan Berat Lebih Besar
Secara sederhana, baterai LFP bakal memiliki ukuran yang lebih besar dan juga lebih berat. Dia mencontohkan, untuk baterai motor listrik misalnya, berat baterainya bisa 16-17 kilogram (kg).
"Motor aja gampang, (baterai) motor itu sekitar 10-11 kg yang NMC, kalau pakai LFP bisa 16-17 kilo. Karena density-nya itu lebih kecil sehingga perlu barangnya lebih besar," tuturnya.
Agus menerangkan, jika baterai LFP ini dipakai di mobil listrik yang notabene mahal, maka tidak akan cocok. Itu lebih cocok menggunakan baterai NMC. Sementara, LFP disebut lebih cocok untuk kendaraan besar seperti truk atau bus.
"Low end itu pasti LFP, coba tanya (Hyundai) ioniq, ioniq kan pake NMC," kata Agus.
"Sekarang bayangkan, kalau kamu pakai mobil yang mahal abis beratnya sama baterai, ya gak cocok. Jadi kalau barang mahal ya pakai baterai mahal aja, yang enteng jaraknya bisa jauh, sehingga LFP itu akan bagus untuk kendaraan-kendaraan yang truk, bus gitu karena dia kan gak tergantung sama berat segede apapun dia bawa kan, tapi kendaraan juga pakai itu untuk kendaraan yang low end," urainya.
Advertisement
Ketahanan Baterai
Lebih lanjut, Agus juga menyinggung soal usia baterai, baik LFP maupun NMC. Dia memandang LFP bisa memiliki masa pakai yang lebih lama lantaran tingkat panas yang dikeluarkan lebih kecil.
Berbeda dengan baterai nikel atau NMC yang lebih panas. Ini dihitung dari besarnya daya yang digunakan dari kedua baterai tersebut. Dia mengembalikan, hal itu pada tantangan teknologi kedepannya untuk meracik yang paling tepat.
"LFP lebih bagus, karena LFP itu panasnya lebih kecil, karena nyedot dayanya lebih rendah. Kalau panas lebih tinggi itu umurnya agak pendek, tapi itu semuanya yang lagi dicoba supaya umur lebih panjang, jarak tempuh lebih panjang, itu tantangan teknologi, jadi meracik itu," jelas Agus.