HEADLINE: KPU Sebut Jokowi Bisa Ajukan Cuti Kampanye ke Diri Sendiri, Urgensinya?

Pernyataan Jokowi yang menyebut presiden boleh memihak dan berkampanye dalam pemilu memicu polemik, kendati diatur dalam undang-undang. KPU menyatakan, Jokowi bisa mengajukan cuti kampanye kepada dirinya sendiri sebagai presiden.

oleh Nafiysul QodarAdy AnugrahadiMuhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 30 Jan 2024, 00:00 WIB
Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerangkan soal UU Pemilu yang mengatur tentang kampanye. (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus mengajukan cuti jika ingin ikut turun gunung melakukan kampanye politik pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Cuti tersebut diajukan kepada Jokowi sendiri sebagai Presiden Republik Indonesia (RI).

"Dia mengajukan cuti (kepada dirinya sendiri), iya kan presiden cuma satu," kata Ketua KPU Hasyim Asy'ari di Jakarta pada Kamis (25/1/2024) lalu.

Hasyim, menjelaskan hak politik presiden untuk terlibat kampanye dilindungi dan diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Pasal 281 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur tentang tata cara presiden ikut kampanye, di antaranya wajib ambil cuti, karena selama kegiatannya berkampanye presiden dilarang menggunakan fasilitas negara, kecuali fasilitas pengamanan dari Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).

Dalam aturan itu, presiden juga harus cuti di luar tanggungan negara, yang artinya presiden tidak mendapatkan gaji dan tunjangan-tunjangan jika ikut kampanye. Sementara itu, aturan yang sama juga berlaku untuk menteri-menteri yang terlibat kampanye.

"Menteri yang akan berkampanye mengajukan surat izin kepada presiden, dan kemudian presiden memberikan surat izin. Dan setiap surat yang dibuat para menteri yang akan kampanye, surat izin yang diterbitkan presiden itu, KPU selalu mendapatkan tembusan," kata Hasyim.

Jika Presiden Jokowi nantinya memutuskan cuti untuk kampanye Pemilu 2024, Hasyim menegaskan bahwa pengawasannya akan menjadi kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menuturkan bahwa Jokowi memang harus mengajukan cuti ke dirinya sendiri sebagai presiden jika ingin kampanye. Jokowi kemudian mendelegasikan tugas kepala negara kepada Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin, seperti yang kerap dilakukan ketika presiden ke luar negeri.

"Tidak mungkin dong presiden mengajukan cuti ke DPR. Memang kepada dirinya sendiri, atau mungkin bukan cuti ya namun keputusan seperti dia ke luar negeri. Dia kemudian menunjuk wakil presiden dalam tanda kutip sebagai presiden sementara. Jadi in case ada apa-apa, wakil presiden bisa bertindak. Cuma memang tidak pernah diumumkan yang begitu, tapi selalu ada surat keputusan itu," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com, Senin (29/1/2024).

Lebih lanjut, KPU selaku lembaga penyelenggara pemilu juga harus mengumumkan ke publik jika Presiden Jokowi mengambil cuti kampanye. Sehingga masyarakat juga bisa sama-sama mengawasi kegiatan Jokowi.

"Kalau kita bicara tata kelola pemerintahan yang baik harusnya KPU umumkan dong. Bagaimana kalau Bawaslu yang semprit? Lucu kan presiden disemprit Bawaslu karena tidak tahu ternyata presiden sedang cuti. Jadi lebih baik diumumkan KPU atau presiden sendiri yang mau umumkan," kata Refly.

Lantas bagaimana jika Presiden Jokowi berkampanye di akhir pekan Sabtu dan Minggu, apakah tetap harus cuti?

"Itu harus pastikan dulu aturannya di undang-undang atau PKPU. Kalau benar boleh tidak harus cuti, maka itu aturan yang sontoloyo. Kenapa? Presiden itu tidak bisa disamakan dengan pegawai pemerintahan, dia orang nomer satu. Masa iya Sabtu-Minggu kita tidak punya kepala negara karena kepala negara itu libur," ujar Refly. 

"Kalau menteri Sabtu-Minggu libur boleh, karena misal presiden memberikan izin untuk itu. Tapi presiden ya tidak boleh," katanya menambahkan.

Mantan Staf Ahli Presiden ini mengakui, aturan yang membolehkan presiden berkampanye pemilu  masih ambigu, terutama terkait larangan penggunaan fasilitas negara kecuali pengamanan. Sebab tidak ada batasan yang rinci mana komponen keamanan presiden yang dikecualikan dan mana yang dilarang.

"Contoh pesawat dinas kepresidenan itu kan pengamanan, tidak mungkin pakai pesawat lain (pesawat komersil), kendaraan dinasnya juga kan bagian dari pengamanan, boleh dong? Jadi aturannya memang ambigu. Memang kita harus melihat pelbagai perspektif," ujar Refly.

Menurut Refly, setidaknya ada dua hal yang bisa membolehkan seorang presiden yang bukan kandidat pemilu melakukan kampanye. Pertama dia seorang anggota partai politik, dan kedua dia masuk dalam daftar anggota tim kampanye yang telah didaftarkan ke KPU.

"Mengapa aturannya kalau dia anggota parpol boleh kampanye? Karena nature dari anggota parpol ya berkampanye tapi untuk partainya. Dia tercatat di partai mana? Misal Jokowi dari PDIP lalu dia berkampanye untuk PDIP ya boleh. Tapi kalau kampanye untuk PSI atau calon dari 02 (yang bukan diusung partainya) ya kan aneh," ucapnya.

 

Infografis KPU Sebut Jokowi Bisa Ajukan Cuti Kampanye ke Diri Sendiri. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Memang Undang-Undang tentang Pemilu membolehkan seorang presiden melakukan kampanye. Namun menurut Refly, secara etika hak yang diberikan kepada kepala negara untuk berpihak kepada salah satu kandidat sebaiknya tidak dilakukan.

"Kalau kita bicara etis, maka saya katakan tidak. Etika itu lebih kepada lingkungan yang menyertainya. Boleh kita punya hak, tapi kalau hak itu kita ambil itu kan tidak enak, tidak bagus untuk orang lain, karena akan memunculkan conflict of interest," ujarnya.

"Jadi ketika perdebatan soal hukum dan aturannya gagal mencapai kesimpulan maka hal yang tertinggi adalah etikanya. Dan sebagai kepala negara masa dia tidak mau mencontohkan hal yang baik," kata Refly menambahkan.

Dia kemudian memberi contoh ada seorang pejabat yang mendapatkan fasilitas rumah setelah pensiun, tapi tidak diambil dengan alasan masih banyak rakyat miskin yang tidak memiliki tempat tinggal. Menurut dia, keputusan pejabat tersebut mengambil atau tidak fasilitas rumah yang disiapkan tidak melanggar aturan. 

"Tidak melanggar aturan, tapi etikanya lebih tinggi dibanding aturannya. Jadi kalau seorang presiden tidak paham etika, ya sedih sekali bangsanya," kata Refly Harun memungkasi.

Sementara itu, Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai bahwa Presiden Jokowi belum tentu akan mengambil haknya untuk berkampanye pada Pemilu 2024, meski undang-undang membolehkan.

Menurut dia, keputusan Jokowi turun gunung atau tidak akan lebih dulu memperhatikan dinamika politik di lapangan. Apalagi Jokowi memiliki perangkat intelijen di seluruh pelosok Indonesia yang bisa memberikan informasi di lapangan.

"Jadi ada dua kemungkinan saja, bisa diambil cuti artinya kalau diambil sangat jelas Jokowi sangat terang ingin katakanlah keberpihakannya memenangkan Prabowo-Gibran. Dan itu hak politik Jokowi, tidak bisa diganggu oleh siapapun," kata Ujang saat dihubungi Liputan6.com, Senin (29/1/2024).

Hak cuti kampanye Jokowi juga bisa saja tidak ambil apabila elektabilitas Prabowo-Gibran terus menunjukkan tren positif jelang pencoblosan.

"Jadi tergantung Jokowi kalau soal diambil atau tidak diambil cutinya nanti karena semua sudah diatur undang-undang. Kelihatannya (Jokowi) sedang melihat mengkalkulasi kondisi politik di lapangan," ujar Ujang.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini tak memungkiri banyak pihak yang mengkritik wacana Jokowi turun gunung mengkampanyekan salah satu paslon, meski undang-undang mengizinkan.

Namun apakah pernyataan Jokowi tentang presiden boleh kampanye dan memihak pada Pemilu 2024 ini berdampak negatif pada elektabilitas Prabowo-Gibran, Ujang belum bisa memastikannya. Termasuk juga apakah berdampak pada tingkat kepercayaan publik terhadap presiden.

"Harus dilakukan penelitian survei yang obyektif pasca-Jokowi mengeluarkan statement boleh berkampanye itu. Jadi tidak bisa berasumsi mengatakan naik atau turun karena ini harus dilakukan survei dengan obyektif di lapangan," katanya.

Lebih lanjut, dia menuturkan bahwa publik berhak ikut mengawasi kampanye politik Presiden Jokowi pada Pemilu 2024. Publik harus memastikan bahwa tidak ada aturan yang dilanggar oleh kepala negara.

"Semua sudah ada aturanya dan kita harus saling mengawasi satu sama lain. Presiden yang punya kekuasaan dalam konteks apapun termasuk berkampanye harus diawasi oleh kita semua sebagai rakyat Indonesia. Tidak boleh ada yang melanggar, tidak boleh ada yang dilanggar. Apalagi presiden tidak boleh melanggar undang-undang. Jadi harus kita awasi sendiri. Soal formulanya sudah ada ketentuannya. Kita awasi bersama, jangan sampai terjadi kesalahan atau hal hal yang tidak diinginkan," ucap Ujang Komaruddin memungkasi.


Jokowi Bakal Kampanye untuk Prabowo-Gibran?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) blusukan ke Pasar Bululawang, Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kali ini Jokowi ditemani Prabowo Subianto dan Erick Thohir.

Presiden Jokowi menjawab pertanyaan soal kapan ikut mendampingi putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka berkampanye pada momen Pilpres 2024. Terlebih, Jokowi telah menyampaikan bahwa presiden boleh berkampanye sesuai UU Pemilu.

Jokowi khawatir publik kembali heboh apabila dirinya turun gunung untuk kampanye Pilpres 2024. Sebab, pernyataan Jokowi soal presiden boleh kampanye dan memihak langsung menuai pro dan kontra di masyarakat.

"Wong ada pertanyaan, ya kan? Saya menyampaikan ketentuan undang-undang saja sudah ramai," jelas Jokowi kepada wartawan di Pasar Bandongan, Magelang, Jawa Tengah, Senin (29/1/2024).

Jokowi mengakui dirinya sudah beberapa kali diajak putra bungsunya, Kaesang Pangarep untuk ikut kampanye bersama Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Hanya saja, Jokowi tak ingin kehadirannya nanti akan kembali menuai polemik di ruang publik.

"Oh iya, saya sudah diajak bolak balik, tapi sekali lagi, saya menyampaikan ketentuan undang-undang saja, undang-undang Pemilu saja sudah ramai ya," kata Jokowi.

Sementara itu, Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana mengatakan hingga kini Presiden Jokowi belum berencana turun gunung untuk kampanye Pilpres 2024.

Kendati begitu, dia kembali menekankan bahwa seorang presiden diperbolehkan berkampanye, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

"Meskipun diperbolehkan UU Pemilu, sampai saat ini, Presiden Jokowi belum ada rencana berkampanye," kata Ari kepada wartawan, Minggu (28/1/2024).

Menurut dia, Jokowi melakukan kunjungan kerja ke Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam beberapa hari kedepan sebagai presiden. Jokowi diagendakan mengunjungi Akademi Militer Magelang dan meresmikan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta.

"Hari-hari ini, Presiden berada di Yogyakarta dan Jawa Tengah, untuk beberapa agenda kunker, diantaranya: peresmian Kampus UNU Yogyakarta dan kegiatan di Akmil Magelang," jelas Ari.

Jokowi Hanya Menjawab Pertanyaan

Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menjelaskan konteks dari pernyataan Presiden Jokowi terkait presiden boleh kampanye dan memihak. Moeldoko mengatakan Jokowi menyampaikan hal itu bukan serta-merta menyiapkan diri untuk kampanye, namun menjawab situasi yang berkembang.

"Sekali lagi, konteks yang disampaikan presiden itu bukan semerta-merta presiden akan menyiapkan diri untuk kampanye tapi ini sebuah kondisi yang menjawab situasi yang berkembang," kata Moeldoko kepada wartawan, Sabtu (27/1/2024).

Menurut dia, ucapan Jokowi juga sekaligus memberikan pembelajaran berdemokrasi. Moeldoko menilai Jokowi hanya menyampaikan bahwa ada aturan presiden dan menteri boleh berkampanye, asalkan tak menggunakan fasilitas negara.

"Sekaligus memberikan pemahaman bagi kita semua bahwa jangan, enggak boleh ini, enggak boleh ini, enggak boleh ini, kan UU yang kita pegang, standar perangkat kita dari undang-undang. Jangan dari perasaan, jangan dari asumsi, jangan dari macem-macem," ujarnya.

Moeldoko menuturkan Jokowi sebagai pejabat publik harus memberikan pelayanan yang seadil-adilnya tanpa pandang bulu. Kendati begitu, kata dia, presiden juga merupakan figur yang memiliki jabatan politik.

Dia menerangkan hak-hak politik yang melekat pada seorang presiden diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Moeldoko menuturkan UU itu jelas mengatakan bahwa presiden, wakil presiden, para menteri, dan seluruh pejabat publik memiliki hak untuk melakukan kampanye.

"Kita ini kan negara hukum negara demokrasi ya pancerannya hukum. Jadi jangan kemana-mana orientasi standarnya hukum jangan diukur standar perasaan, enggak ketemu," tutur dia.

"Kita ini negara hukum panceranya ya patokannya ya hukum," sambung Moeldoko.


Pernyataan Jokowi Memicu Polemik

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan presiden dan menteri boleh memihak dan berkampanye di Pilpres 2024.

Meski belum memastikan akan turun gunung di Pemilu 2024, pernyataan Jokowi tentang presiden boleh memihak dan kampanye memicu polemik di masyarakat. Meski diatur dalam undang-undang, wacana presiden berkampanye untuk salah satu paslon menuai pro dan kontra.

Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menilai, pernyataan Presiden Jokowi tersebut bisa merusak etika bernegara. "Tapi problematikanya bukan problem normatif peraturan perundang-undangan, problemnya adalah kerusakan etika dan moral karena presiden," ujar Feri kepada wartawan, Kamis 25 Januari 2024 lalu.

Jika presiden memihak kepada salah satu kandidat, kata Feri, maka bisa saja hal itu merusak sistem kepartaian. Sebab idealnya seorang presiden mendukung calon yang diajukan partainya, PDIP. Namun fakta saat ini berbeda. Jokowi diyakini justru mendukung capres yang diusung oleh partai lain.

"Ini kan kerusakan etika berpolitik, berpartai. Letak kesalahan pada panggilan etika dan moral," tutur dia.

Feri mengkritik, sampai saat ini Jokowi diyakini tidak menjalankan nilai-nilai moral bernegara. Bahkan tidak memberikan contoh baik dalam beretika politik di Indonesia.

"Terdapat aturan hukum yang melarang pejabat negara menunjukkan keberpihakannya terhadap peserta pilpres," ucap dosen di Fakultas Hukum Universitas Andalas ini.

Feri lalu mengurai sejumlah pasal yang memayungi aturan terkait. Pertama, Pasal 282 dan 283 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Adapun Pasal 282 berbunyi pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye," ungkap Feri

"Juga Pasal 283, pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta Pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye," sambung Feri.

Feri mengamini aturan tersebut otomatis gugur jika mereka cuti dari jabatannya dan tidak menggunakan fasilitas negara. Sebab, hal itu tertuang dalam dalam Pasal 281. 

Meskipun tidak melanggar aturan, tetapi bentuk keberpihakan kepala negara bakal berbenturan dengan etika dan moral. "Namun semua keberpihakan Jokowi itu berbenturan dengan etika berpolitik dan bernegara," ucap Feri memungkasi.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga mengkritisi pernyataan Jokowi terkait jajaran menteri hingga presiden boleh berkampanye, bahkan memihak di ajang Pemilu 2024.

Direktur Perludem, Khoirunnisa Agustyati mengatakan, pernyataan tersebut berpotensi menjadi pembenar bagi presiden, menteri, bahkan pejabat yang ada di bawahnya untuk aktif berkampanye dan menunjukkan keberpihakan di dalam Pemilu 2024, di tengah adanya konflik kepentingan lantaran anak kandung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres Prabowo Subianto.

"Padahal, netralitas aparatur negara, adalah salah satu kunci mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang jujur, fair, dan demokratis," kata Khoirunnisa dalam keterangannya, Rabu 24 Januari 2024.

Padahal di dalam UU Pemilu Pasal 282 berbunyi; Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.

"Dalam konteks ini, Presiden Jokowi dan seluruh menterinya jelas adalah pejabat negara. Sehingga ada batasan bagi presiden dan pejabat negara lain, termasuk menteri untuk tidak melakukan tindakan atau membuat keputusan yang menguntungkan peserta Pemilu tertentu, apalagi dilakukan di dalam masa kampanye," ucap Khoirunnisa.

Karena itu, dia berharap Jokowi menarik pernyataannya karena berpotensi menjadi alasan pembenar bagi pejabat negara dan seluruh aparatur negara untuk menunjukkan keberpihakan politik di dalam penyelenggaraan Pemilu. Juga berpotensi membuat proses penyelenggaraan Pemilu dipenuhi dengan kecurangan, tidak fair, dan tidak demokratis.

"Mendesak Bawaslu untuk secara tegas dan bertanggungjawab menyelesaikan dan menindak seluruh bentuk ketidaknetralan dan keberpihakan aparatur negara dan pejabat negara, yang secara terbuka menguntungkan peserta pemilu tertentu, dan menindak seluruh tindakan yang diduga memanfaatkan program dan tindakan pemerintah yang menguntungkan peserta pemilu tertentu," ucap Khoirunnisa.

"Mendesak kepada seluruh pejabat negara, seluruh apartur negara untuk menghentikan aktifitas yang mengarah pada keberpihakan, menyalahgunakan program pemerintah yang mengarah kepada dukungan pada peserta pemilu tertentu," katanya memungkasi.

Yusril: Tak Ada Larangan Presiden Berpihak di Pemilu

Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menegaskan, Undang-Undang Pemilu tidak melarang seorang presiden untuk berkampanye, baik untuk pemilihan presiden atau pemilihan legislatif. Termasuk pada payung hukum yang sama, juga tidak ada larangan kepala negara untuk berpihak atau mendukung salah satu pasangan calon presiden.

"Pasal 280 Undang-Undang Pemilu secara spesifik menyebut di antara pejabat negara yang dilarang berkampanye adalah ketua dan para Hakim Agung, ketua dan hakim Mahkamah Konstitusi, ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Tidak ada penyebutan presiden dan wakil presiden atau menteri di dalamnya," ujar Yusril melalui keterangan diterima, Kamis 25 Januari 2024.

Yusril melanjutkan, pada pasal 281, mensyaratkan pejabat negara yang ikut berkampanye dilarang untuk menggunakan fasilitas negara atau mereka harus cuti di luar tanggungan. Kendati begitu, undang-undang tersebut tidak menghapuskan aturan soal pengamanan dan kesehatan terhadap presiden atau wakil presiden yang berkampanye.

"Bagaimana dengan pemihakan? Ya kalau Presiden dibolehkan kampanye, secara otomatis Presiden dibenarkan melakukan pemihakan kepada capres cawapres tertentu, atau parpol tertentu. Masa orang kampanye tidak memihak?," heran Yusril.

Yusril menegaskan, tidak ada aturan menyatakan Presiden harus netral atau tidak boleh memihak. Sebab jika presiden tidak boleh berpihak, maka seharusnya jabatan presiden dibatasi untuk satu periode saja.

Ketua umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini lalu mempersilakan kepada pihak yang ingin presiden netral dan tidak memihak untuk mengusulkan perubahan konstitusi.

"Itu (agar presiden netral) memerlukan amandemen UUD 45. Begitu pula Undang-Undang Pemilu harus diubah, kalau presiden dan wakil presiden tidak boleh berkampanye dan memihak. Aturan sekarang tidak seperti itu, maka Presiden Jokowi tidak salah jika dia mengatakan presiden boleh kampanye dan memihak," ungkap Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) periode 2001-2004 ini.

Yusril pun siap pasang badan, bila ada yang menilai keberpihakan presiden dicap tidak etis. Sebab harus digarisbawahi adalah perbedaan antara norma etik dengan code of conduct.

"Kalau etis dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat, yang harusnya dibahas ketika merumuskan Undang-Undang Pemilu," kata dia.

"Tetapi kalau etis dimaknai sebagai code of conduct dalam suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil dan seterusnya. Masalahnya, sampai sekarang code of conduct presiden dan wakil presiden (dilarang kampanye atau berpihak) belum ada," imbuh Yursil menandasi.


Jokowi Dinilai Berambisi Langgengkan Kekuasaan

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Pertahanan sekaligus calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto, makan bakso di Pasar Desa Bandongan Magelang, Jawa Tengah, Senin (29/1/2024). (Liputan6.com/Lizsna Egaham)

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menilai, pernyataan Presiden Jokowi bahwa presiden boleh memihak dan berkampanye di Pemilu 2024 mencerminkan ambisi untuk melenggangkan kekuasaan.

"Apa yang disampaikan Pak Jokowi akhirnya membuktikan bahwa pasangan Prabowo-Gibran merupakan cermin Jokowi Tiga Periode yang selama ini ditolak oleh PDI Perjuangan," kata Hasto, dalam keterangan resmi.

Menurutnya, pernyataan Jokowi selain melanggar etika politik, juga melanggar pranatan kehidupan bernegara yang baik.

"Bayangkan saja, Pak Jokowi ini sudah menjabat presiden dua periode, dan konstitusi melarang perpanjangan jabatan. Dengan ketegasan Pak Jokowi untuk ikut kampanye, artinya menjadi manifestasi tidak langsung dari ambisi kekuasaan tiga periode," tegas dia.

Publik, kata Hasto juga mempersoalkan rekayasa hukum yang dilakukan di Mahmakah Konstitusi (MK) untuk meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.

Hasto pun kembali menyinggung soal dugaan Presiden Jokowi membuntuti Ganjar Pranowo saat berkampanye di Jawa Tengah, Jawa Timur Lampung, dan NTT.

"Sebab Ganjar Pranowo itu Presiden rakyat, dekat dengan wong cilik, memiliki program rakyat miskin yang diterima luas, dan menampilkan model kepemimpinan yang menyatu dengan rakyat," papar Hasto.

"Ditambah ketegasan Prof Mahfud MD. Itulah yang ditakutkan dari Ganjar-Mahfud, sampai lebih sepertiga pengusaha penyumbang perekonomian nasional pun dikerahkan untuk dukung Paslon 02," tambahnya.

Lebih lanjut, Hasto berpandangan bahwa pernyataan Presiden Jokowi yang disampaikan di depan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto hingga jajaran TNI juga sangat tidak elok.

"TNI adalah kekuatan pertahanan yang seharusnya netral. Namun hal tersebut justru mengungkapkan motif sepertinya ingin melibatkan TNI, setidaknya secara psikologis," ujar Hasto.

"Jadi akhirnya terjawab mengapa banyak intimidasi. Ganjar-Mahfud dikepung dari seluruh lini, meski kami meyakinan kekuatan rakyat tidak bisa dibendung dan akan menjadi perlawanan terhadap kesewenang-wenangan yang terjadi," tandas Hasto.

Sementara itu, Ketua Bidang Kehormatan DPP PDIP Komarudin Watubun menyatakan tak ada aturan yang melarang presiden berkampanye. Namun, ia mengingatkan bahwa hal tersebut melanggar etik. Menurutnya, etika dan moral harus di atas hukum dan aturan perundang-undangan.

"Ini kan saya bicara soal etik dan moral bernegara, ya, etik itu diatas hukum diatas pengaturan perundang-undang, etik itu soal kepatutan, kepantasan, pantas patut kita lakukan, sebagai contoh," kata Komarudin pada wartawan, Kamis 25 Januari 2024.

"Saya jelaskan pertama dari aspek etika moral berbangsa ya, bangsa bisa runtuh kalau etika dan moralnya tidak ada," sambungnya.

Komarudin membeberkan bahwa pada UU Pemilu, Presiden boleh berkampanye dengan beberapa syarat. Di antaranya berstatus sebagai anggota partai politik.

"Nah pertanyaan sekarang Pak Jokowi anggota parpol mana? Kemudian ke 2, jika bukan anggota parpol, maka presiden dapat melaksanakan kampanye apabila yang menjadi capres dan cawapres seperti Pak Mahfud," ucap dia.

Selain anggota parpol dan menjadi cawapres, syarat lainnya adalah presiden bisa berkampanye apabila resmi terdaftar sebagai tim sukses di KPU.

"Nah pertanyaannya apakah Pak Jokowi termasuk dalam anggota tim kampanye yang sudah didaftarkan atau tidak itu," kata dia.

Apalagi, ada syarat bahwa presiden tak boleh memakai fasilitas negara dan harus cuti.

"Syarat kedua kedua menjalani cuti di luar tanggungan negara, pasal 281 itu dasar hukumnya," jelas Komarudin.

Pernyataan Jokowi

Sebelumnya, Jokowi selepas menghadiri kegiatan di Pangkalan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1/2024), menyampaikan bahwa presiden sebagai warga negara juga mempunyai hak politik, salah satunya hak berkampanye.

Presiden Jokowi menjelaskan hak itu pun dilindungi dan diatur oleh peraturan perundang-undangan.

“Semua itu pegangannya aturan, kalau aturan boleh, silakan, kalau aturan tidak boleh, tidak, sudah jelas itu. Jangan presiden tidak boleh, boleh berkampanye boleh. Tetapi dilakukan atau tidak dilakukan terserah individu masing-masing," kata Jokowi.

Walaupun demikian, Jokowi belum memutuskan akan mengambil hak politiknya itu atau tidak, selama tahapan pemilu 2024.

"Ya nanti dilihat," kata Jokowi. 

Setelah pernyataannya itu disorot dan menjadi polemik, Jokowi kembali memberikan penjelasan. Dia menegaskan bahwa aturan soal presiden dan wakil presiden memiliki hak untuk kampanye diatur dalam Pasal 299 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. 

"Itu kan ada pertanyaan dari wartawan mengenai menteri boleh kampanye atau tidak. Saya sampaikan ketentuan dari aturan perundang-undangan," kata Jokowi sebagaimana disiarkan di Youtube Sekretariat Presiden, Jumat (26/1/2024).

Jokowi membawa sebuah kertas besar berisi pasal-pasal yang mengatur presiden dan wakil presiden boleh kampanye, asalkan tidak menggunakan fasilitas negara. Untuk itu, dia meminta agar aturan soal presiden diperbolehkan kampanye tak ditarik kemana-mana.

"Ini saya tunjukin undang-undang nomor 7 tahun 2017 jelas menyampaikan di pasal 299 bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye. Jelas? Jadi saya sampaikan ketentuan mengenai undang-undang pemilu jangan ditarik ke mana-mana," jelasnya.

Selain itu, Jokowi menjelaskan soal ketentuan Pasal 281 UU Pemilu yang menyebutkan bahwa kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden dan wakil presiden harus memenuhi ketentuan.

Misalnya, tidak menggunakan fasilitas dalam jabatan, kecuali fasilitas pengamanan dan menjalani cuti di luar tanggungan negara.

"Udah jelas semuanya kok. Sekali lagi, jangan ditarik kemana-mana. Jangan diinterpretasikan ke mana-mana. Saya hanya menyampaikan ketentuan aturan perundang-undaan karena ditanya," tutur Jokowi.


Aturan yang Menyebut Presiden Boleh Kampanye dan Memihak

Dalam kesempatan itu, Jokowi membeberkan alasan dirinya cawe-cawe menjelang pemilu 2024. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut seorang presiden dan menteri boleh memihak dan berkampanye saat Pemilu membuat heboh. Hal itu dinilai melanggar aturan, sebab presiden dan menteri dianggap masyarakat sebagai pejabat negara yang diyakini harus netral selama kontestasi pesta demokrasi.

Lalu bagaimanakah payung hukumnya?

Membedah aturan kepemiluan yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terdapat sejumlah daftar pejabat negara  yang secara jelas dilarang ikut berkontestasi. Sayangnya dalam daftar tersebut, presiden, menteri dan kepala daerah tidak termasuk.

Hal itu termuat dalam sejumlah pasal Pasal 280 ayat (2) dan (3). 

Pasal 280 ayat (2) UU Pemilu berbunyi: Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan:

  1. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
  2. Gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;
  3. Direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah;
  4. Pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural;
  5. Aparatur sipil negara;
  6. Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  7. Kepala desa; Perangkat desa;
  8. Anggota badan permusyawaratan desa; dan
  9. Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih. 

Kemudian Pasal 280 ayat (3) UU Pemilu berbunyi: Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang ikut sebagai pelaksana dan tim Kampanye pemilu. 

Lalu bagaimana aturan terhadap presiden dan menteri untuk ikut berkampanye?

UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di bagian kedelapan memuat soal beleid Kampanye Pemilu oleh Presiden dan Wakil Presiden dan Pejabat Negara Lainnya. Hal itu tertuang di Pasal 299. 

1. Presiden dan wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye.

2. Pejabat negara lainnya yang berstatus sebagai anggota partai Politik mempunyai hak melaksanakan kampanye.

3. Pejabat negara lainnya yang bukan berstatus sebagai, anggota Partai Politik dapat melaksanakan kampanye, apabila yang bersangkutan sebagai:

  1. calon presiden dan calon wakil presiden;
  2. anggota tim kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU; atau
  3. pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU.

Walau diperbolehkan, namun mereka yang termasuk dalam Pasal 299 memiliki ketentuan khusus di Pasal 300.

Selama melaksanakan kampanye, presiden dan wakil presiden, pejabat negara, dan pejabat daerah wajib memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah,” bunyi pasal 300.

Kemudian terhadap menteri yang ikut berkampanye, juga memiliki aturan yang harus ditaati dalam Pasal 302. Berikut bunyinya:

  1. Menteri sebagai anggota tim kampanye dan/atau pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud dalam pasal 299 ayat (3)  huruf b dan huruf c dapat diberikan cuti.
  2. Cuti bagi menteri yang melaksanakan kampanye dapat diberikan 1 (satu) hari kerja dalam setiap minggu selama masa kampanye.
  3. Hari libur adalah hari bebas untuk melakukan kampanye di luar ketentuan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Terakhir, bagi pejabat negara yang dibolehkan berkampanye, terdapat aturan yang menjadi pembatasan agar tidak menyalahgunakan kewenangan. Hal itu tertuang dalam Pasal 304. Berikut isinya:

1. Dalam melaksanakan Kampanye, presiden dan wakil presiden, pejabat negara, pejabat daerah dilarang menggunakan fasilitas negara.

2. Fasilitas negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

  1. sarana mobilitas, seperti kendaraan dinas meliputi kendaraan dinas pejabat negara dan kendaraan dinas pegawai, serta alat transportasi dinas lainnya;
  2. gedung kantor, rumah dinas, rumah jabatan milik Pemerintah, milik pemerintah provinsi, milik pemerintah kabupaten/kota, kecuali daerah terpencil yang pelaksanaannya harus dilakukan dengan memperhatikan, prinsip keadilan;
  3. sarana perkantoran, radio daerah dan sandi/telekomunikasi milik pemerintah provinsi/kabupaten/kota, dan peralatan lainnya; dan
  4. fasilitas lainnya yang dibiayai oleh ApBN atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

3. Gedung atau fasilitas negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang disewakan kepada umum dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Infografis Ragam Tanggapan Presiden Jokowi Boleh Berkampanye. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya