Liputan6.com, Jakarta - Polemik pajak hiburan terus berlanjut hingga saat ini. Para pengusaha meminta agar kenaikan pajak hiburan dibatalkan karena bisa mengancam industri pariwisata. Namun sepertinya permintaan tersebut tidak akan dikabulkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Terbaru, sebagai cara agar beban para pengusaha hiburan tidak terlalu tinggi, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meninta pemerintah daerah (pemda) untuk memberikan relaksasi tarif pajak hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan spa di bawah 40 persen.
Advertisement
Relaksasi tarif pajak hiburan di bawah 40 persen bagi usaha karaoke hingga spa diperlukan atas pertimbangan faktor lapangan pekerjaan. Selain itu, bisnis usaha terkait juga masih dalam proses pemulihan pasca terdampak pandemi Covid-19.
"Saya mendorong daerah-daerah lain untuk kesinambungan lapangan pekerjaan dan kesulitan dari usaha pasca covid," ujar Mendagri Tito kepada awak media di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (29/1/2023).
Tito menambahkan, relaksasi tarif pajak karaoke hingga spa di bawah 40 persen juga telah diatur dalam pasal 101 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Relaksasi ini mempertimbangkan kepentingan kelanjutan pembangunan daerah.
"Ya tugas kami mendorong untuk menggunakan aturan itu. Menggunakan kewenangan yang diberikan Undang- Undang (HKPD) atas dasar pertimbangan pembangunan daerahnya boleh menurunkan (pajak) sampai di bawah 40 persen," bebernya.
Bela Pengusaha Soal Pajak Hiburan, Menko Luhut: Kasihan 20 Juta Orang Terancam
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan penerapan pajak hiburan 40-75 persen bisa mengganggu ekosistem industri hiburan. Bahkan, dia mencatat 20 juta orang yang terlibat di industri hiburan terancam.
Ini menyusul protes yang dilayangkan sejumlah pengusaha hiburan terkait Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) hiburan 40-75 persen. Aturan ini tertuang dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).
Menko Luhut mengatakan, aturan besaran pajak hiburan yang diatur oleh pemerintah daerah (pemda) ini bisa melihat juga kemampuan dunia usaha. Salah satunya mengenai aturan insentif fiskal yang bisa diberikan pemda kepada usaha hiburan.
"Kembali ke yang lama itu, kan kasihan bisa tutup semua itu lapangan kerja kepada berapa juta orang itu, 20 juta," ujar Menko Luhut kepada wartawan di Kantor Kemenko Marves, Jakarta, Jumat (26/1/2024).
Insentif yang dimaksud Menko Luhut merujuk pada Pasal 101 ayat 3 UU HKPD. Dimana ada kewenangan Pemda untuk bisa mengatur pajak hiburan lebih rendah dari 40 persen. Ini juga diperkuat oleh Surat Edaran Mendagri tentang ketentuan yang sama.
Menko Luhut mengatakan, langkah sejumlah pengusaha yang melakukan upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi langkah yang tidak melanggar hukum. Menurutnya, peninjauan kembali atau judicial review (JR) yang diupayakan bukan jadi suatu masalah.
"Lah iya itu mereka maju ke MK itu, yaa biarin lah. Kan semua punya hak mau ke MK, kalau masalah judicial review, jadi jangan dibilang melanggar konstitusi atau melanggar undang-undang, ndak melanggar, itu prosedur yang dibuat untuk men-challenge undang-undang yang ada," tuturnya.
Advertisement
20 Juta Masyarakat Terancam
Kenaikan pajak hiburan 40-75 persen dinilai bisa mengancam sekitar 20 juta masyarakat yang bekerja dalam ekosistem industri pariwisata. Bahkan, Bali disebut-sebut menjadi wilayah yang akan terkena dampak paling besar.
Hal ini diungkap pengusaha dan pengacara kondang Hotman Paris Hutapea. Dia menilai, kenaikan pajak hiburan ini bisa mengancam jutaan pegawai di industri tersebut.
"Karena ini membahayakan perekonomian, 20 juta penduduk yang kerja di sektor pariwisata, UMKM, begitu banyak. Jangan hanya melihat pengusahanya. Kami hanya segelintir," ujar Hotman kepada wartawan di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jakarta, Jumat (26/1/2024).
Dia mengatakan, masyarakat Bali menjadi satu wilayah yang akan terdampak cukup besar. Menurut hitungannya, satu per tiga penduduk Bali bergantung pada industri hiburan dan pariwisata.
"Yang paling kena (dampak) masyarakat Bali, 1,5 juta penduduk Bali dari 4,5 juta bekerja di pariwisata. Jangan sampai Bali nanti mikir-mikir, aduh gak enak nih gabung sama Indonesia ini, coba bayangin coba," urainya.
Bisnis Bisa Tutup
Hotman menjelaskan, industri hiburan ini jadi salah satu yang juga vital. Pasalnya, perputaran uang di sektor ini berdampak pada sejumlah jasa lainnya.
"Ini sangat vital ini turis itu datang dan ke pesawat, dapat uang. Turun ke bandara naik taksi dapat uang. Dia ke restoran, semua UMKM supply cabai apa semua dapat uang," tuturnya.
"Peraturan ini tidak masuk di akal ada oknum berambisi entah karena apa agar bisnis ini tutup. Padahal masyarakat Bali akan mengamuk kalau sampai bisnis kelab di Bali tutup. Karena kalau ribuan turis itu kan kalau malam emang dia tidur? Kan dia pergi ke kelab. Nyatakan aja sekaligus bisnis pariwisata tutup di Indonesia. Selesai," pungkasnya.
Advertisement