Indonesia Diminta Tak Ikuti Thailand Gagal Jadi Negara Maju, Hilirisasi Jadi Kunci

Eks Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi meminta Indonesia fokus pada program hilirisasi. Sehingga Indonesia bisa jadi negara maju di 2038

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 29 Jan 2024, 21:39 WIB
Pemandangan gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan di Jakarta, Selasa (5/4/2022). Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 menjadi 5,1 persen pada April 2022, dari perkiraan sebelumnya 5,2 persen pada Oktober 2021. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Eks Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi meminta Indonesia fokus pada program hilirisasi. Sehingga Indonesia bisa jadi negara maju di 2038 dengan mengusung pakem industrialisasi.

Mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) periode 2005-2009 ini meminta Indonesia tetap mempertahankan asa kompetitifnya. Supaya bisa jadi negara industrialis dan keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah (middle income trap).

"Kita lagi diuber deadline. Kalau tidak industrialisasi atau hilirisasi, kita telat dan tidak melaksanakan ini pada hari ini juga, maka kita tidak bisa keluar dari middle income trap, pada 2038-2040 kita selesai," ujar Lutfi di Jakarta, Senin (29/1/2024).

Lutfi tak ingin Indonesia bernasib sama seperti Thailand, yang telah gagal mengejar impian jadi negara maju karena tak bisa memanfaatkan bonus demografinya yang sudah terlewat

"Thailand dijamin tidak akan menjadi negara maju berpendapatan tinggi. Dijamin. Saya tidak mau ini kejadian sama Indonesia di tahun 2038," tegas Lutfi.

"Thailand sudah lewat, 2010 bonus demografinya habis. Dia berantem antara raja sama Thaksin Shinawatra (Perdana Menteri Thailand 2001-2006), kudeta, selesai, dijamin tidak akan menjadi negara maju. Kita tidak mau kejadian itu terjadi di Indonesia," imbuhnya.

Tak Ingin Seperti Venezuela

Tak hanya Thailand, ia juga tak mau Indonesia jatuh seperti Venezuela. Meskipun kaya atas minyak, namun negara Amerika Selatan tersebut tidak bisa memaksimalkannya untuk kepentingan domestik.

"Satu lagi negara Venezuela. Venezuela hasilkan 4 juta barel minyak, berantem selesai, jamin tidak akan jadi negara maju," ungkap Lutfi.

"Kita sekarang trajectory sudah benar. Jangan sampai itu lewat. Salah mencari pemimpin tidak mengerti industrialisasi, tidak mengerti hilirisasi, jamin kita tidak akan lewat middle income trap, deadline kita," tuturnya.

 


Kawal Hilirisasi, Jokowi dan Luhut Layaknya Supir dan Kenek Angkot Medan

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada Presiden Jokowi, Rabu (21/6/2023). (Foto: instagram@luhut.pandjaitan)

Mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengagumi komitmen program hilirisasi yang dijalankan Presiden Joko Widodo. Eks Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) periode 2005-2009 ini bahkan mengibaratkan Jokowi selayaknya supir angkot Medan, yang dibantu oleh Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan sebagai keneknya.

Perbandingan itu diberikan lantaran keduanya berani menerjang berbagai desakan dari luar negeri yang tidak menyukai program hilirisasi yang diusung Pemerintah RI.

Lutfi mengatakan, Indonesia kini berhadapan dengan investor luar yang seolah bermuka dua. Dahulu, mereka diklaim menilai hilirisasi sebagai program yang bagus bagi negara menengah bawah agar bisa industrialisasi. Begitu dilakukan, penilaian jadi bersifat subjektif dan menganggap hilirisasi itu jelek.

"Kebetulan, presiden kita ini berani dan gagah perkasa. Kalau saya analogikan beliau kayak supir Medan. Naik gak naik, kita jalan. Dan, yang jalan ini kebetulan juga berani, investornya," ujar Lutfi dalam acara bincang bersama Relawan Pengusaha Muda Nasional (Repnas) di Jakarta, Senin (29/1/2024).

"Pak Luhut ada dimana? Ini keneknya. Ini juga jago, dan sangat berani. Ini perjumpaan yang saya bilang tadi, Indonesia pusaka," imbuh dia.

 


Hilirisasi Nikel

Harita Nickel di Pulau Obi sudah menggelontorkan investasi lebih dari USD 1 miliar untuk membangun industri hilirisasi nikel (dok: Ilyas)

Lebih lanjut, Lutfi lantas membuat perbandingan dalam proses hilirisasi nikel. Dalam hal industri baterai kendaraan listrik, China disebutnya tidak serta merta meninggalkan nikel demi lithium ferrophosphate (LFP) yang ditenggarai lebih murah ongkos.

"Jadi dia invest di Indonesia dua-duanya juga. Nanti yang menang dia ambil satu. Karena kenapa, mereka punya penduduk 1,3 miliar. Kalau tetangganya cuman 100 juta (Jepang), dan menua. Setiap tahun hilang penduduknya. Sedangkan mereka melihatnya penduduk dunia akan terus bertambah dan rakyatnya masih 1,3 miliar," ungkapnya.

"Jadi mereka melihat risiko itu berbeda dari banyak negara maju, dimana penduduknya itu sudah menurun. Kita melihat penduduk kita terus bertambah sampai 2038. Jadi, appetite melihat risiko itu berbeda dari banyak negara maju. Karena kenapa, mereka berkepentingan untuk dua-duanya, karena dua-duanya ini mas depan mereka," kata Lutfi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya