Liputan6.com, Jakarta - Setelah dua dekade bergulat dengan isu-isu hak asasi manusia (HAM), khususnya hak perempuan, Andy Yentriyani akhirnya terpilih menjadi Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Sebuah perjuangan panjang yang terus dilakukannya sejak masih di bangku sekolah hingga kini.
Lahir pada 24 Januari 1977, Andy Yentriyani tumbuh dan besar di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Menamatkan pendidikan dasar di SDN 1 Pontianak, Andy mulai tertarik dengan isu perempuan sejak duduk di bangku SMPN 1 Pontianak karena fenomena yang hidup di lingkungan sekitar.
Advertisement
Andy menyaksikan langsung, tak sedikit dari teman-teman sekolahnya yang perempuan dan beretnis Tionghoa harus pasrah dinikahi warga Taiwan. Mereka pun kehilangan masa remaja karena dinikahkan orangtua di usia yang masih sangat belia antara 13-14 tahun. Melalui pernikahan transnasional tersebut, sebagian besar berujung pada kasus perdagangan manusia.
Di sisi lain, di keluarganya Andy mendapatkan suasana yang berbeda. Tak ada tekanan kepadanya untuk segera menikah. Demikian pula di pendidikan, dia hanya diminta fokus sekolah tanpa harus memikirkan jadi juara kelas atau tidak. Andy pun diberi kebebasan memilih masa depannya, dengan catatan harus selalu melakukan yang terbaik.
Usai menamatkan pendidikan di SMAN 1 Pontianak, Andy memutuskan kuliah di Universitas Indonesia dengan mengambil jurusan Hubungan Internasional. Bisa dimaklumi, karena sejak awal Andy memang bercita-cita menjadi diplomat. Namun, dia tetap memiliki keresahan terhadap nasib perempuan di kota kelahirannya.
Keresahan itu pula yang kemudian diangkat menjadi judul skripsi dengan tema pengalaman perkawinan transnasional perempuan Pontianak. Kendati dianggap kurang relevan dengan jurusan yang diambil, dia tetap kukuh dengan niatnya. Namun Andy diharuskan mencari pembimbing dari luar kampus yang akhirnya menjadi pintu dan perkenalan dengan Komnas Perempuan.
Sembari melakukan penelitian, Andy terus memantau aktivitas yang ada di lembaga tersebut. Pada saat itu, Komnas Perempuan belum memiliki lembaga perlindungan saksi dan korban. Sehingga, banyak perempuan korban peristiwa-peristiwa besar tidak bisa melapor ke Komnas Perempuan. Hal ini membuat Andy makin tertarik menggeluti hal yang berkaitan dengan masalah perlindungan terhadap perempuan.
Usai meraih gelar sarjana dari kampusnya, Andy sudah melupakan cita-citanya menjadi diplomat dan memutuskan bergabung dengan Komnas Perempuan sejak tahun 2000. Pada periode ini pula Andy menamatkan pendidikan S2 pada Program Media and Communications, Goldsmith College, University of London, Inggris (2014) serta menjadi dosen Gender dan Hubungan Internasional di Universitas Indonesia (2006-2018).
Sepuluh tahun kemudian Andy terpilih menjadi Komisioner Komnas Perempuan periode 2010-2014. Andy pun makin intens memantau dan mendokumentasikan kekerasan terhadap perempuan serta mengadvokasi persoalan hak-hak perempuan di tingkat lokal, nasional juga global.
Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai Komisioner Komnas Perempuan pada 2014, Andy memutuskan rehat sejenak dari lembaga itu, namun bukan berhenti dari aktivitas mengadvokasi hak-hak perempuan.
Dia antara lain menjadi Koordinator Asia Pacific Women’s Alliance on Peace and Security (APWAPS) pada 2014-2018 yang antara lain mendirikan Sekolah CERLANG, sekolah usia dini di Pontianak yang menggunakan pendekatan pendidikan kritis dan kebangsaan.
Andy juga aktif menggagas inisiatif merawat kebhinekaan, demokrasi, dan perdamaian lewat Yayasan Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) pada 2015-2018 di Kalimantan Barat, yang bergerak di bidang penelitian dan pendidikan publik, termasuk melalui pengembangan pendidikan usia dini.
Andy juga mengembangkan inisiatif untuk penelitian dan pengkajian lewat Perkumpulan Rukun/Lingkar Bestari di Jakarta, yang bergerak di bidang penelitian dan pendidikan publik, termasuk melalui pengembangan pendidikan usia dini.
Selain itu, berbagai tulisannya berkaitan dengan situasi HAM di Indonesia, utamanya dalam hal pemenuhan hak asasi perempuan, diterbitkan di dalam maupun luar negeri. Puncaknya adalah ketika Andy akhirnya kembali ke Komnas Perempuan dan menjabat sebagai Ketua Komnas Perempuan periode 2020-2024.
Dengan posisi yang sekarang, apa lagi langkah yang akan dilkakukan Andy dalam upayanya melindungi hak-hak perempuan Indonesia? Berikut petikan wawancara Ratu Annisaa Suryasumirat dengan Andy Yentriyani dalam program Bincang Liputan6.
Batal Jadi Diplomat, Bergabung ke Komnas Perempuan
Ibu Andy disebutkan pernah bercita-cita menjadi diplomat, kenapa akhirnya malah bergabung dengan Komnas Perempuan?
Sebetulnya kalau ditanya cita-cita remaja saya justru jadi ahli nuklir. Karena itu saya sebetulnya SMA-nya itu mengambil A1, kalau dulu berarti kelas fisika ya dan bisa ikut lewat jalur prestasi.
Tapi saya ingat satu hari saya nonton televisi, terus ada Pak Ali Alatas lagi bicara tentang kondisi Indonesia dan waktu itu menyebut Timor Timur, saya ingat istilahnya itu adalah kerikil di batunya Indonesia. Saya pikir sebetulnya ada ruang juang yang berbeda.
Apalagi pada saat itu kan masih ada keinginan karena saya besar dengan model penataran P4 gitu tentang penghayatan dan pengamalan Pancasila dan lain-lain. Jadi sepertinya jangan-jangan ruang untuk melakukan pembelaan terhadap Indonesia itu justru di dalam diplomasi luar negeri gitu. Karenanya, setelah lulus SMA saya langsung ingin masuk ke hubungan internasional.
Nah, dalam perjalanannya terjadi juga pembredelan Tempo, misalnya. Jadi saya waktu itu diajak untuk mempelajari kenapa sih bisa sampai dibredel media-medianya? Kenapa pemerintah tidak memberikan ruang untuk masyarakatnya menyatakan pandangannya dan kritiknya gitu.
Lalu macam-macam hal lain yang terjadi ya setelah itu, seperti krisis ekonomi dan berpuncak pada tragedi Mei 1998. Peristiwa itu yang membuat saya terhenyak betul ya, saya pikir ini kalau kita mau kerja sungguh-sungguh untuk membangun Indonesia, tampaknya kerjanya harus dari dalam negeri, bukan di luar negeri di dalam proses diplomasi yang merupakan hilir ya dari proses pembelaan gitu. Sementara yang perlu dibenahi itu justru di dalam negerinya, di hulunya.
Kerusuhan Mei 1998 sangat membekas bagi Anda ya?
Pada peristiwa Mei 1998 secara spesifik kekerasan yang dialami oleh perempuan, mulai dari peristiwa kekerasan seksual yang ditargetkan pada etnis Tionghoa, tetapi juga informasi tentang berbagai kekerasan yang terjadi, misalnya di daerah operasi militer di Papua, dulu Timor Timur, Aceh, dan lain-lain serta pada peristiwa 1998.
Tahun 1997-1998 itu kan di Indonesia semua daerah konflik gitu ya? Terus jadi ada banyak sekali cerita-cerita tentang kekerasan yang terjadi. Karena itu saya merasa bahwa ini pilihan yang tepat untuk membuat sesuatu yang memungkinkan kekerasan terhadap perempuan ini tidak berulang karena rasanya terlalu berat bahwa pengalaman kesedihan yang sama itu masih harus dialami oleh generasi-generasi Indonesia ke depan.
Jadi, pada titik itulah saya memutuskan bahwa meskipun saya belum selesai sekolah, tampaknya saya akan memilih bekerja di dalam negeri. Awalnya saya ikut dalam membangun media kampus ya dan kemudian saya ikut pelatihan lewat kawan-kawan AJI, Aliansi Jurnalis Independen dan saya ikut ke satu kantor berita.
Artinya ketika itu Anda belum menyelesaikan studi di Hubungan Internasional UI?
Belum. Kemudian di fase itu juga saya harus menyelesaikan skripsi saya untuk lulus kuliah kan. Pada saat itu saya memang sejak SMP punya keinginan untuk mencari tahu apa yang sebetulnya terjadi di sekeliling saya.
Saya kan lahir dan besar di Pontianak di Kalimantan Barat, dan saya hidup di dua tempat yaitu di kampung yang kalau dulu belum ada jalan darat kami harus naik kapal kecil gitu, sekitar empat jam ke sana. Karena orangtua saya sangat memprioritaskan sekolah jadi kami juga diberikan kesempatan untuk tumbuh di kota gitu karena kan di kampung nggak ada sekolahan yang bagus.
Nah, saya melihat teman-teman saya pada usia SMP, khususnya teman-teman perempuan itu mulai dinikahkan dalam usia yang sangat kecil, sementara kami masih menata cita-cita ya, ini habis SMP mau sekolah SMA di mana? Habis SMA itu mau belajar apa dan lain-lain.
Jadi mereka yang masih berusia 14-15 tahun itu dinikahkan?
Benar, jadi teman-teman saya mulai dinikahkan gitu kan dengan macam-macam model. Ada yang kalau mereka adalah transmigran biasanya diajak pulang ke kampung orangtuanya kemudian dinikahkan di sana atau dinikahkan di kampung atau bahkan kalau dia dari etnis Tionghoa itu dinikahkannya sampai ke Taiwan.
Dan itu bisa jadi suaminya itu usianya sudah dua tiga kali lipat dari usia dia, bahkan bisa lebih tua daripada usia orangtuanya. Nah saya selalu berpikir, kenapa orang nggak merasa ada yang salah ya dengan proses ini? Dan saya ingin tahu, ingin tahu sekali sebenarnya apa yang terjadi.
Dan memang kemudian kita melihat keluarga yang terutama ya yang menikah sampai keluar negeri orangtuanya itu kehidupan ekonominya jadi agak lebih baik gitu, bukan saja dari uang mahar atau uang mas kawinnya, tapi juga ketika anaknya sudah di luar negeri bisa ngirimin uang ke orangtuanya, baik karena dianya kerja di sana ataupun dari tata kelola uang domestiknya.
Jadi waktu kuliah saya memutuskan bahwa saya ingin menulis tentang ini, soal perkawinan transnasional dan apa sebetulnya yang menjadi dasar peristiwa ini bisa ada. Di saat itu di Indonesia ini gender dan hubungan internasional belum berkembang dan tidak ada pembimbing skripsi yang punya informasi tersebut.
Kalau saya boleh menyebutkan hanya ada Mba Ani Soetjipto, salah satu pemikir akademisi Indonesia yang memang juga fokus pada isu gender yang mendukung saya, terus bilang oke. Karena harus membuktikan ini adalah ilmu hubungan internasional saya diminta untuk mencari pembimbing ke luar dari kampus dan pada saat itu salah satu tokoh perempuan yang aktif dalam isu migrasi, TKW dan lainnya adalah Mba Tati Krisnawati yang merupakan salah satu komisioner di Komnas Perempuan.
Di titik inilah Anda mulai bersentuhan dengan Komnas Perempuan?
Jadi saya sebenarnya terbawa ke Komnas Perempuan karena itu. Waktu diminta jadi pembimbing skripsi saya, Mba Tati menyebutkan boleh, tapi bantu kami dulu karena ini sedang lagi mau bikin satu kegiatan yaitu seminar internasional tentang perlindungan saksi dan korban.
Waktu itu tahun 2000 dan kita belum punya perlindungan saksi dan korban, baik itu payung hukumnya maupun lembaganya. Dan karena seminar internasional nanti akan datang para hakim dari Pengadilan Tinggi Yugoslavia dan Rwanda.
Dan saya pikir kapan lagi ya anak Hubungan Internasional punya kesempatan untuk bicara langsung dengan para hakim yang dahsyat-dahsyat ini. Jadi saya bilang oke, kalau gitu saya bersedia jadi relawan mengorganisir kegiatan ini. Dan dari situlah sebetulnya saya terus bersama Komnas Perempuan sejak tahun 2000.
Advertisement
Pulang Kampung untuk Menenangkan Diri
Pada 2014 Anda memutuskan keluar dari Komnas Perempuan, kenapa?
Saya sebetulnya punya dua kali break dari Komnas Perempuan kalau dilihat perjalanan saya dari tahun 2000. Jadi tahun 2003 saya memutuskan untuk sekolah lagi. Waktu itu saya ditanya, sebenarnya kamu mau sekolah apa? Saya bilang, saya mau sekolah media dan komunikasi.
Karena saya percaya bahwa untuk melakukan perubahan, khususnya terkait dengan kekerasan terhadap perempuan dibutuhkan perubahan paradigma yang luar biasa. Dan itu berawal dari kerja kita dengan masyarakat dan karenanya ada kebutuhan untuk bisa menyampaikan gagasan-gagasan kita dengan lebih tepat kepada masyarakatnya.
Nah saya sekolah satu tahun dapat beasiswa ya, jadi waktu saya pulang bersamaan dengan kematian Cak Munir. Waktu saya kembali ke Indonesia, saya diminta untuk ayo kita buat peringatan untuk Cak Munir bersama sama dengan teman-teman. Karenanya di Komnas Perempuan, Cak Munir ini kita anggap sebagai salah satu perempuan pembela HAM.
Kenapa Cak Munir disebut perempuan pembela HAM?
Jadi perempuan pembela HAM itu bukan hanya perempuan yang melakukan pembelaan-pembelaan hak asasi manusia, tetapi juga siapa saja yang melakukan pembelaan terhadap hak perempuan. Dan Cak Munir adalah salah satu tokoh yang selalu mengingatkan tentang peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai konteks kekerasan di situasi-situasi konflik dan pelanggaran HAM di Indonesia.
Nah, saya sebetulnya masih pikir-pikir mau sekolah lagi, terus tsunami di tahun 2004 itu. Pada saat tsunami, salah seorang komisioner Komnas Perempuan berasal dari Aceh kemudian memutuskan untuk pulang ke Aceh dan saya diminta untuk membantu Beliau melakukan pendokumentasian tentang kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam situasi pascakonflik, karena segera setelah itu ada diskusi soal Memorandum of Understanding-nya Helsinki-Aceh-Indonesia.
Berarti Anda cukup akrab dengan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di Aceh?
Nah Aceh saya kenali dari mulai awal saya bekerja di di Komnas Perempuan karena memang menjadi salah satu wilayah di Komnas Perempuan dan karena itu saya memutuskan untuk okelah sekolah bisa ditunda gitu, saya bantu mengerjakan ini dulu.
Rasanya pada saat itu harus diambil dulu ya ruang untuk memastikan bahwa isu kekerasan terhadap perempuan pasca-bencana tsunami, pasca-perjanjian damai itu betul-betul bisa kita pahami. Karena di banyak konteks perdamaian lainnya, perempuan yang sebetulnya di dalam situasi konflik itu menjadi tulang punggung keluarga, tulang punggung komunitasnya, justru menjadi pihak yang tidak dilibatkan di dalam proses-proses membangun perdamaian.
Saya mau menyampaikan begini, kebanyakan waktu saya di Komnas Perempuan itu lebih karena dalam pandangan saya ada situasi-situasi yang sebetulnya jauh lebih mendesak. Segera setelah itu, banyak laporan di Komnas Perempuan tentang kebijakan-kebijakan diskriminatif di banyak daerah dan saya diminta untuk membangun satu tim pemantauan di 7 provinsi, 21 kota-kabupaten tentang apa dampak otonomi daerah bagi perempuan.
Dari situlah kemudian saya naik jadi komisioner dalam pemilihan di Komnas Perempuan karena komisioner itu kan dipilih secara independen melalui proses bersama publik dan lain-lain. Dan komisioner itu bekerjanya lima tahun.
Jadi saya mulai menjadi komisioner 2010-2014 dan pada akhir 2014 saya bersama dengan teman-teman itu mengupayakan ada pondasi untuk memastikan isu kekerasan seksual mendapatkan perhatian dengan kampanye Kenali dan Tangani yang menjadi pondasi untuk membangun RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang kemudian di tahun 2022 kita dapatkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Pada durasi itu juga mencoba mengembangkan satu model untuk memastikan pelanggaran HAM masa lalu khususnya kekerasan terhadap perempuan tidak dilupakan supaya tidak berulang dan membangun ruang pemulihan, terutama bagi keluarga-keluarga dan komunitas penyintas.
Sebelumnya hal ini pernah dilakukan Komnas HAM?
Kami pernah mengupayakan memorialisasi bagi korban Mei 1998, khususnya di dua komunitas ya, komunitas perempuan Tionghoa dan juga komunitas Ibu-Ibu Miskin Kota yang kebanyakan anak-anaknya dan orang terkasih ditemukan dalam kondisi terbakar di beberapa pusat-pusat belanja.
Dan buat saya itu satu peristiwa yang sangat mengharukan ya, di mana para ibu ini bisa duduk bersama-sama memikirkan apa simbol yang mau dibangun. Dan itu dilakukan di TPU Pondok Rangon, di mana ada 113 makam jenazah yang tidak dapat diidentifikasi. Tentunya ini mungkin terjadi karena ada dukungan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Apa lagi peristiwa yang sangat mempengaruhi pemahaman Anda selama berada di Komnas HAM?
Kalau ada yang ingat, di 2010-2015 juga ada peristiwa-peristiwa besar terkait dengan bagaimana Indonesia menata kelola keberagamannya, meskipun itu bukan peristiwa pertama, karena kebanyakan itu adalah peristiwa yang berulang.
Salah satunya yang sangat memukul saya adalah Cikeusik ya, karena penyerangan pada kelompok Ahmadiyah, saudara-saudara kita juga, pada saat itu buat saya sangat buas sekali gitu. Saya tidak bisa membayangkan bangsa Indonesia bisa melakukan hal setega itu. Dan itu membuat saya merasa apa ya, mengulang peristiwa kekelaman tahun 1998 yang membuat saya mengambil keputusan yang berbeda.
Lalu saya berjumpa dengan ibu-ibu penghayat kepercayaan yang bercerita tentang ini bukan cuma soal sulit hidup, bahkan ketika sudah meninggal pun tidak bisa dimakamkan karena orang menolak jenazah dimakamkan, orang-orang terkasih yang kalau dalam pengalaman personal kehidupan kita kan itu mungkin hal terakhir yang kita lakukan secara duniawi kepada orang yang kita kasihi, karena setelah itu mungkin hanya kita bisa mendaraskan doa-doa kan ya gitu.
Saya mendengarkan ibu itu bercerita tentang bagaimana dia tidak bisa mengebumikan suaminya, itu membuat saya menangis. Dan itu sebetulnya sesuatu yang dalam pengalaman saya sudah biasa sebagai pendokumentasi, sebagai pelapor kekerasan terhadap perempuan. Harusnya ketika ada korban kitanya berjarak tidak terbawa emosi, malah harusnya kita yang menenangkan. Ini kebalikannya, saya yang ditenangkan oleh ibu itu.
Pada tahun 2014 ternyata ada peristiwa yang sama lagi. Terjadi penolakan pada penguburan salah satu kawan, maksudnya saudara kita juga penghayat kepercayaan gitu. Jadi peristiwa-peristiwanya tuh begitu kelu ya. Jadi pada pengalaman-pengalaman perempuan pembela HAM ataupun pendamping korban, ini yang disebut dengan burnout lejar.
Kita jadinya sangat marah, frustrasi, nggak tahu apakah perubahan yang kita bayangkan itu akan terjadi atau nggak gitu. Bawaannya kalau lagi ketemu orang, apalagi pihak-pihak yang kita anggap berwenang itu bawaannya marah aja gitu kan ya. Jadi saya pikir oh ini sudah nggak baik.
Saya ingat dalam satu peristiwa saya pulang ke rumah, lalu ada berita tentang situasi penyerangan di salah satu desa, saya tuh nangis sambil nonton televisi. Ayah saya hampir tidak pernah paham saya melakukan apa, bagi ayah dan ibu saya yang penting kamu melakukan kebaikan saja, itu cukup gitu.
Nah, saya ingat ayah saya langsung bilang, Nak kamu kalau sudah nggak kuat lagi berhenti, karena kalau nggak kamu patah. Saya pikir itu pernyataan yang sangat penting ya, karena itu sekitar kwartal pertama 2014 dan semester berikutnya adalah pembukaan untuk seleksi komisioner Komnas Perempuan.
Mengingat apa yang sedang saya alami, bagaimana saya menyikapi atau merespons dan saya pikir untuk kita memperjuangkan pemenuhan hak asasi manusia tidak ada privilege sebetulnya untuk pesimis gitu. Karena kalau bagaimana kita bisa bekerja dan berjuang dengan pesimis, kita harus yakin bahwa perubahan itu mungkin.
Karena itu saya memutuskan break dulu. Tapi break-nya sebenarnya nggak tahu kapan mau selesai break-nya. Saya cuma pikir, mungkin saya harus berjarak dari posisi di Komnas Perempuan, saya harus belajar lagi, itu yang saya ingat ya, saya harus belajar lagi.
Memutuskan Kembali ke Komnas Perempuan
Jadi break dari Komnas Perempuan dan pulang kampung juga untuk kembali mendekatkan diri dengan masa remaja dulu?
Karena itu saya pulang ke Kalimantan Barat, ke kampung halaman ya, ini judulnya anak yang pulang ke kampung halaman setelah 15 tahun gitu. Karena saya lebih banyak di Jakarta, saya lebih dekat dengan isu Aceh, isu Maluku, pokoknya di luar Kalimantan Barat sendiri gitu.
Terus saya balik, saya belajar dari teman-teman dan kemudian mencoba membuat inisiatif kecil tapi buat saya mungkin itu yang akan berjejak. Jadi saya membuat bersama dengan saudara-saudara, keluarga ya, dan juga teman-teman saya membuat dua hal.
Yang pertama mendirikan sekolah, ini pusat kegiatan belajar masyarakat, namanya Sekolah Cerlang. Dan kemudian juga membuat satu organisasi Suar Asa Khatulistiwa yang saya inginkan, saya mimpikan menjadi platform untuk kawan-kawan muda menggagas pemikiran-pemikiran kritis membangun daerahnya dan namanya Suar Asa Khatulistiwa dari garis ekuator memberikan inspirasi bagi Indonesia.
Mungkin ini karena perjalanan di masa kecil ya. Jadi dulu untuk angkatan kami kan ada yang namanya P4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang kami itu harus ditatar berjam-jam. Dan itu kan isunya tentang nasionalisme, tentang bagaimana kita membayangkan Indonesia.
Jadi kalau generasi yang sekarang mungkin nggak merasakan, kalau generasi saya itu misalnya masuk SD itu ada penataran P4-nya, masuk SMP penataran, SMA penataran lagi, sampai kuliah juga penataran. Kalau jadi ASN juga penataran lagi ya.
Terus ada lomba-lomba yang dibuat itu dan kebetulan saya menjadi bagian dari tim di tingkat provinsi, baik waktu saya SMP maupun SMA. Karena itu model penataran P4 yang saya dapatkan itu mungkin lebih panjang dari sebagian besar teman-teman seusia saya.
Jadi lebih membekas ya?
Betul. Jadi saya itu kayak peer educator sebetulnya di antara kawan-kawan pada masa SMP dan SMA. Dan kalau di masa itu kan salah satu kebanggaan kita itu menjadi wakil dari daerah nanti puncaknya itu berjumpa dengan Bapak Presiden.
Nah, jadi di dalam saya itu terpatri sangat kuat cita-cita tentang apa itu Indonesia dan bagaimana Indonesia yang dibayangkan, tentang Indonesia yang datang dari berbagai suku etnis, kita akan saling jaga, saling bangun untuk menuju cita-cita yang tadi itu adil, makmur dan sejahtera bagi semua tanpa kecuali.
Pada momen apa akhirnya Anda memutuskan untuk kembali lagi ke Komnas Perempuan dan menjadi ketua?
Ini memang pilihan yang tidak gampang. Pada tahun 2019, jadi setelah di Kalimantan Barat saya juga sempat belajarlah sekaligus membantu kawan-kawan di Sulawesi Tengah pasca-gempa dan likuifaksi yang ada di sana. Belajar tentang bagaimana kawan-kawan menghidupkan inisiatif-inisiatif lokal membangun masyarakat pasca-bencana.
Di mana isu kekerasan terhadap perempuan di kamp pengungsian saat mereka balik lagi, itu kan jadi bagian yang integral. Jadi, meskipun saya bilang saya berjarak dari Komnas Perempuan, sebetulnya nggak pernah betul-betul putus dari isu itu sendiri dan dari upaya-upaya bersama.
Nah, di tahun 2019 saya pikir oke ini kita akan menatap 25 tahun reformasi, 25 tahun Komnas Perempuan, dan mungkin ini adalah momen yang tepat gitu untuk memastikan bahwa kita ada jembatan dari satu fase menuju fase berikutnya. Saya juga berkomunikasi dengan banyak pihak, tapi sebenarnya saya cukup galau ya, karena saya pikir jangan-jangan kalau saya masuk ke Komnas Perempuan waktu saya nggak cukup untuk cari beasiswa lagi nih untuk sekolah.
Masih ada mimpi untuk itu ya?
Iya, karena sekolah itu menurut saya hal yang istimewa ya karena memberikan kesempatan kita untuk menata pikir dan juga menata gerak kita ke depan. Jadi setelah saya timbang-timbang, saya punya pengalaman yang sangat personal sebetulnya atas keputusan itu.
Jadi di masa tadi saya cerita ya, di 2019 kami mengupayakan memorialisasi dan ada satu rekan yang kemudian karena kesehatannya ini sangat dekat sekali dalam proses itu meninggal dunia. Waktu saya mau mengambil keputusan karena saya galau sekali dan juga saya tahu bahwa kalau saya masuk ke Komnas Perempuan lagi, maka beberapa upaya yang sedang digagas di Kalimantan Barat tidak bisa saya lakukan secara intensif, karena saya tahu beban kerja di Komnas Perempuan.
Dan waktu itu sekolah kami baru awal sekali kan ya baru ada usia dini baru sampai TK gitu. Sementara kami lagi menggagas mungkin nggak ya ini bisa sampai SD? Saya bercerita dengan kakak saya yang mengelola sekolah terus bilang, kamu putuskan apa yang menurutmu paling baik untuk ruang juangmu.
Dalam situasi itu, saya merasa sahabat ini yang telah meninggal itu datang dan kayak meluk aja gitu, apa pun yang kamu putuskan akan baik. Itu saya ingat banget karena sudah sampai deadline, deadline banget gitu ya, hari terakhir sekali untuk memasukkan apa namanya pendaftaran itu. Terus saya pikir oke, saya berdoalah ya memutuskan itu.
Dan saya diberitahu semua orang karena ini adalah periode saya yang kedua, kecil kemungkinannya kalau di dalam proses ini sekadar coba-coba mau daftar. Kira-kira kans untuk berhasilnya 80 persen lah ya. Nantinya lima tahun ke depan saya akan mendedikasikan seluruh waktu saya sebagian besarnya untuk Komnas Perempuan dan segenap perjuangannya bersama mitra-mitra di daerah.
Jadi ya sudah akhirnya saya putuskan, oke kayaknya lima tahun belajar dari kawan-kawan di komunitas, break sebentar dan juga ini ada kebutuhan untuk memastikan jembatan 25 tahun yang pertama menuju 25 tahun yang ke-2 saya bismillah gitu ya langsung ajalah daftar. Dan saya yakin bahwa saya akan bekerja dengan teman-teman yang juga memiliki satu keresahan serta dedikasi dan keinginan yang serupa.
Advertisement
Lemahnya Posisi Perempuan sebagai Korban Kekerasan
Apa kasus terbanyak yang ditangani sepanjang Anda menjabat ketua berdasarkan laporan yang masuk ke Komnas Perempuan?
Periode kami ini kan masuk di 2020 ya, biasanya akan ada waktu tiga bulan untuk memutuskan gimana nih kepengurusan. Karena memang di Komnas Perempuan itu tidak langsung dipilih siapa ketuanya, tapi dibuat masa transisi agar semua komisioner bisa saling kenal gitu ya dan saling tahu ini yang cara kerjanya kayak apa gitu, sehingga pada saat pemilihan akan menjadi lebih baik.
Tapi tiga bulan 2020 itu nggak ideal buat kami karena langsung kita semuanya tergulung oleh isu Covid-19 kan. Baru mau beres-beres, baru mau kenal-kenalan langsung Covid gitu, langsung tutup. Kantor kan harus tutup gitu dan semuanya terpencar. Komnas Perempuan itu infrastruktur teknologi informasinya sangat minim.
Kalau mau harus online semuanya itu heboh sekali ya di awal-awal, apalagi 80 persen dari staf Komnas Perempuan adalah perempuan yang semua pekerjaan harus dia urus, ini mau sekolah, mau macam-macam, suami juga kerja di rumah.
Saya mengingat tahun 2020 itu betul-betul upaya untuk bisa menjalankan mandatnya Komnas Perempuan di tengah kondisi kelembagaan yang juga sangat terbatas. Teman-teman yang juga harus bekerja dalam tekanan dan di saat Covid itu angka kekerasan naik di dalam rumah tangga ya kan? Karena semua orang masuk ke dalam rumah kan?
Belum lagi akibat dari pemutusan hubungan kerja karena banyak toko-toko kan tutup ya? Jadi saudari-saudari kita yang bekerja misalnya sebagai sales girl atau apa pun yang ada di mal-mal gitu semuanya kan terputus gitu.
Jadi isu tentang kekerasan di dalam rumah tangga, kekerasan di dunia kerja, tapi juga kekerasan seksual yang meningkat itu menjadi yang paling utama sebetulnya yang dihadapi dalam empat tahun terakhir ini, selain tentunya isu-isu yang juga makin banyak dilaporkan, yaitu isu tentang kekerasan yang datang bersamaan dengan konflik sumber daya alam.
Misalnya konflik agraria, konflik yang terjadi akibat proses konsultasi yang mungkin tidak cukup komprehensif dalam upaya membangun proyek strategis nasional, pembangunan waduk, pembangunan jalan, ini tuh bertubi-tubi semuanya.
Jadi kalau dilihat dari jumlah kasus yang dilaporkan, memang hampir 70 persen adalah kasus kekerasan di dalam rumah tangga ya, kekerasan di dalam relasi personal sebenarnya bukan cuma rumah tangga dalam artian suami terhadap istri, tapi juga bagaimana misalnya anak perempuan mengalami kekerasan oleh ayahnya, ayah tirinya, saudara laki-lakinya, pamannya, kakeknya gitu ya.
Juga kekerasan seksual yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan. Apalagi kalau itu sudah lembaga pendidikan berasrama, dengan keagamaan tertentu yang menyulitkan sekali untuk proses hukumnya.
Bagaimana Anda melihat sikap aparat, dalam hal ini kepolisian serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam menghadapi kasus kekerasan terhadap perempuan? Apakah perlindungan yang diberikan sudah maksimal?
Kalau ditanya apakah sudah maksimal, saya pikir jawabannya belum. Karena sebetulnya kalau kita lihat, di dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan di dalam Rumah Tangga itu ada sebetulnya jaminan untuk pelindungan mendesak. Jadi ketika di dalam rumahnya terjadi kekerasan maka aparat negara itu perlu memastikan bahwa kekerasan itu tidak berulang dalam waktu yang dekat dan makin intens.
Karena kalau makin intens bisa jadi sangat fatal. Kalau kita lihat kan dalam kurun beberapa bulan terakhir ini kita dengarkan ya kasus di mana kekerasan terhadap istri berakhir dengan kematian. Bisa kematian yang diakibatkan oleh pembunuhan dari pasangannya atau bahkan juga bunuh diri.
Tapi yang paling penting sebetulnya adalah memahami mengapa itu bisa terjadi. Dalam pandangan Komnas Perempuan, salah satu persoalannya bukan saja soal substansi hukum, payung hukum mungkin kita punya, aturan turunannya kita mungkin masih harus membenahi. Tapi juga ada persoalan struktur.
Kalau kita lihat di kepolisian yang menjadi ujung tombak, itu sampai sekarang jumlah polwannya masih sangat sedikit kan dibandingkan dengan polisi laki-lakinya. Apalagi di unit untuk perempuan dan anak yang kita kenal dengan UPPA. Itu bukan saja jumlahnya terbatas, tapi strukturnya sendiri itu tidak memungkinkan mereka memiliki fasilitas yang memadai ataupun juga kewenangan yang cukup untuk mengembangkan dirinya.
Karena itu di tahun 2021, Komnas Perempuan mendorong dan juga mendukung upaya dari pihak kepolisian yang dinyatakan oleh Bapak Kapolri ya untuk membuat Direktorat khusus UPPA ini. Nah sampai 2023 mau berakhir ini kan direktorat ini sendiri belum ada ya.
Bahkan waktu itu sempat ada diskusi bahwa direktorat ini akan menjadi gabungan dengan Direktorat Perdagangan Orang yang kita pahami juga isunya memang sangat besar, tetapi proses nanti strukturnya kami sangat mendorong agar jangan UPPA ini menjadi subdit yang kecil lagi, karena nanti posisinya akan bermasalah seperti sekarang ini.
Kita membutuhkan direktorat dengan pengembangan kewenangan institusi dari UPPA yang memungkinkan kepolisian akan bekerja dengan lebih cepat. Karena untuk perintah pelindungan, kalau tidak ada jumlah polisi yang cukup kan juga sulit. Ini kita belum bicara soal infrastruktur rumah amannya sendiri atau juga misalnya di dalam upaya untuk menghapuskan kekerasan di dalam rumah tangga, khususnya oleh pasangan, ini kan ada kebutuhan rehabilitasi pelaku.
Jadi ini mengapa misalnya seorang istri kalau habis melaporkan suaminya itu nggak mau langsung misalnya untuk proses hukumnya. Kan yang sering dikeluhkan itu nanti baru melapor terus cabut lagi. Karena seorang ibu, seorang istri, dia punya banyak pertimbangan.
Tidak mudah bagi perempuan untuk tegas memutuskan berpisah dengan pasangannya ketika terjadi kekerasan ya?
Saya mau menggambarkannya begini, ada mantan suami tapi nggak ada mantan bapak gitu. Jadi kalau proses hukumnya akan berlanjut, maka seorang perempuan kalau dia punya anak dia akan membayangkan apa dampak bagi anaknya.
Dan bisa jadi bukan cuma soal bucin atau ketergantungan psikologi, itu yang seringkali orang membayangkan ya ini kok sudah didukung banyak orang, bahkan bisa jadi adalah artis atau orang yang sangat terkenal di publik ya, ini sudah dilaporkan semua orang dan berbondong bondong mendukung kok narik lagi sih gitu, ini bucin saja.
Jadi yang kita hadapi itu bukan hanya sekadar ketergantungan secara psikologis atau bahkan ketergantungan secara ekonomi, karena orang berpikir nanti kalau suaminya dipenjara dianya nggak ada orang yang akan biayai nafkah bagi anaknya.
Tapi juga ada ketergantungan sosial yang sangat besar. Karena nggak gampang menjadi perempuan kepala rumah tangga tunggal. Bayangkan stigma yang harus dihadapi oleh perempuan dengan label janda. Ini ada yang mau menikah lagi saja seluruh Indonesia heboh dulu ya mempolemikkan, kenapa dia kawin lagi gitu, katanya itu ya dan macam-macam ya gitu.
Nah juga ada isu misalnya bagaimana dengan dampak pada anak secara sosial kalau dia direkatkan sebagai anak mantan narapidana. Belum lagi jika nanti dalam satu komunitasnya, komunitas muslim itu kan ketika anak perempuan akan menikah dia harus cari walinya, bapaknya. Itu kerumitan-kerumitan yang seorang ibu akan harus bayangkan dalam jangka panjangnya, bukan hanya menyelesaikan masalah dia pada hari ini.
Karena itu seperti terombang-ambing ketika sudah melaporkan kasusnya, karena kasus-kasus yang dilaporkan itu biasanya kalau sudah mulai masuk ke dalam proses hukum itu adalah kasus-kasus yang sudah luar biasa. Sudah berulang kali terjadi.
Misalnya saja dukungan secara infrastruktur untuk pendampingan, pendampingan psikologi, rehabilitasi pelaku yang memastikan tidak berulang. Ini kan bukan sekadar didamaikan, terus disuruh pulang ke rumah, tapi bagaimana caranya misalnya ada konseling keluarga, ada yang lain-lain, pengawasan gitu.
Jadi stigma atau pandangan dari masyarakat juga sangat berpengaruh pada berulangnya kekerasan yang terjadi?
Peran dari masyarakat sekitar untuk memastikan bahwa peristiwa kekerasan tidak berulang. Seluruh infrastruktur ini belum belum ada, sebaliknya malah secara budaya di masyarakat kita masih sering banyak yang menganggap kekerasan oleh pasangan itu sebagai sesuatu yang itu urusan personal saja. Oh, mungkin karena kurang mampu berkomunikasi, kamu sabar saja, nanti juga akan kembali.
Bahkan kalau misalnya situasi ini dimulai dari perselingkuhan orang akan bilang, oh mungkin sebagai ibu, sebagai istri kamu nggak dandan kali, kurang mampu apa namanya membuat suami senang, betah di rumah dan macam-macam. Jadi budaya untuk membuat ini menjadi persoalan yang personal saja, persoalan yang mungkin justru menyalahkan si pihak perempuannya.
Hal yang sama terjadi pada korban kekerasan seksual. Meskipun sekarang, sejak tahun 2022 sudah ada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual secara faktual praktik menikahkan korban dengan pelaku perkosaan masih terjadi. Atau bahkan obstruction of justice terjadi di mana pelaku kemudian menawarkan untuk menikahi korbannya yang melapor.
Sebenarnya ketika dia menawarkan menikahi adalah indikasi bahwa betul peristiwa itu terjadi. Karena kalau peristiwa itu nggak terjadi, pelaku harusnya bisa dengan tenang bilang, oke mari kita berproses secara hukum untuk membuktikan bahwa itu tidak terjadi kan?
Tapi kalau pelaku sampai menawarkan, sudah saya tanggung jawabi, itu kan berarti peristiwa itu betul terjadi dan ada pemaksaan hubungan seksual di sana.
Seolah dengan menikahi korban si pelaku sudah menjadi penyelamat?
Betul. Tapi praktik ini seolah-olah menyelamatkan pihak perempuannya karena dianggap perkosaan itu adalah aib bagi perempuannya. Karena secara sosial hubungan di luar perkawinan secara seksual bagi perempuan itu dianggap sebagai sesuatu yang menciderai kesuciannya kan ya, karena itu harus dikembalikan. Padahal yang harusnya merasa aib adalah pelakunya karena dia mencoreng rasa kemanusiaannya dan menjadikan perempuan sekadar objek seksual saja.
Beban untuk bisa menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari aib inilah sebetulnya yang mendorong banyak sekali praktik sampai sekarang, di mana justru korban kekerasan seksual masih bungkam, tidak berani melaporkan kasusnya, dan juga menerima dikawinkan dengan pelakunya yang sebetulnya menempatkan dia selalu dalam siklus kekerasan.
Bayangkan, masuknya saja sudah dengan kekerasan, banyak kasus di mana kita lihat, bahkan dalam sebuah kasus yang cukup besar ya terjadi di sebuah kementerian, dia ditelantarkan atau mengalami kekerasan di dalam rumah tangga lebih lanjut ke depannya.
Terus Bekerja dengan Jumlah Staf yang Terbatas
Apa masalah internal dan eksternal Komnas Perempuan yang membuat lembaga ini tak maksimal menjalankan fungsinya?
Ini bisa panjang sekali penjelasannya. Secara eksternal dulu saja, sekarang ini kan kalau kita lihat laporan langsung ke Komnas Perempuan itu melonjak drastis. Perbandingannya itu sekarang 4.000-an lebih. Jadi kalau pakai datanya Komnas Perempuan saja yang kita kumpulkan di dalam Catahu, catatan tahunan itu dalam dua jam ada lima perempuan yang menjadi korban kekerasan di seluruh Indonesia.
Di saat yang bersamaan, sebetulnya ini informasi yang baik. Artinya, pertama laporan kekerasan yang meningkat itu menunjukkan pertama ada confident dari korban untuk melaporkan kasusnya. Korban tahu dia bisa melaporkan kasusnya, korban bisa melaporkan kasusnya ke akses yang ada dan korban dapat dukungan untuk melaporkan kasusnya.
Jadi ini sebenarnya disatu sisi baik ya, namun tetap saja ini masih fenomena gunung es. Yang berani melapor dengan yang nggak berani melapor tetap lebih banyak yang nggak melapor. Ini semua survei sudah membuktikan.
Di sisi yang lain, karena laporannya meningkat itu dia juga memberikan ekspektasi bahwa pelayanannya akan lebih baik kan? Sementara infrastruktur ini tertatih-tatih tadi saya menyebutkan struktur di kepolisian juga belum kuat.
Kalau kita lihat misalnya di kejaksaan, di kehakiman, di Mahkamah Agung misalnya, kebutuhan aparat penegak hukum yang betul-betul paham pada isu kekerasan terhadap perempuan juga masih sedikit. Karenanya, masih banyak ya keluhan-keluhan yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan dalam proses peradilan.
Belum lagi praktik-praktik di dalam masyarakat yang di luar peradilan atau bahkan kami baru saja menyelesaikan laporan pemantauan di sembilan provinsi tentang praktik yang disebut dengan restorative justice, di mana dia tidak masuk ke dalam proses peradilan, tetapi diselesaikan dengan cepat yang sebetulnya bisa membebani korban dan bahkan menghalangi korban mendapatkan penanganan yang lebih utuh.
Artinya, karena di lembaga formal tak tertangani akhirnya semua bermuara ke Komnas Perempuan?
Jadi ketika infrastruktur ini tidak ada, itu kan berarti laporan ke Komnas Perempuan, baik itu komplain atau keluhan akan makin banyak kan? Kalau itu semuanya baik, tertata, tertangani, pasti lebih sedikit yang lapor ke Komnas Perempuan. Karena kan Komnas Perempuan ini seperti pintu akhir saja.
Kalau dia baru berproses kasusnya, Komnas Perempuan akan merujuk kasusnya ke lembaga-lembaga pendampingan, karena Komnas Perempuan sendiri kan tidak memberikan layanan pendampingan satu per satu kasus. Kalau ada yang butuh bantuan hukumnya kami bantu ke UPTD P2TP2A-nya yang dikelola bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau ke Lembaga Bantuan Hukum atau ke crisis center yang dikelola oleh masyarakat.
Artinya ketika terjadi sumbatan itu baru ke Komnas Perempuan. Kalau lembaga-lembaga layanan di lapis pertamanya ini tidak bisa beroperasi dengan baik, karena misalnya di UPTD yang diselenggarakan pemerintah daerah bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ini koordinasinya itu kan keluhannya balik lagi ke Komnas Perempuan ya kan?
Atau sekarang ini banyak juga masyarakat yang merasa bahwa mereka harus mendapatkan dulu pendampingan dari masyarakat untuk bisa mengakses layanan yang disediakan oleh pemerintah. Tapi layanan yang disediakan oleh masyarakat ini kan juga jumlahnya terbatas dan sebagian besar itu bekerja secara mandiri dengan dana mereka sendiri dengan dukungan yang sangat minim, yang tertatih-tatih.
Jumlah orangnya sedikit, kasusnya banyak, anggaran juga sedikit, fasilitasnya sedikit dan bertumpuk-tumpuk sampai mereka juga mengalami lejar tadi, burnout tadi ya. Itu situasi eksternal sebetulnya yang dihadapi oleh Komnas Perempuan. Belum lagi kalau kita mau melihat kondisi di pulau-pulau terluar dan terpencil di Indonesia.
Indonesia kan sebenarnya negara kepulauan, tetapi sebetulnya bayangan kita tentang kepulauan itu nggak nyampe, kita semuanya lebih banyak yang bicara daratan karena kita konsentrasinya kan di pulau-pulau besar, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua. Tetapi di wilayah-wilayah yang kepulauan-kepulauan sekali itu infrastrukturnya kan hampir tidak ada.
Selain infrastruktur juga ada kendala transportasi dan kondisi alam ya?
Ada kasus di mana ketika dia terjadi di pulau itu, butuh waktu dua minggu dulu untuk bisa sampai ke pulau di kota kabupaten karena bukan cuma nggak ada kapal, kapalnya mahal, ombaknya besar, jadi harus nunggu itu semua dulu kan?
Nah, kalau dia mengalami perkosaan misalnya, sampai dua minggu, layanan kesehatannya bisa tertunda, akibatnya kita pernah mendengar kasus di mana perempuan korban perkosaan meninggal dunia karena infeksi yang dialaminya karena penanganan kesehatan yang terlambat. Kalaupun mau visum, jejak kekerasannya sendiri mungkin sudah tidak ada sehingga dianggap tidak ada bukti yang kuat, gitu misalnya kan.
Tantangan eksternal lainnya, kalau untuk kasus-kasus yang sebetulnya dia berakar pada kondisi kebijakan makro, maka kalau kondisi kebijakan makronya tidak diperbaiki, situasinya akan semakin buruk bagi perempuan. Contoh kasusnya konflik-konflik sumber daya alam kan dia bukan peristiwa personal itu, ada kebijakan negara, ada peristiwa penggunaan kewenangan-kewenangan yang sebetulnya justru melahirkan kekerasan.
Kalau itu tidak diselesaikan, ya kekerasannya akan makin banyak. Dan Komnas Perempuan bergeraknya seolah-olah jadi pemadam kebakaran, karena setelah peristiwa terjadi kemudian harus direspons. Kondisi lain juga misalnya perempuan yang berkonflik dengan hukum sebagai tersangka, ini kan layanan yang tersedia juga tidak memadai.
Situasi lain secara eksternal yang dihadapi Komnas Perempuan adalah perkembangan secara global. Misalnya saja kita tidak bicara hanya Ukraina atau Palestina yang mungkin tidak secara langsung dampaknya dialami oleh Indonesia.
Contohnya seperti apa?
Misalnya kondisi di Rohingya dan kondisi penanganan pengungsi secara global yang menyebabkan saudari-saudari kita berusaha menyelamatkan dirinya dengan cara yang juga sangat berbahaya dan akhirnya tiba di pantai-pantai Indonesia dan kemudian juga mengalami ketegangan yang baru karena kita belum punya kebijakan yang cukup mumpuni untuk menangani pengungsi dari luar.
Belum lagi pengungsi internal ya di Indonesia ini, kalau kita lihat kawan-kawan pengungsi misalnya di Transito ini sudah 17-18 tahun ini ada di dalam pengungsian. Daerah-daerah pasca-konflik ataupun pasca-bencana seringkali dianggap sudah tidak ada pengungsian lagi, padahal banyak orang yang tidak bisa kembali ke daerah asalnya.
Nah, situasi kompleks ini akan semakin rumit ke depan, secara eksternal juga isu digitalisasi Artificial Intelligence gitu ya, kekerasan berbasis online ini akan banyak sekali. Sementara infrastruktur kita secara kebijakan maupun bahkan di Komnas Perempuan saja fasilitas teknologi informasi komunikasi kami sangat terbatas untuk bisa menyikapi itu dengan baik.
Belum lagi isu kelembagaan Komnas Perempuan sendiri dari tahun 1998 kami hanya boleh punya 45 staf untuk seluruh Indonesia, mulai dari program sampai administrasi ya, biasanya kami harus tambah. Ada juga bantuan operasional lain seperti security atau yang lainnya tidak masuk dalam hitungan 45 staf ini.
Advertisement
Perempuan dan Keterwakilan Politik
Sebentar lagi kita akan menggelar Pemilu 2024, apakah perempuan Indonesia sudah menjadi pemain atau masih sekadar menjadi alat politik?
Ini pertanyaan sulit sekali. Saya pikir kalau kita mengamati dalam 25 tahun ya, karena kalau di masa Orde Baru itu kan semuanya lebih terkomando. Sementara setelah itu ada berbagai upaya yang dilakukan oleh khususnya kelompok perempuan dan juga masyarakat sipil pro-demokrasi untuk memastikan keterwakilan perempuan dalam politik.
Termasuk diskusi soal afirmasi perempuan 30 persen yang kemudian masuk ke dalam peraturan perundang-undangan. Tetapi kalau kita lihat dari seluruh kontroversi yang muncul di tahun 2023 untuk Pemilu 2024, kebanyakan dari partai yang mengupayakan untuk 30 persen itu terjadi lebih banyak yang sifatnya tokenism juga ya, karena 30 persen itu adalah syarat administratif.
Jadi daripada tidak berhasil untuk mengikuti ya harus dicari saja gitu. Secara anekdotal saya mendapatkan laporannya, betul ada tokoh-tokoh perempuan yang sudah cukup kuat berkiprah gitu, tetapi juga ada banyak yang pemain cabutan saja yang penting menuhin kuota gitu. Tidak ada proses untuk misalnya membangun pemahaman kapasitas kepemimpinan yang memungkinkan mereka berproses dengan baik pada saat pemilu itu terjadi.
Yang kedua juga bahkan kita menyesalkannya karena harus sampai ke Mahkamah Agung sampai sidangnya Bawaslu hanya untuk meminta KPU menjalankan sebuah putusan yang betul-betul bisa mencoba mengupayakan keterwakilan perempuan nanti pada hasil pemilunya.
Di sisi lain, apakah penetapan kuota ini justru merendahkan perempuan? Karena keterwakilan perempuan bukan karena keahliannya, melainkan karena hanya memenuhi kuota?
Sebetulnya langkah afirmasi adalah salah satu jaminan konstitusi di Indonesia. Kita tahu bahwa di dalam masyarakat relasi kuasa itu tidak setara antara laki-laki dan perempuan itu hanya satu saja. Tapi juga disaat yang bersamaan relasi laki-laki dan perempuan ini dipengaruhi oleh relasi kuasa yang lain.
Misalnya kota dengan desa, pemilik modal dengan pekerja, yang memang elite dengan yang rakyat jelata. Itu semuanya akan mempengaruhi dinamika relasi laki-laki dan perempuan itu sendiri yang biasanya disebut dengan gender ya. Tetapi di saat yang bersamaan kita tahu bahwa tanpa langkah afirmasi maka ketimpangan kuasa yang menyebabkan satu pihak yang tadi posisinya lebih subordinat itu tidak akan pernah bisa mencapai kesetaraan dan keadilan.
Nah, itu mengapa misalnya setiap negara biasanya akan menjaga, kan kita punya indeks-indeks ya? Indeks pembangunan manusia, indeks pembangunan gender, indeks ketimpangan dan lain-lain yang bisa dilihat. Saya ambil contoh saja kenapa afirmasi itu masih dibutuhkan, bukan saja 30 persen perempuan di ruang politik, tapi juga di ruang-ruang yang lain dengan cara-cara yang juga menurut saya membutuhkan saat ini daya kreativitas untuk memastikan hasil yang sungguh sungguh.
Saya ambil contoh ya, sekarang ini rata-rata lama sekolah perempuan itu sudah naik. Bahkan ekspektasi lama sekolah perempuan itu lebih tinggi daripada yang laki-laki. Tetapi jurang gendernya itu masih besar, masih lebih tinggi rata-rata lama sekolah laki-laki dibandingkan rata-rata lama sekolah perempuan dalam 10 tahun terakhir itu mengurangi jurang gendernya itu hanya 0,271 poin.
Kalau saya tidak salah yang pakai hitungan matematika sederhana, artinya mungkin kita butuh empat dekade untuk bisa mengecilkan rata-rata lama sekolah laki-laki dan perempuan. Dengan rata-rata lama sekolah juga nggak tinggi-tinggi sekali, karena rata-rata lama sekolah Indonesia ini sampai sekarang belum lulus SMP.
Artinya, kalau ini tidak dijembatani, ke depan perempuan dengan pendidikan lebih rendah itu akan banyak. Dalam posisi pendidikan yang rendah akan sulit kita mengejar 30 persen keterwakilan politik tadi ya kan? Yang sungguh-sungguh gitu.
Yang kedua, mereka akan dilapis pekerja yang paling bawah, gampang dieksploitasi, gampang mengalami diskriminasi dan juga kekerasan. Artinya, kondisi kehidupannya akan lebih jauh terpuruk lagi. Dan itu kalau tidak ada afirmasinya yang sungguh-sungguh, bagaimana caranya kita memastikan anak perempuan itu mau sekolah, karena dia tahu sekolah itu bukan sekadar sekolah.
Maksudnya?
Sekolah itu bukan sekadar cari supaya pantas-pantasin dengan calon suami. Sekolah itu memberikan kesempatan untukmu berdaya mengambil keputusan sendiri, misalnya. Dan perempuan untuk bisa sampai pada titik itu, dia akan menghadapi macam-macam yang lain, misal di beberapa daerah kekhawatiran orangtua kalau dia harus sekolah sampai keluar ya kan? Jadi orangtuanya berpikir, bukan kami nggak mau sekolahkan dia, tapi nanti kalau dia sekolah jauh, ada terjadi apa-apa gimana?
Berarti negara harus memastikan ada situasi yang aman untuk dia bersekolah. Karena itu, buat kami misalnya memastikan Satgas PPKS, Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan kampus itu sangat penting, kenapa? Bayangkan, untuk bisa dia sampai ke sekolah tinggi itu pun sudah lewat dari rata-rata nasional itu, berarti dia sudah banyak sekali hal yang harus dia tempuh maupun orangtua tempuh ya untuk bisa menyekolahkan anaknya.
Dan kalau akibat kekerasan seksual di kampusnya menyebabkan dia tidak bisa bersekolah dengan baik itu kan kita rugi luar biasa dan rugi bagi si perempuannya. Jadi itu juga termasuk langkah afirmasinya sebetulnya.
Kita juga perlu memastikan isu perkawinan anak itu tidak dianggap sebagai hal yang remeh. Karena banyak anak Indonesia begitu dia menikah, dia akan berhenti sekolah. Sembilan dari 10 perkawinan anak adalah anak perempuan. Jadi satu dari 10 adalah anak laki-laki.
Artinya yang akan putus sekolah lebih banyak adalah anak perempuan. Belum lagi isu kekerasan seksual lain nih, ini soal keterpaparan ya, banyak orangtua sekarang atau guru atau kita semua merasa aduh ini gimana nggak dikawinkan karena mereka sudah terpapar secara seksual dan sebagainya.
Karena itu, ruang untuk memastikan literasi ya bukan soal membatasi penggunaan handphone, membatasi aplikasi, bukan itu. Literasi digital yang berangkat dari kemampuan berpikir kritis, kemampuan menseleksi informasi, kemampuan mandiri memutuskan mana informasi yang akan dia pakai, mana yang tidak dipakai, itu sudah harus dibangun sejak usia dini. Dan itu juga adalah langkah afirmasi yang harus diberikan.
Terkhususnya dengan memberikan pemahaman kepada anak perempuan juga yang laki-laki. Kenapa situasi serupa ini nggak boleh kita biarkan? Karena kalau dengan perkawinan anak itu dia akan membuat siklus yang panjang, kekerasan yang panjang itu, bukan cuma berhenti sekolahnya, kemudian mereka akan hidup dalam kemiskinan, melahirkan generasi baru yang juga bisa jadi tidak memiliki masa depan yang baik gitu.
Apa harapan Anda dan Komnas Perempuan kepada Presiden Indonesia terpilih pada 2024 mendatang?
Kalau di Komnas Perempuan kami masih membaca ulang ya visi misi Presiden nih. Tapi kita juga tahu bahwa di saat yang bersamaan kan di Indonesia sedang membangun proses rencana Pembangunan Jangka Panjang yang berikutnya 2025-2045 dan juga ini sedang menata Rencana Jangka Menengah 2025-2029.
Tentunya yang pertama kami berharap bahwa siapa pun yang terpilih ada upaya yang sungguh-sungguh untuk memastikan transformasi hukum Indonesia itu memberikan keadilan bagi perempuan dan kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini terdiskriminasi.
Kita tahu bahwa misalnya Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga itu sudah mangkrak hampir dua dekade. Undang-Undang Perlindungan Masyarakat Adat juga belum ada nih titik terangnya, padahal boleh jadi dua undang-undang ini kalau ada bisa akan membantu jaminan perlindungan hukum yang lebih baik bagi kelompok masyarakat, khususnya perempuan yang selama ini menghadapi berbagai kekerasan dan diskriminasi.
Tetapi juga disaat yang bersamaan kita menghadapi situasi di mana perlu ada tata harmonisasi undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan yang berkontradiksi satu dengan yang lainnya. Misalnya saja kita lihat bagaimana kritik terhadap Undang-Undang Cipta Kerja, bertabrakan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup, bertabrakan juga dengan keinginan investasi dan lain-lain.
Nah ini yang sebetulnya menyebabkan di lapangan konflik-konflik sumber daya alam, agraria ataupun juga tadi terkait dengan proyek strategis nasional terjadi.