Asal-usul Kampung Ketandan, Saksi Sejarah Akulturasi Budaya di Yogyakarta

Sebagian besar rumah dibangun dengan dua lantai memanjang ke belakang dan digunakan baik sebagai toko maupun pembantu rumah tangga

oleh Panji Prayitno diperbarui 31 Jan 2024, 07:00 WIB
Gapura Ketandan jadi ikon kampung tionghoa di Yogya

Liputan6.com, Jakarta - Kampung Ketandan merupakan saksi sejarah akulturasi antara budaya Tionghoa, Keraton dan warga Kota Yogyakarta. Terletak di pusat Kota, tepatnya di Jalan Ahmad Yani, Jalan Suryatmajan, Jalan Suryotomo dan Jalan Los Pasar Beringharjo.

Sejak tahun 2006, setiap menyambut Tahun Baru Imlek, Kampung Ketandan diadakan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY). PBTY ini diselenggarakan Pemkot Yogyakarta bersama warga Tionghoa se-Jogja.

Kegiatan ini digelar sebagai upaya untuk mempertahankan identitas Kampung Ketandan Pecinan dan menambah keragaman kebudayaan di kota Yogyakarta yang memang terkenal sebagai Kota Budaya.

Dirangkum dari berbagai sumber. Desa Ketandan lahir pada akhir abad ke-19 masa Belanda sebagai pusat pemukiman Tionghoa.

Pemerintah Belanda kemudian memberlakukan aturan pembatasan pergerakan (passelsel) dan membatasi wilayah tempat tinggal orang Tionghoa (wijkertelsel).

Namun atas izin Sri Sultan Hamengku Buwono II, orang Tionghoa tersebut tetap diperbolehkan tinggal di tanah sebelah utara Pasar Beringharjo, dengan tujuan membantu memperkuat aktivitas perdagangan dan perekonomian masyarakat.

Suasana masa lalu masih terasa pada arsitektur bangunan di kawasan itu. Sebagian besar rumah dibangun dengan dua lantai memanjang ke belakang dan digunakan baik sebagai toko maupun pembantu rumah tangga, hingga saat ini biasa disebut ruko atau gudang.

Sebagian besar warganya berprofesi sebagai pedagang emas dan batu mulia, di toko kelontong, toko jamu, toko kuliner, dan penjual berbagai kebutuhan pokok. Baru pada tahun 1950-an hampir 90 persen penduduk mulai mengalihkan usahanya ke toko emas.


Akulturasi Budaya

Toko emas pertama Jogja juga didirikan di kawasan ini pada tahun 1955. Pemkot Yogyakarta telah menetapkan Kampung Ketanda sebagai situs cagar budaya di Pecinan yang terus dikembangkan.

Bangunan-bangunan Tionghoa yang ada saat ini memang sudah rapuh, sehingga pemerintah kota selalu mendorong renovasi untuk melestarikan arsitektur khas Tionghoa.

Hal ini juga menunjukkan kembalinya arsitektur Tiongkok untuk bangunan baru yang sedang dibangun atau sedang dibangun. Bangunan asli Desa Ketandan memiliki atap berbentuk bukit, namun seiring berjalannya pembangunan, atap tersebut direnovasi menjadi lebih runcing.

Perubahan pada atap bangunan ini menunjukkan bahwa budaya Tionghoa telah menyatu dengan budaya Jawa sehingga menimbulkan keunikan tersendiri. Jangkar di dinding juga menjadi salah satu ciri khas rumah Tionghoa.

Penulis: Belvana Fasya Saad

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya