Liputan6.com, Medan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan menyatakan Ramadhani alias Bolang dan Reza Heryadi alias Ica bersalah dalam kasus perdagangan 2 individu orangutan sumatera (pongo abelii) yang diungkap Polda Sumut pada akhir September 2023.
Dalam persidangan yang digelar di Ruang Cakra VIII, Pengadilan Negeri Medan, Reza sempat meminta majelis hakim membebaskan mobil Toyota Kijang Innova yang digunakannya saat membawa barang bukti orangutan dari Aceh ke Kota Medan.
"Itu mobil untuk usaha keluarga, Yang Mulia. Mohon dipertimbangkan. Saya juga meminta hukuman untuk diringankan," ucap Reza yang hadir secara online dari ruang tahanan, Selasa (30/1/2024).
Baca Juga
Advertisement
Mendengar permintaan tersebut, majelis hakim yang diketuai Khamozaro Waruwu mengatakan barang bukti mobil disita negara.
Sementara, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Febrina Sebayang memberikan tuntutan berbeda terhadap keduanya. Ramadhani dituntut 3 tahun penjara, sedangkan Reza dituntut 2 tahun penjara. Keduanya juga diharuskan membayar denda Rp 50 juta.
Keduanya didakwa melanggar Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam beleid itu, pelanggarnya maksimal dihukum dengan 5 tahun penjara dengan denda Rp 100 juta.
Setelah pembacaan tuntutan, majelis hakim menunda persidangan hingga 13 Februari 2024 untuk membacakan vonis.
"Hal yang memberatkan terdakwa Bolang, karena dia pernah dihukum dalam kasus perdagangan satwa. Terdakwa Reza tidak ada yang memberatkan. Hal yang meringankan, keduanya mengakui perbuatan dan kooperatif selama perkara ini bergulir," kata Febrina usai persidangan.
Perjalanan Kasus
Kasus ini bermula saat Reza membawa orangutan dari Bolang. Dia berangkat membawa 2 individu orangutan dari Langsa, Aceh, ke Kota Medan. Polisi yang mengetahui pengiriman orangutan itu melakukan penyelidikan.
Reza kemudian ditangkap polisi di kawasan Jalan Sisingamangaraja, Kota Medan, pada Rabu, 27 September 2023. Dia mengaku hanya sebagai kurir. Polisi menyelidiki soal peran Bolang. Mereka kemudian menangkap Bolang di Langsa, dan diketahui sebagai otak pelaku dalam kasus ini.
Untuk diketahui, nama Bolang sudah tidak asing lagi di kalangan perdagangan satwa liar dilindungi. Informasi dihimpun, Bolang diduga menjadi pengumpul satwa dari Aceh. Bolang diduga sudah lama melakoni perdagangan satwa dilindungi.
Dalam dakwaannya, 2 orangutan dari Bolang dipesan oleh seorang oknum anggota TNI yang disebut-sebut bernama Pak Onan. Dalam berkas itu, Bolang ditemui oleh Danil (dalam penyelidikan). Danil kemudian menawarkan 2 orangutan. Bolang kemudian menghubungkan Pak Onan dengan Danil.
Kemudian, Danil mengirimkan video orangutan itu kepada Pak Onan. Lalu Bolang menawarkan nama Reza kepada Pak Onan sebagai kurir yang membawa orangutan ke Medan. Reza hanya mendapat informasi jika Danil akan mengirimkan paket ke Medan. Reza menyetujui dengan upah yang sudah dibahas.
Advertisement
Respons Kelompok Konservasi
Tuntutan terhadap Bolang dan Reza mendapat respons dari Forum Konservasi Orangutan Sumatera (Fokus). Ketua Fokus, Indra Kurnia, menyoroti soal denda yang dikenakan kepada kedua terdakwa.
Menurut Indra, harusnya jaksa menuntut dengan denda maksimal. Indra juga berharap majelis hakim bisa menjatuhkan hukuman sesuai dengan tuntutan.
"Kita menanti bagaimana keberpihakan penegak hukum, khususnya hakim sebagai pengadil, berpihak pada konservasi satwa dilindungi," tegasnya.
Dia juga mengatakan, kasus perdagangan satwa dilindungi memberikan dampak kerugian sistemik, mulai dari ekologi hingga potensi kerugian keuangan negara. Hilangnya seekor orangutan dari habitat, maka membuat regenerasi hutan terhambat. Karena orangutan dikenal sebagai petani hutan.
"Kami menilai ada empat orangutan yang hilang dari habitat dalam kasus ini. Karena untuk mengambil dua anak orangutan, artinya pemburu harus menghabisi nyawa dua induk orangutan. Ini kerugian yang sangat disayangkan," sebutnya.
Kerugian Keuangan Negara
Dalam diskusi Voice of Forest tentang tren perdagangan satwa dilindungi beberapa waktu lalu, Indra mengungkap soal potensi kerugian negara. Hitungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang disampaikannya, per individu orangutan memberikan kerugian keuangan negara sebesar Rp 1,2 miliar.
"Valuasi ini bukan nilai harga satwa yang diperdagangkan di pasar gelap. Ini dihitung dari nilai valuasi, seperti biaya dibawa dari alam, direhabilitasi, operasi penindakan, sampai satwa itu dikembalikan lagi ke habitatnya," terangnya.
Kasus perdagangan satwa dilindungi masih terus terjadi. Data yang dihimpun lembaga Voice of Forest selama 2022-2023, ada 26 kasus perdagangan satwa liar dilindungi yang terjadi di Provinsi Aceh dan Sumut.
Dari jumlah tersebut, penegak hukum menetapkan total 53 orang sebagai tersangka kasus perdagangan satwa liar dilindungi. Perdagangan satwa dilindungi merupakan kejahatan yang terorganisir sangat rapi. Mulai dari tingkat tapak hingga pembeli akhir.
Bahkan dalam sejumlah kasus, patut diduga ada keterlibatan aparat penegak hukum dan militer. Wildlife Justice Commisions mencatat, perdagangan satwa menjadi kejahatan global paling menguntungkan keempat saat ini, setelah perdagangan narkoba, manusia, dan senjata api.
"Artinya kejahatan satwa menjadi extraordinary crime jika ditilik dari berbagai aspek," Indra mengungkapkan.
Advertisement