Pedagang Kaki Lima Ketar-Ketir, Khawatir Gulung Tikar Gara-Gara Aturan Ini

Rencana pelarangan bagi produk tembakau menyangkut hajat hidup banyak orang. Salah satunya soal larangan penjualan rokok eceran atau rokok ketengan yang akan berdampak pada para pedagang kaki lima.

oleh Septian Deny diperbarui 31 Jan 2024, 16:20 WIB
Ilustrasi Pedagang Kaki Lima (Putri Anastasia Bangalino Suryana/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Rencana pelarangan bagi produk tembakau menyangkut hajat hidup banyak orang. Salah satunya soal larangan penjualan rokok eceran atau rokok ketengan yang akan berdampak pada para pedagang kaki lima.

Hal tersebut diungkapkan Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima (APKL) dan Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), Ali Mahsum Atmo

"Bisa ratusan ribu pedagang asongan dan rokok itu akan mengalami gulung tikar. Itu kan mata pencaharian rakyat,” ungkapnya dikutip, Rabu (31/1/2024).

Secara rinci, Ali memaparkan jumlah pedagang rokok eceran yang merupakan pedagang asongan mencapai sebanyak 50 ribu orang. 

Jumlah Penjual Rokok

Sedangkan, penjual rokok dalam bentuk warung jumlahnya mencapai 4,1 juta gerai.

Anggota Komisi IX DPR RI, Rahmad Handoyo, mengingatkan bahwa aturan terkait kesehatan dan tembakau tidak boleh mengabaikan aspek ekonomi. Apalagi, industri tembakau dari hulu ke hilir merupakan mata pencaharian jutaan orang masyarakat Indonesia.

“Utamanya tetap kesehatan, tapi dari sisi ekonomi jangan sampai kolaps atau terjadi kemunduran yang signifikan. Itu harus kita lindungi karena jutaan orang hidup bergantung dari industri tembakau,” pungkasnya.

 

Sumber: Merdeka.com


YLKI Minta Iklan Rokok Harus Dilarang Total

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum menjalankan fungsi pengawasan secara optimal.

Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta pemerintah untuk melarang iklan rokok di berbagai media periklanan. Iklan rokok dinilai kontraproduktif terhadap upaya pengendalian konsumsi.

Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan rokok termasuk dalam kategori barang abnormal meski legal di Indonesia. Maka, peredarannya perlu dikendalikan di tingkat masyarakat selaku konsumen.

"Dia legal karena sampai sekarang Indoneisa dan banyak negara masih melegalkan rokok, tapi dia barang abnormal. Nah barang abnormal ini harus dkendalikan, perspektif perlindungan konsumennya juga berbeda dengan perlindungan konsumen pada barang normal," ucap Tulus dalam Diskusi Publik YLKI, di Jakarta, Kamis (25/1/2024).

Atas dasar itu, peredaran iklan rokok perlu juga diatur dengan ketat. Bahkan, menurutnya, iklan rokok harus dilarang secara total di berbagai platform periklanan.

"Nah konsekeunsinya apa, rokok sebagai barang abnormal maka iklan rokok menjadi sangat kontraproduktif, maka iklan rokok itu harus dilarang total," tegas dia."Jadi tidak sama dengan barang normal, karena rokok itu barang berbahaya jadi iklan rokok itu jadi kontraproduktif dan seharusnya dilarang total baik di media luar ruang, media elektronik, di media internet dan lain sebagainya," sambung Tulus.

Dia mengungkap, Indonesia masih jadi negara yang membolehkan iklan rokok. Sementara, sejumlah negara besar lain sudah melarang total iklan rokok sejak lama.

"Du seluruh dunia, iklan rokok itu sudah dilarang, hanya Indonesia yang masih melegalkan iklan rokok ya. Di Eropa itu sudah sejak tahun '60 iklan rokok dilarang, di Amerika tahun '73 sudah dilarang total.Nah di kita yang masih berkecamuk dengan iklan rokok, promosi dan sponsorship yang masih sampai sekarang dilegalisasi oleh struktural yang paradoks sebetulnya," tuturnya.

 


Ancam Industri

Industri rokok telah menyumbang kontribusi ekonomi terbilang besar. Tahun lalu saja, cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp139,5 triliun.

Sebelumnya, Industri kreatif dinilai akan sangat terdampak pada sejumlah larangan bagi produk tembakau. Salah satunya soal rencana larangan iklan rokok.

Adanya larangan tersebut berpotensi menciptakan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masal bagi sejumlah industri kreatif.

Wakil Ketua Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Janoe Arijanto, mengungkap bahwa berbagai pelarangan memberatkan industri kreatif dan periklanan.

Hal ini menurutnya didasarkan beberapa hal. Pertama, adanya larangan beriklan hampir 100% di platform online. Padahal, platform media digital dikatakannya bisa efektif untuk kebutuhan personalisasi, memilih segmen, serta memilih siapa konsumen siapa yang dituju.

"Jadi kalau mau ke (usia) 18 ke atas atau di daerah tertentu, atau bahkan di jam tertentu itu bisa (dipersonalisasi), tapi malah dilarang," ujarnya.

Kedua, larangan tersebut juga akan membuat produk olahan tembakau tidak dapat menempatkan iklan di berbagai event, seperti musik, budaya dan sebagainya.

 

Infografis Cukai Rokok Naik 10 Persen, Cukai Rokok Elektrik Naik 15 Persen (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya