Liputan6.com, Washington - Amerika Serikat pada Rabu (31 Januari) menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar, menandai peringatan tiga tahun kudeta oleh junta militer. Kali ini, Washington dua entitas dan beberapa orang yang dikatakan terkait erat dengan junta.
Sanksi yang dijatuhkan pada Rabu ini merupakan sanksi terbaru yang secara khusus ditujukan terhadap perusahaan bahan bakar yang digunakan junta untuk melakukan pemboman udara dalam perangnya melawan pasukan anti-kudeta yang sering menargetkan warga sipil, serta kemampuan militer untuk memproduksi senjata.
Advertisement
Departemen Keuangan AS dalam sebuah pernyataan mengatakan, pihaknya menargetkan Grup Perusahaan Shwe Byain Phyu, pemiliknya Thein Win Zaw, istri dan dua anaknya yang sudah dewasa.
Departemen Keuangan mengatakan, perusahaan tersebut mengimpor dan mendistribusikan minyak bumi untuk militer dan memiliki hubungan bagi hasil dengan konglomerat militer Myanmar Economic Holdings Ltd, yang lebih dulu dikenakan sanksi oleh Washington pada tahun 2021.
Washington juga menargetkan perusahaan pelayaran milik MEHL, Myanmar Five Star Line, yang dikatakan mengirimkan material untuk produksi senjata dalam negeri untuk militer.
Departemen Keuangan mengatakan, kedua entitas tersebut telah memungkinkan pembelian mata uang asing dan impor minyak bumi serta bahan-bahan lainnya atas nama junta militer.
"Kami mengambil tindakan ini untuk menargetkan sumber pendapatan rezim yang mendukung aktivitas militer terhadap warga sipil," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Matthew Miller dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir CNA, Kamis (1/2/2024).
Konflik Berkepanjangan di Myanmar
Myanmar telah terjebak dalam konflik sejak militer merebut kekuasaan melalui kudeta pada tahun 2021 yang memicu kekacauan nasional dan secara tiba-tiba mengakhiri satu dekade demokrasi tentatif dan reformasi ekonomi.
Sanksi tersebut, yang membekukan aset-aset AS yang menjadi sasaran dan secara umum melarang warga Amerika berurusan dengan mereka, terjadi ketika pemimpin junta Min Aung Hlaing berada di bawah tekanan setelah serangkaian kekalahan di medan perang yang menyebabkan kelompok pemberontak menguasai setidaknya 35 kota sejak Oktober.
Advertisement
Serangan oleh Junta
Para jenderal menghadapi tantangan terbesar mereka sejak pertama kali mengambil alih kekuasaan di bekas jajahan Inggris tersebut pada tahun 1962, dengan pemberontakan pro-demokrasi yang dipimpin oleh kaum muda berubah menjadi gerakan perlawanan bersenjata setelah tindakan keras yang mematikan terhadap gelombang protes dan perbedaan pendapat pasca kudeta.
Junta telah mengerahkan artileri berat dan jet tempur untuk mencoba menekan milisi yang bersekutu dengan pemerintah bayangan dan tentara etnis minoritas.
Bahkan, beberapa di antaranya melancarkan serangan terkoordinasi pada bulan Oktober yang mengejutkan militer dan merusak kredibilitas mereka di medan perang.
Junta Masih Tolak Negosiasi
Menurut data PBB, sekitar 2,3 juta orang telah mengungsi sejak kudeta berlangsung.
Di sisi lain, upaya negara-negara tetangga Myanmar, ASEAN, untuk memulai dialog tidak menunjukkan kemajuan, dan junta menolak untuk bernegosiasi dengan apa yang mereka sebut sebagai "teroris".
"Amerika Serikat, bersama dengan sekutu dan mitra kami, akan terus meminta pertanggungjawaban mereka yang mencari keuntungan dari, dan memberikan dukungan, penindasan yang kejam terhadap rakyat Burma," kata Wakil Menteri Terorisme dan Intelijen Keuangan Departemen Keuangan Brian Nelson. dalam sebuah pernyataan.
Advertisement