Liputan6.com, Jakarta Pada periode Februari 2024, mayoritas komoditas produk pertambangan yang dikenakan bea keluar mengalami kenaikan harga dibandingkan periode Januari 2024. Kenaikan harga ini disebabkan meningkatnya permintaan atas produk pertambangan tersebut di pasar dunia.
Hal ini berpengaruh terhadap penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) produk pertambangan yang dikenakan Bea Keluar (BK) periode Februari 2024, yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 140 Tahun 2024 tanggal 30 Januari 2024 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor Atas Produk Pertambangan Yang Dikenakan Bea Keluar.
Advertisement
“Mayoritas komoditas produk pertambangan yang dikenakan bea keluar periode Februari 2024 mengalami kenaikan harga jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Komoditas tersebut yakni konsentrat tembaga, konsentrat besi laterit, dan konsentrat seng. Sedangkan untuk konsentrat timbal pada periode ini masih tetap mengalami penurunan,” ungkap Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Budi Santoso dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (1/2/2024).
Produk pertambangan yang mengalami kenaikan harga rata-rata pada periode Februari 2024 ini yaitu konsentrat tembaga (Cu ≥ 15%) dengan harga rata-rata USD 3.329,80/WE atau naik sebesar 0,73%; konsentrat besi laterit (gutit, hematit, magnetit) (Fe ≥ 50% dan Al2O2 + SiO2 ≥ 10%) dengan harga rata-rata USD 61,14/WE atau naik sebesar 2,22%; dan konsentrat seng (Zn ≥ 51%) dengan harga rata-rata USD 660,57/WE atau naik sebesar 1,92%.
Sementara itu produk pertambangan yang mengalami penurunan harga rata-rata pada Februari 2024 yaitu konsentrat timbal (Pb ≥ 56%) dengan harga rata-rata USD 841,96/WE atau turun sebesar 2,39%.
Penetapan HPE produk pertambangan periode Februari 2024 dilakukan dengan terlebih dahulu meminta masukan/usulan tertulis dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selaku instansi teknis terkait.
Kementerian ESDM memberikan usulan setelah melakukan perhitungan data berdasarkan perkembangan harga yang diperoleh dari Asian Metal, London Bullion Market Association (LBMA), dan London Metal Exchange (LME).
Selanjutnya, penetapan HPE dilakukan setelah adanya rapat koordinasi antar instansi terkait yakni Kementerian Perdagangan, Kementerian ESDM, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perindustrian.
Harga Tembaga Global Diramal Meroket, Energi Terbarukan Jadi Biang Keladi
Sebelumnya, Harga tembaga global diperkirakan akan melonjak lebih dari 75 persen dalam dua tahun ke depan, di tengah gangguan pasokan pertambangan dan tingginya permintaan logam tersebut.
Lonjakan harga tembaga juga dipicu oleh dorongan terhadap energi terbarukan.
Mengutip CNBC International, Rabu (3/1/2024) laporan BMI, unit penelitian Fitch Solutions mengungkapkan, permintaan yang didorong oleh transisi energi ramah lingkungan dan kemungkinan penurunan dolar AS pada paruh kedua 2024 akan mendorong harga tembaga menjadi lebih mahal.
Pasar kini mengandalkan Federal Reserve untuk menurunkan suku bunga tahun ini, yang akan melemahkan dolar dan membuat tembaga yang dihargakan dalam greenback lebih menarik bagi pembeli asing.
"Pandangan positif terhadap tembaga lebih tertuju pada faktor makro," ungkap kepala bahan dasar Asia-Pasifik Bank of America Securities, Matty Zhaoz
Selain itu, pada konferensi perubahan iklim COP28 baru-baru ini, lebih dari 60 negara mendukung rencana untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan global pada tahun 2030.
Citibank melihat, keputusan ini akan menjadi sebuah langkah yang sangat memberikan dampak positif bagi tembaga.
Dalam laporannya pada Desember 2023, bank investasi tersebut memperkirakan bahwa target energi terbarukan yang lebih tinggi akan meningkatkan permintaan tembaga sebesar 4,2 juta ton pada tahun 2030.
Laporan tersebut menambahkan, hal ini berpotensi mendorong harga tembaga menjadi USD 15.000 per ton pada tahun 2025, jauh lebih tinggi dari rekor tertinggi sebesar USD 10.730 per ton pada bulan Maret 2023 lalu.
"Hal ini mengasumsikan terjadinya soft landing di AS dan Eropa, pemulihan pertumbuhan global yang lebih awal, dan pelonggaran yang signifikan di Tiongkok," kata analis Citi, sambil juga menekankan pada investasi berkelanjutan di sektor transisi energi.
Advertisement
Produksi Menurun, Permintaan Masih Naik
Analis lain melihat tren bullish pada tembaga karena gangguan penambangan, dengan Goldman Sachs memperkirakan defisit lebih dari setengah juta ton pada tahun 2024.
November lalu, First Quantum Minerals menghentikan produksi di Cobre Panamá, salah satu tambang tembaga terbesar di dunia, menyusul keputusan Mahkamah Agung dan protes nasional atas masalah lingkungan.
Adapun Anglo American, produsen utama, juga mengatakan akan memangkas produksi tembaga pada tahun 2024 dan 2025 karena berupaya memangkas biaya.
"Pemotongan pasokan memperkuat pandangan kami bahwa pasar tembaga sedang memasuki periode pengetatan yang lebih jelas," tulis analis Goldman, memperkirakan harga tembaga akan mencapai USD 10.000 per ton tahun ini, dan jauh lebih tinggi pada tahun 2025.
Chili dan Peru disebut sebut sebagai negara yang akan meraih keuntungan terbesar dari naiknya minat pada tembaga.
Hal itu karena kedua negara tersebut memiliki cadangan mineral transisi ramah lingkungan yang besar seperti litium dan tembaga yang siap memperoleh manfaat dari peningkatan investasi dan permintaan ekspor yang lebih tinggi.
Chili memiliki sekitar 21 persen cadangan tembaga global.
"Keyakinan kami bahwa harga tembaga akan kembali naik secara signifikan pada tahun 2025 (rata-rata USD 15.000 per ton) kini jauh lebih tinggi," kata Goldman.