Liputan6.com, Jakarta - Pendiri Perhimpunan Negarawan Indonesia (PNI), Johan Silalahi menilai, masa depan demokrasi dan masa depan bangsa semakin mengkhawatirkan. Menurut dia, tanda paling nyata adalah dengan dari makin menjamurnya korupsi, kolusi dan nepotisme.
"Indikasinya adalah merosotnya Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia. Presiden Joko Widodo semakin tergelincir dalam ambisi dan kerakusan pada harta, tahta dan kekuasaan, karena lebih mementingkan kepentingan keluarganya dan kelompoknya,” kata Johan saat Focus Group Discussion bertema Cawe-Cawe Presiden Jokowi Melanggar Hukum dan Konstitusi UUD 45? di Jakarta, Kamis (1/2/2024).
Advertisement
Johan melanjutkan, Skandal Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi salah satu bukti nyata bahwa Presiden Joko Widodo patut diduga sudah melanggar aturan hukum dan perundang-undangan, serta melanggar konstitusi UUD 45 dan Sumpah Jabatan Presiden yang diatur dalam pasal 9.
"Presiden Joko Widodo patut diduga juga telah melanggar beberapa aturan hukum dan perundangan-undangan,” tegas Johan.
Johan mencatat, ada tiga payung hukum yang dianggap sudah Jokowi langkahi. Pertama, Jokowi patut diduga melanggar UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) Dalam Skandal Putusan 090/PUU-XXI/2023 Mahkamah Konstitusi (MK).
"Dalam kaitan ini dapat didefinisikan bahwa “Nepotisme” adalah setiap perbuatan “Penyelenggara Negara (Presiden Joko Widodo)” secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya (Putra Presiden Joko Widodo yang menjadi Calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka) dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara,” sebut Johan.
Poin kedua, lanjut Johan adalah ketika Presiden Joko Widodo Patut Diduga Melanggar UU No.7 Tahun 2017 atau UU No.7 Tahun 2023 Tentang Pemilu dan Pilpres. Diketahui, Presiden Joko Widodo menyatakan secara terbuka bahwa Ia sebagai Presiden dapat melakukan kampanye.
"Padahal jelas sesuai aturan hukum dalam UU No.7 Tahun 2017 yang dimaksudkan aturan dalam pasal 299 bahwa Presiden dan Wakil Presiden dapat berkampanye, jelas dikaitkan dengan aturan dalam pasal 301 bahwa Presiden dan Wakil Presiden bisa berkampanye dalam hal maju lagi sebagai Capres dan/atau Cawapres untuk periode kedua, sesuai aturan dalam konstitusi UUD 45,” ungkap Johan.
Soroti Belanja Pertahanan Negara
"Jadi patut diduga ada sangat banyak aktifitas dan kegiatan Presiden Joko Widodo yang dapat menjadi bukti bahwa dia telah mengambil kebijakan pemerintahan dan melakukan kegiatan kampanye untuk mendukung kemenangan putranya Cawapres Gibran Rakabuming Raka beserta pasangan Capres Prabowo Subianto untuk memenangkan Pilpres 2024,” yakin Johan.
Ketiga, Presiden Joko Widodo juga patut diduga melanggar Konstitusi UUD 45 Terkait Perintah Kepada Menteri Pertahanan Untuk Membelanjakan Anggaran 25 Tahun Untuk Alutsista.
Hal itu diyakini Johan melanggar UU No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Terkait Perintah Kepada Menteri Pertahanan Untuk Melakukan Pinjaman/Utang Luar Negeri Terkait Pengadaan Alutsista.
"Kekuasaan Presiden dibatasi hanya untuk maksimal 2 periode seperti yang telah diatur dalam pasal 7 UUD 45. Artinya Presiden Joko Widodo hanya bisa dan boleh menggunakan anggaran dan budget APBN hanya selama jangka waktu 2 periode. Maka, penugasan kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk membelanjakan ABPN untuk 25 tahun kedepan tidak dibenarkan dan melanggar aturan,” Johan menandasi.
DPR Satu-satunya Cara Berhentikan Presiden
Senada dengan itu, Zainal Arifin Mochtar selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UGM mencatat ada sejumlah mekanisme yang bisa ditempuh untuk memberhentikan Presiden.
Menurut dia, konstitusi menyatakan dengan jelas bahwa DPR adalah satu-satunya Kekuasaan yang dapat mengusulkan Pemberhentian Presiden kepada MPR.
"MPR adalah satu-satunya kekuasaan untuk yang dapat memberhentikan Presiden/Wakil Presiden. Meski melalui pemeriksaan di MK,” kata Zainal pada forum yang sama.
Zainal melanjutkan, secara teknis usulannya adalah 2/3 dari anggota DPR dan disetujui oleh 2/3 dari yang hadir. Namun demikian, hal yang perlu dikonfirmasi adalah mungkinkah kekuatan politik mau dan mampu mengingat ada proses yang berkejaran dengan waktu.
Advertisement
Respons Istana Terkait Isu Pemakzulan
Presiden Joko Widodo atau Jokowi tak terganggu dengan munculnya wacana pemakzulan presiden sebelum Pemilu 2024. Jokowi masih menjalankan tugas-tugas pemerintahan yang semakin berat di sisa akhir masa jabatannya.
"Ya tentu beliau (presiden) tidak terlalu terganggu dengan wacana ini karena beliau tetap bekerja seperti biasanya," jelas Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana di Kementerian Sekretariat Negara Jakarta, Selasa (16/1/2024).
Dia mengatakan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Jokowi, berdasarkan hasil survei, masih cukup tinggi. Ari menyebut hal ini menandakan bahwa masyarakat masih menghargai dan percaya dengan kepemimpinan Jokowi.
"Kita akan kembalikan penilaian itu kepada masyarakat. Kalau kita lihat dari survei lembaga kredibel, tingkat kepercayaan dan juga tingkat keyakinan, dan juga kepuasan kepada presiden masih cukup tinggi, 75 persen, di atas 75 persen," tuturnya.
Selain itu, kata dia, masyarakat daerah juga masih antusias menyambut kunjungan dan berdialog dengan Jokowi . Ari menuturkan Jokowi masih bekerja untuk kepentingan masyarakat.
"Itu menunjukkan bahwa presiden ttp bekerja untuk kepentingan rakyat. Tidak hanya dilihat dari hasil survei tapi bagaimana manfaatnya dirasakan oleh masyarakat," pungkas Ari.