Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyaksikan penandatanganan kerjasama yang dilakukan oleh Kementerian ESDM dengan perusahaan raksasa migas asal Italia, Eni di Gedung Chairul Saleh Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (2/2/2024).
Arifin menyebutkan, penandatanganan antara Kementerian ESDM dan Eni ini merupakan tindak lanjut atas lawatan Kementerian ESDM ke kantor Eni di Italia pada 21-24 Januari 2024 lalu.
Advertisement
Kerjasama ini, sambung Menteri ESDM, merupakan salah satu upaya akselerasi untuk mengejar target Net Zero Emission (NZE) di Indonesia pada tahun 2060 atau lebih cepat.
"Dengan adanya MoU ini, diharapkan ENI dapat membantu program dekarbonisasi di Indonesia dan mempererat hubungan kerja sama antara ENI dan Indonesia," ungkapnya.
Produksi Biofuels
MoU tersebut berisikan intensi antara Kementerian ESDM dengan ENI terkait pengembangan bio-feedstock untuk memproduksi biofuels, nature-based and technology-based carbon offset, serta inisiatif lainnya terkait transisi energi dan dekarbonisasi.
Termasuk dan tidak terbatas pada program Carbon Capture Storage/Carbon Capture Utilization and Storage (CCS/CCUS) dan efisiensi energi.
Untuk diketahui, Eni memegang Participating Interest 13 Production Sharing Contract di Indonesia dengan produksi gas actual Eni pada 2023 sebesar 705,6 MMSCFD.
Transisi Energi Jadi Momen Pemerintah Perbaiki Sektor Hulu Migas
Praktisi migas yang sekaligus merupakan pengajar dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Widhyawan Prawiraatmadja, mengatakan keberlanjutan investasi di sektor hulu migas harus dijaga hingga mencapai tahap monetisasi, setelah adanya temuan-temuan sumber daya baru seperti yang terjadi di Wilayah Kerja South Andaman, Provinsi Aceh dan Wilayah Kerja Geng North, Provinsi Kalimantan Timur.
Menurut Widhyawan Penemuan sumber daya gas bumi yang ada harus menjadi momentum bagi pemerintah. Tak bisa dipungkiri jika gas bumi akan mendominasi temuan migas di Indonesia saat ini dan ke depannya. Jadi gas itu isunya adalah monetisasi.
“Akan sangat berbeda keekonomiannya jika sebuah lapangan baru dapat dimonetisasi selama sepuluh tahun atau enam tahun," katanya dalam sesi diskusi berjudul "Menanti Arah Pemimpin Baru di Sektor Migas" yang diselenggarakan oleh Indonesia Petroleum Association (IPA), Kamis (1/2/2024).
Lebih lanjut, Widhyawan mengungkapkan, gas bumi dapat menjadi jembatan menuju era Energi Baru dan Terbarukan. Oleh karena itu, dia mengaku tidak akan kaget jika kebutuhan gas bumi ke depannya akan terus meningkat.
"Karena tidak ada pilihan lain dalam era transisi energi, jika kita mau menggunakan energi yang rendah emisi," ujarnya.
Namun dia mengungkapkan adanya tantangan nyata yang harus dihadapi dalam konteks pengembangan gas bumi di Indonesia. Menurutnya, tata kelola gas bumi yang ada saat ini dinilai belum menunjukkan adanya keberpihakan dari pemerintah kepada sektor hulu.
Hal tersebut bisa dilihat dari penerapan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) yang diberlakukan pemerintah untuk beberapa sektor industri.
"Kebijakan harga gas itu ada berbagai kepentingannya. Kita tahu LPG harganya dibuat murah, tetapi membuat distorsi karena harga hulu yang justru dibatasi," ungkapnya.
Advertisement