IMF Prediksi Ekonomi China Akan Merosot Selama 4 Tahun ke Depan

Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi akan terjadi kemerosotan ekonomi China yang kemungkinan akan terus berlanjut selama empat tahun ke depan.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 04 Feb 2024, 20:10 WIB
Ilustrasi mata uang, yuan. (Photo created by xb100 on www.freepik.com)

Liputan6.com, Jakarta - Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi akan terjadi kemerosotan ekonomi China yang kemungkinan akan terus berlanjut selama empat tahun ke depan.

Hal ini terjadi lantaran negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini menghadapi berbagai tantangan mulai dari populasi yang menua dengan cepat, tingginya angka pengangguran, dan krisis properti, dikutip dari laman VOA News, Minggu (4/2/2024).

Dalam laporan yang dirilis pada Jumat kemarin, badan kebijakan keuangan global -- juga dikenal sebagai IMF -- memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan turun menjadi 4,6% tahun ini.

Angka ini turun dari pertumbuhan 5,2% pada tahun 2023, dan turun lebih jauh lagi menjadi 3,4% pada tahun 2028.

Pasar properti yang secara historis mewakili sekitar seperempat PDB Tiongkok telah menjadi area yang bermasalah bagi perekonomian Tiongkok akhir-akhir ini.

Dimana pengadilan Hong Kong pada hari Senin memerintahkan raksasa properti Tiongkok, China Evergrande, yang terperosok dalam utang lebih dari US$300 miliar untuk melikuidasi.

Analisis IMF yang dirilis memperkirakan investasi real estat kemungkinan akan turun 30% hingga 60% dalam sepuluh tahun ke depan dibandingkan dengan level pada tahun 2022.

“Tanpa paket kebijakan restrukturisasi yang komprehensif untuk sektor properti yang bermasalah, investasi real estate bisa turun lebih dari yang diperkirakan, dan lebih lama lagi, dengan implikasi negatif terhadap pertumbuhan dalam negeri dan mitra dagang,” demikian bunyi laporan IMF.

 

 


Pihak China Tak Setuju dengan Temuan IMF

Ilustrasi Bendera China (AFP/STR)

Namun Zhang Zhengxin direktur eksekutif IMF untuk Tiongkok, tidak setuju dengan temuan IMF dalam pernyataan tanggal 10 Januari yang disertakan dalam laporan tersebut.

“Laporan tersebut memperingatkan risiko di pasar real estat Tiongkok, namun perkiraan staf, sampai batas tertentu, terlalu pesimistis,” tulis Zhang.

“Sejak Agustus 2023, transaksi pasar real estate mengalami perbaikan secara umum, yang secara bertahap memperkuat kepercayaan pasar.”

Krisis real estat terkait erat dengan kebiasaan belanja konsumen Tiongkok, menurut Christopher Tang, Senior Associate Dean of Global Initiatives di University of California Los Angeles Anderson School dan Direktur Fakultas Pusat Manajemen Global UCLA.

“Ketika mereka melihat ekuitas investasi mereka menurun, mereka membelanjakan lebih sedikit untuk segala hal. Belanja konsumen yang lebih rendah, permintaan yang turun sehingga mengurangi produksi dan karenanya memperlambat pertumbuhan ekonomi,” kata Tang kepada VOA.

“Ada efek domino ketika pasar real estat begitu besar dan terkait dengan pembangunan perumahan yang agresif selama beberapa dekade dan pinjaman yang mudah dari bank.”

 


Utang Pemerintah China Ikut Disinggung

Ilustrasi bendera Republik China. (Pixabay)

Ali Wyne, penasihat penelitian dan advokasi senior AS-Tiongkok di lembaga think tank International Crisis Group, mengatakan utang pemerintah daerah dan ketegangan antara Tiongkok dan negara-negara demokrasi Barat juga menjadi faktor dalam prediksi penurunan ekonomi.

“Bukti yang ada sejauh ini tidak menunjukkan bahwa hard landing akan segera terjadi, namun hal ini menunjukkan bahwa hambatan pertumbuhan Tiongkok lebih sulit diatasi dibandingkan satu dekade yang lalu atau bahkan pada awal tahun 2020an,” kata Wyne kepada VOA.

 


Rekomendasi IMF ke China

Ilustrasi bendera Republik Rakyat China (AP/Mark Schiefelbein)

IMF merekomendasikan agar pemerintah Tiongkok mendorong warganya untuk mencari cara investasi baru dan melakukan reformasi yang berorientasi pasar, antara lain, untuk meningkatkan perekonomian negara, menurut laporan tersebut.

Tang mengatakan Tiongkok perlu mempromosikan kebijakan ekonomi baru dari sisi permintaan dan melonggarkan peraturan pasar.

“Tiongkok perlu mempromosikan pasar yang lebih bebas untuk mendukung persaingan pasar yang dapat menstimulasi lapangan kerja melalui kewirausahaan dan startup baru serta mengurangi fokusnya pada perusahaan milik negara yang kurang memiliki insentif untuk berinovasi dan bersaing,” tulis Tang.

Infografis Heboh Kabar China Klaim Natuna hingga Tuntut Setop Pengeboran Migas. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya