Liputan6.com, Jakarta - Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengungkapkan bahwa ia berencana untuk meningkatkan perang dagang AS-China yang ia luncurkan pada masa jabatan pertamanya sebagai presiden, jika ia kembali terpilih pada Pilpres di bulan November mendatang.
Melansir CNBC International, Senin (5/2/2024) pemimpin Partai Republik itu mengkonfirmasi dalam sebuah wawancara bahwa ia sedang mempertimbangkan rencana untuk mengenakan tarif sebesar 60 persen atau lebih tinggi pada barang-barang China dalam masa jabatannya yang kedua.
Advertisement
"Kita harus melakukannya," ujar Trump, dalam sebuah wawancara di acara Sunday Morning Futures.
The Washington Post pertama kali melaporkan bahwa kampanye Trump sedang mempertimbangkan rencana tarif pada barang dari China sebesar 60 persen.
Selain China, Trump juga menyebut ia akan mengenakan tarif sebesar 10 persen pada semua impor di AS, meskipun ada kritik luas mengenai bagaimana hal itu dapat merugikan konsumen.
Di sisi lain, mantan duta besar PBB Nikki Haley, mengkritik usulan kebijakan tersebut karena dampaknya terhadap perekonomian Amerika.
"Apa yang akan dilakukan Donald Trump adalah dia akan menaikkan pengeluaran setiap rumah tangga sebesar USD 2.600 per tahun," kata Haley dalam segmen wawancara Squawk Box CNBC, merujuk pada data dari Persatuan Pembayar Pajak Nasional AS yang konservatif secara fiskal.
Ketidaksetujuannya mencerminkan kekhawatiran investor di Wall Street, yang khawatir bahwa perang dagang AS-China lainnya akan kembali mengganggu pasar.
Tarif AS pada Barang China
Mulai tahun 2018, Trump memulai gelombang tarif sebesar USD 250 miliar terhadap China.
Perang dagang AS-China di masa pemerintahan Trump telah merugikan Amerika sekitar USD 195 miliar sejak tahun 2018, menurut American Action Forum, sebuah wadah pemikir konservatif.
Pertarungan ekonomi juga menyebabkan hilangnya lebih dari 245.000 pekerjaan di AS, menurut Dewan Bisnis AS-China.
Saat itu, Deutsche Bank memperkirakan perang dagang menyebabkan pasar saham mengalami penurunan hingga triliunan dolar.
Sengketa tarif juga menyebabkan AS dan China, yang pernah menjadi mitra dagang terbesar satu sama lain, berada dalam kondisi geopolitik yang sulit.
Advertisement
Perang Dagang China-AS Berlanjut, Pasir Kuarsa hingga Nikel Diprediksi Tetap Cuan
Tensi geopolitil global terus memanas dan diprediksi berimbas pada kegiatan ekonomi. Salah satunya akan semakin menguatnya tensi perang dagang antara China dan Amerika Serikat.
Analis menilai, perang dagang yang terjadi bakal nenyorot tech war atau aksi saling kunci soal microchip dan rare earth, yang imbasnya berupa keberlanjutan penurunan performa ekonomi China.
"Artinya, surplus dagang dengan China berpotensi menurun, karena penurunan permintaan dari negeri Tirai Bambu tersebut," ujar Analis dari Himpunan Penambang Pasir Kuarsa Indonesia (HIPKI), Ronny P Sasmita dalam keterangannya kepada Liputan6.com, Senin (15/1/2024).
Berlanjutnya perang dagang ini, kata Ronny, komoditas tambang diprediksi masih akan meraup keuntungan. Misalnya, pasir silika atau pasir kuarsa dan nikel.
"Komoditas global seperti Silica Sand atau Pasir Kuarsa dan Nikel berpeluang akan semakin membaik, karena renewable energy adalah salah satu senjata China untuk melawan dominasi global Amerika," ungkapnya.
Pada konteks China, Ronny memandang, energi terbarukan berkaitan dengan dua hal, pertama memangkas ketergantungan China pada impor migas yang sangat besar, sekitar 60 persen dari kebutuhan domestinya. Kedua, melawan dominasi kendaraan berbasis internal combustion engine, yang selama ini dikuasai oleh negara-negara AS dan aliansinya.
"Sebagaimana diketahui, kendaraan listrik adalah salah satu pintu masuk China untuk leading, karena China memang tak mampu menyaingi dominasi kendaraan berbasis internal combustion engine besutan Jepang, Eropa, Korea, dan US, yang semuanya bisa dikategorikan satu kubu. Keberhasilan BYP menyalip Tesla sejak tahun lalu adalah sebuah simbol kemenangan China yang luar biasa," bebernya.