Ekonom Ini Nilai APBN Diinjak-injak, Simak Penjelasannya

Selain itu, Didik Junaidi Rachbini juga menyoroti bahwa Tax ratio Indonesia pertumbuhannya tidak signifikan seperti negara lainnya yang tembus hingga puluhan persen.

oleh Tira Santia diperbarui 05 Feb 2024, 14:46 WIB
Pajak Kripto. Foto: Chayanupol/Freepik

Liputan6.com, Jakarta - Rektor Universitas Paramadina Didik Junaidi Rachbini, menilai pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari sisi pengeluaran harus dikelola dengan baik.

Namun, Didik melihat kinerja APBN tidak seimbang antara penerimaan dan pengeluaran. Hal itu tercermin dari APBN yang terus digenjot dari sisi pengeluarannya, misalnya anggaran bantuan sosial (Bansos) yang terus meningkat. Untuk tahun 2024 mencapai Rp 496 triliun.

"Kita punya masalah APBN itu diperkosa, diinjak-injak dari sisi pengeluaran. Mau Bansos Rp 496 triliun, belum bayar utang Rp 500 triliun, pendidikan 20 persen (dari APBN) Rp 600 triliun, transfer daerah itu Rp 800 triliun. Mau tambahan apalagi?," kata Didik dalam Diskusi Universitas Paramadina 'Masalah APBN, Utang dan Tax Rativo Rendah. PR Presiden Yang Akan Datang', Senin (5/2/2024).

Ia khawatir APBN dipolitisasi, dan dimanfaatkan oleh kalangan tertentu. Apalagi tahun ini memasuki tahun Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden. Oleh karena itu, Didik menyarankan agar pengeluaran APBN dikontrol.

"Jadi sisi pengeluaran diperkosa, memang kalau tidak ada kontrol yang layak dari para akademisi. Jadi, politik itu membikin kerajaan dan memaksimumkan budget dikeruk semua, jadi harus ada yang rasional," ujarnya.

Dalam kesempatan ini, Didik juga mengingatkan kepada masyarakat agar kritis dalam memilih pemimpin selanjutnya. Jangan mudah termakan dengan janji-janji.

"Jadi, janji-janji Presiden, itu mau gini mau itu dari mana uangnya itu pertanyaan yang harus kritis," ujarnya.

Selain itu, Didik juga menyoroti bahwa Tax ratio Indonesia pertumbuhannya tidak signifikan seperti negara lainnya yang tembus hingga puluhan persen.

"Dan kita punya masalah selain diperkosa di pengeluaran, seret di penerimaan. Dibandingkan dengan Denmark tax rationya 41 persen, kalau negara OECD 32 persen rata-rata itu terlalu jauh ya," ujarnya.

"Bandingkan aja dengan Filipina yang dianggap ekonominya di belakang kita itu sudah 14-15 persen, Singapura merendahkan tarif pajaknya tapi tetap tax rationya cukup tinggi," tambahnya.


Sri Mulyani: Penerimaan Pajak 2023 Capai Rp 1.869,2 Triliun

Petugas melayani masyarakat yang ingin melaporkan SPT di Kantor Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta, Rabu (11/3/2020). Hingga 9 Maret 2020, pelaporan SPT pajak penghasilan (PPh) orang pribadi meningkat 34 persen jika dibandingkan pada tanggal yang sama tahun 2019. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mencatat penerimaan pajak sepanjang 2023 mencapai Rp 1.869,2 triliun. Angka penerimaan pajak ini berhasil melampaui target APBN 2023 maupun target revisi menurut Perpres 75 tahun 2023.

Sri Mulyani menjabarkan, penerimaan pajak Rp 1.869,2 triliun di atas target yang ditetapkan berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2023 tentang APBN 2023 yang sebesar Rp 1.718 triliun.

Sementara jika mengikuti target revisi menurut Perpres 75 tahun 2023 sebesar Rp 1.818,2 triliun, maka pencapaian penerimaan pajak sudah mencapai 102,8 persen.

"Tahun ini kita tutup dengan angka Rp 1.869,2 triliun, bayangkan ini kenaikan luar biasa," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) KiTa, Jakarta, Selasa (2/1/2024).

Jika dilihat dalam perjalanannya, penerimaan pajak sempat mengalami penurunan yang signifikan yakni pada tahun 2020 penerimaan pajak hanya mencapai Rp 1.072,1 triliun jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang sebesar Rp 1.332,7 triliun.

"(Penerimaan) pajak hanya Rp 1.072,1 triliun bayangkan dari Rp 1.332,7 triliun pada 2019 drop tipis hanya di atas Rp 1.000 triliun," ujarnya.

Kemudian pada tahun 2021, penerimaan pajak mengalami peningkatan menjadi Rp 1.278,6 triliun. Lalu, tahun 2022 penerimaan pajak meningkat menjadi Rp 1.716,8 triliun, dan tren tersebut berlanjut di tahun 2023.

"Kenaikan berturut-turut mulai 2021, 2022, 2023 itu 3 kali growth yang tidak mudah dipertahankan. Jadi, kalau tahun ini kita bisa tumbuh 8,9 persen untuk penerimaan pajak ini adalah sebuah upaya yang luar biasa," pungkasnya. 

Infografis Lapor Pajak dengan E-Filing (Liputan6.com/Triyasni)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya