Liputan6.com, Jakarta - Ruqyah menjadi salah satu metode pengobatan dengan cara membacakan ayat-ayat Al Quran dan doa-doa untuk menjauhkan seseorang dari sihir dan gangguan jin. Teknik penyembuhan ini mulai banyak dipraktikkan di tanah air, salah satunya dilakukan oleh Ustaz Muhammad Faizar yang melakukan ruqyah syar'iyyah.
Namun, dalam menjalani pengobatan ini sering kali ditemui pasien yang sakit sebenarnya tidak mengalami gangguan sihir maupun jin. Melainkan adanya trauma psikologis atau adanya innerchild yang terluka dari masa lalunya.
Dalam channel Youtube-nya Ustaz Muhammad Faizar pun menceritakan pengalamannya yang menemui fenomena di mana seseorang sering mengalami gangguan namun ketika didiagnosa secara medis tidak ditemui akar permasalahannya. Kemudian secara metafisik pun mengalami gangguan namun disebabkan karena innerchild yang terluka.
Baca Juga
Advertisement
Ustaz asal Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah ini menjelaskan makna innerchild. Di mana innerchild adalah masa anak-anak atau sisi kekanakkan dari seseorang. Jebolan Pesantren Gontor Darussalam Ponorogo ini mendefinisikan innerchild sebagai sesuatu yang dilihat, dirasakan, didengar dan dialami oleh seseorang di masa anak-anaknya yang terjadi secara berulang-ulang.
"Itu membentuk suatu kepribadian, suatu karakter bahkan terekam erat di dalam alam bawah sadarnya," katanya.
Innerchild ini bisa bersifat positif karena pola asuh dan pendidikan di masa kecil. Hal ini membentul akhlakul karimah, budi luhur, dan adab yang baik. Misalnya, ajaran orang tua kepada anak agar selalu peduli dengan orang lain.
Namun sayangnya, ada sisi anak-anak yang terekam tapi lebih ke sisi negatif. Hal ini bisa disebabkan ketika anak melihat orang tua bertengkar, saling membentak, bahkan melihat kekerasan dalam rumah tangga. Atau yang lebih parah adalah orang tua meninggalkan anaknya, tidak mengurus maupun menafkahi.
"Innerchild ini juga tidak selamanya harus muncul dari orang tua karena bisa jadi hal tersebut muncul dari lingkungan sekitar, teman-temannya, tetangganya, saudara kandungnya dan segala hal yang berkaitan dengan masa anak-anak seseorang," bebernya.
Simak Video Pilihan Ini:
Innerchild yang Terluka
Lalu, bagaimana melihat innerchild seseorang terluka? Ustaz Faizar pun mencontohkan masa anak-anak yang kurang baik. Baik dari pola asuh, lingkungan, dan sebagainya yang menimbulkan trauma.
Sayangnya, innerchild ini akan terbawa hingga seseorang dewasa. Bahkan ketika dia akhirnya memiliki anak maka bisa jadi menerapkan pola asuh yang dialaminya ketika kecil.
"Supaya bisa sesukses aku, aku harus mendidiknya dengan pola asuh yang sama seperti yang aku dapatkan dulu. Masa ya dulu aku disabet anakku enggak disabet," contohnya.
Padahal, kata dia, Ali Bin Abi Thalid RA pernah memberikan nasihat bahwa pola asuh kita tidak bisa diterapkan kepada generasi setelah kita. Karena masing-masing generasi di setiap zaman punya pola asuhnya sendiri-sendiri.
"Ini supaya tidak ada yang namanya dendam turunan setidaknya ketika kita mengenal innerchild dan juga luka asuh kita itu bukan untuk membenci orang tua kita melainkan kita memaafkan mereka berdua. Kemudian memakluminya serta bersyukur kepada Allah SWT, berterima kasih kepada orang tua karena berkat pola asuh yang semacam itu kita bisa sekuat sekarang," bebernya.
Advertisement
Putuskan Pola Asuh yang Buruk
Ustaz Faizar pun menyarankan untuk mempelajari innerchild agar tidak menggulirkan kesalahan pola asuh yang sama kepada anak cucu. Karena, menurutnya, sebagai manusia orang tua juga mempunyai sisi plus dan minus atau tidak sempurna.
"Pola didik orang tua kita yang negatif-negatif ini jangan sampai bergulir kepada anak cucu di generasi mendatang," sebutnya.
Lalu bagaimana mengetahui innerchild seseorang terluka? Hal ini dilihat bagaimana dia diasuh, misalnya ketika dulu orang tuanya terlalu banyak melarang atau mengatur sehingga dia terkurung dirumah kemudian atau orang tua yang terlalu over thinking.
"Akhirnya di usia dewasanya dia jadi orang yang serba minder, mudah insecure dan tidak percaya diri karena dia sudah takut terlebih dahulu over thinking dari orang tuanya itu akhirnya terwariskan kepada anaknya," ungkapnya.
Selain orang tua yang over thinking, yang menjadikan anak-anak itu akhirnya jadi takut menjawab tantangan hidup juga disebabkan orang tua yang sering membentak. "Akhirnya menjadikan anak itu tidak berani untuk mencoba," tambahnya.
Padahal, anak-anak di usia 7 tahun sudah mumayyiz atau bisa membedakan mana yang benar dan salah. Jika orang tua terlalu sering membentak anak pun cenderung kurang berani melangkah ke depannya. Sebaliknya, jika orang tua terlalu banyak memanjakan maka anaknya kelak ketika dewasa juga menjadi kurang tangguh.
Untuk itu, Ustaz Faizar menyarankan pola asuh yang seimbang. Beri bahasa cinta dengan sentuhan kasih sayang, pujian, kejutan hadiah, waktu berkualitas bersama, sehingga anak menjadikan orang tuanya sebagai idola.
Namun, di sisi lain ajari anak untuk bertanggung jawab dan turut membantu pekerjaan rumah tangga agar kelak ketika dewasa bisa terbiasa saat berumah tangga.
Ia juga menyarankan orang tua tidak ragu berkata jangan, agar anak bisa lebih bereksplorasi. Berbeda halnya, jika perkara yang mengangkut syariat Islam maka harus dididik dengan tegas.
"Perkara-perkara yang butuh ketegasan khususnya di ranah syariat dan norma-norma kemanusiaan," ungkapnya.