Liputan6.com, Tokyo - Hari ini 42 tahun yang lalu, tragedi melanda Japan Airlines Flight 350 (JA8061). Penerbangan penumpang terjadwal dari Bandara Fukuoka ke Bandara Haneda, Jepang itu mengudara tak sampai ke tujuan.
Pesawat McDonnell Douglas DC-8-61 yang membawa 166 penumpang dan 8 awak itu jatuh di perairan dangkal Tokyo Bay (Teluk Tokyo), 510 meter dari ambang batas landasan pacu 33R. Hidung dan sayap kanan kemudian terpisah dari badan pesawat.
Advertisement
Mengutip airlive.net, di antara 166 penumpang dan 8 awak, 24 orang tewas dalam kecelakaan pesawat itu.
Seiji Katagiri, salah satu orang pertama yang menaiki perahu penyelamat, mengatakan kepada tim penyelamat bahwa dia adalah seorang pekerja kantoran --agar tidak diidentifikasi sebagai kapten. Situs Simplyflying menyebut sang kapten diduga melepas seragamnya agar tidak diidentifikasi sebagai salah satu awak pesawat jatuh tersebut.
Katagiri kemudian diketahui menderita mental illness (penyakit mental) sebelum kecelakaan terjadi. Kondisi tersebut mengakibatkan keputusan bahwa dia dinyatakan tidak bersalah dengan alasan masalah kejiwaan. Sejak itu, ia dibebaskan dari perawatan psikiatris dan tinggal di dekat Gunung Fuji.
Laporan aviation-safety.net menyebut bahwa sang kapten menderita gangguan psikosomatis; laporan awal menunjukkan bahwa kapten mengalami semacam kelainan mental. Dia tidak bertugas dari November 1980 hingga November 1981 karena alasan ini.
Adapun awak kokpit Japan Airlines Flight 350 terdiri dari Kapten Seiji Katagiri (35), First Officer Yoshifumi (33), dan Flight Engineer Yoshimi Ozaki (48).
Kronologi Tragedi Pesawat Jatuh di Tokyo Bay
Kronologi tragedi Japan Airlines Flight 350 mengutip Airlive,net bermula saat lepas landas dari landasan 16 Bandara Fukuoka pada 9 Februari 1982 pukul 07:34 waktu setempat.
Pesawat lalu dilaporkan naik ke ketinggian jelajah 29.000 kaki.
Pukul 08.22 awak pesawat mulai turun hingga 16.000 kaki. Setelah mencapai ketinggian 16.000 kaki, mereka diizinkan turun hingga 3000 kaki. Pesawat diizinkan menuju ILS runway 33R di Bandara Haneda.
Pukul 08.42 pesawat turun menembus ketinggian 1000 kaki dengan kecepatan udara 135 knot dan arah angin 360 derajat dengan kecepatan 20 knot. Kopilot berseru "500 kaki" pada pukul 08:43:25 namun kapten tidak melakukan seruan "stabil" seperti yang ditentukan oleh peraturan operasional JAL.
Kecepatan udara kemudian menurun menjadi 133 knot saat pesawat turun hingga ketinggian 300 kaki pada pukul 08:43:50, dan kopilot memperingatkan kapten bahwa pesawat mendekati decision height (batas ketinggian untuk pengambilan keputusan tindakan).
Pada 08:43:56 peringatan radio altimeter berbunyi, diikuti oleh teknisi penerbangan yang berseru "200 kaki", yang merupakan decision height, dan tiga detik kemudian pada 08:44:01 pesawat turun hingga 164 kaki pada 130 KIAS (Knots Indicated Air Speed).
Pada saat itu kapten membatalkan autopilot, mendorong kendalinya ke depan dan memperlambat throttle ke posisi idle. Kopilot mencoba untuk mendapatkan kembali kendali tetapi pesawat jatuh di perairan dangkal Teluk Tokyo, 510 meter dari ambang batas landasan pacu 33R. Hidung dan sayap kanan terpisah dari badan pesawat.
Advertisement
Bukan Peristiwa Pertama
Kecelakaan pesawat komersial akibat intervensi awak pesawat yang disengaja sangat jarang terjadi.
Meski begitu, sejarah telah menyaksikan beberapa kecelakaan di mana seorang awak pesawat dengan sengaja atau diduga sengaja menyebabkan pesawatnya jatuh. Salah satunya tragedi Japan Airlines Flight 350 pada 9 Februari 1982.
Pasca kecelakaan itu, mengutip situs Ozy.com, pihak Japan Airlines mengatakan pihaknya membentuk sebuah komite yang didedikasikan untuk meninjau "kesehatan fisik dan mental awak pesawat untuk memastikan operasi penerbangan yang aman," dan memiliki sistem pendukung yang mapan, termasuk keahlian psikiatris.
Apalagi dunia penerbangan kemudian dihadapkan pada kengerian yang mengakibatkan ketidakpercayaan terhadap seorang pilot tunggal yang memimpin penerbangan. Sejumlah maskapai penerbangan akhirnya menanggapi kecelakaan Germanwings yang sengaja dijatuhkan di Pegunungan Alpen, Prancis, dengan peraturan baru yang mengharuskan setidaknya dua personel berada di kokpit setiap saat.
Kehidupan Sang Pilot Pasca-Kecelakaan Pesawat
Menurut pemberitaan Ozy.com, Seiji Katagiri menjalani kehidupan yang nyaman di desa pesisir Hayama, sesekali keluar dengan Toyota Prius miliknya untuk berbelanja dan mengisi bensin. Namun para tetangga, yang banyak di antaranya tidak mengetahui masa lalunya, mengatakan bahwa kontak dengannya tidak sering dan tidak hangat.
Pedagang berlian Israel Dror Ben-Haim, yang tinggal di seberang jalan bersama istrinya yang berkebangsaan Jepang, Mizuha, menyebutkan kegiatan jalan-jalan sore yang kerap dilakukan Katagiri. “Dia selalu melihat ke bawah dan berjalan di jalan seperti zombie,” kata pria itu sambil menambahkan, “Dia tampak sangat sedih.”
Ketika warga Israel dan istrinya mengetahui alasan mereka diinterview, mereka terkejut. “Sekarang semuanya masuk akal,” kata Ben-Haim.
Namun apakah yang terjadi pada 9 Februari 1982 akan mengubah tetangga mereka yang sederhana menjadi seorang pembunuh?
Seiji Katagiri bukanlah pilot kamikaze yang menjalankan misi bunuh diri untuk kekaisaran; Katagiri hanya ingin mati, dan rupanya dia tidak keberatan jika 173 orang lainnya di dalamnya bisa terbunuh dalam prosesnya. Dia duduk di kokpit McDonnell Douglas DC-8-61, di samping kopilot Yoshifumi Ishikawa dan insinyur penerbangan Yoshimi Ozaki, saat penerbangan mereka dari Fukuoka mendekati Tokyo, dan tiba-tiba mendorong tongkat kendali ke depan, mematikan autopilot dan mengaktifkan pembalikan daya dorong pada dua mesin, menurut Paul Simpson, penulis The Mammoth Book of Air Disasters and Near Misses.
Advertisement