Liputan6.com, Jakarta Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna menyoroti program hilirisasi nikel di Indonesia, dimana salah satu misinya untuk berpartisipasi dalam produksi baterai kendaraan listrik dunia.
Ia menilai Indonesia masih perlu lebih menggenjot produksi nikel sebagai komponen baterai kendaraan listrik. Menurut perkiraannya, kapasitas produksi komoditas bahan mentah tersebut untuk industri electric vehicle (EV) global di 2024 masih terlampau kecil.
Advertisement
"Energy Shift Institute memperkirakan tahun ini Indonesia hanya akan memiliki 10 gigawatt hour (GWh), atau kurang dari 0,4 persen kapasitas produksi baterai global 2.800 GWh," ujar Putra dalam keterangan tertulis, Jumat (9/2/2024).
"Dengan kapasitas global diperkirakan meningkat dua kali lipat menuju 2030, sangat jelas Indonesia tertinggal jauh di belakang, meski produksi nikelnya meningkat lebih dari delapan kali lipat sejak 2015," imbuh dia.
Putra menganggap isu perihal pemasukan modal asing untuk membangun ekosistem baterai kendaraan listrik kerap mengaburkan skala investasi yang sebenarnya untuk produksi baterai. Tersamarkan dalam angka investasi untuk produk setengah jadi.
"Kemajuan memang mulai terjadi dari bahan mentah menuju produk setengah jadi untuk industri baterai. Meski saat ini, sekitar tiga perempat ekspor nikel masih berkaitan dengan industri baja tahan karat," ungkapnya.
"Namun, ketika Indonesia perlahan merangkak naik dalam rantai pasok industri baterai dan KBLBB (kendaraan bermotor listrik berbasis baterai), perlombaan di antara negara-negara lain sudah berjalan kencang," tegas dia.
Lebih Cepat dari Permintaan
Oleh karenanya, Putra menekankan, penting untuk dicatat bahwa pertumbuhan kapasitas produksi baterai dunia berlangsung lebih cepat dibandingkan permintaan.
Sebagai contoh, dalam semester pertama 2023 lalu, pabrik baterai di China secara rata-rata beroperasi kurang dari 45 persen kapasitas produksinya, seiring dengan terus dibangunnya kapasitas di China.
Ditambah dengan dorongan agresif dari Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk mengembangkan industri mereka, maka persaingan untuk investasi akan semakin keta meski dalam pasar yang terus tumbuh.
"Sejauh ini, nilai tambah berbagai produk nikel Indonesia berkisar antara dua hingga 11 kali lipat dibanding produk mentahnya. Namun, nilai ini masih jauh di bawah nilai tambah yang lebih dari 60 kali lipat jika mencapai produksi baterai," tuturnya.
Advertisement