Riset Sebut 2 Proyek PLTU Jambi Mangkrak dan Layak Dibatalkan

Dampak dari rencana pembangunan PLTU MT yang dikhawatirkan di masa depan adalah adanya deretan lubang tambang batubara, hingga masalah angkutan batubara menjadi ancaman serius bagi warga Jambi.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 14 Feb 2024, 20:00 WIB
Progres tiang pancang pembangunan PLTU Jambi 1 di Desa Pemusiran, Kecamatan, Mandiangin, Kab Sarolangun, Jambi, yang mangkrak. Koalisi CSO (Walhi Jambi dan Trend Asia) mendesak kedua proyek PLTU Jambi 1-2 di Jambi dibatalkan. (foto: dok Walhi Jambi)

Liputan6.com, Jambi - Di sebuah tanah lapang tak jauh dari pusat Desa Pemusiran, Kecamatan Mandiangin, Kabupaten Sarolangun, berdiri satu tiang pancang. Tiang beton itu menjadi tanda awal peletakan batu pertama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mulut Tambang Batu Bara.

Proyek untuk pemenuhan target 35.000 Megawatt (MW) dan digadang-gadang menelan dana Rp14 triliun itu, sampai kini masih mangkrak dan tak kunjung masuk tahap kontruksi. Proyek pembangkit listrik berkapasitas 2x300 MW dinamakan PLTU Jambi 1.

Sekitar 14 kilometer ditarik garis lurus menggunakan platform Google Earth, ke arah barat di Desa Lubuk Napal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, Jambi, juga akan dibangun proyek yang sama PLTU Jambi 2 berkapasitas 2x300 MW. Sama dengan saudaranya, PLTU Jambi 2 di Desa Lubuk Napal juga tak kunjung masuk tahap kontruksi.

"Kondisi di lapangan, kedua proyek PLTU di Jambi ini mangkrak. Sehingga keduanya layak dibatalkan dan dicoret dari dokumen Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL)," kata peneliti dari Tim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi Teguh Suprayitno dalam diskusi publik dan publikasi riset bertajuk "Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Jambi Untuk Siapa?" yang digelar di Jambi, Rabu (7/2/2024).

PLTU Mulut Tambang (MT) Jambi 1 dan 2 (masing-masing berkapasitas 600 MW). Mayoritas saham PLTU Jambi 1 dimiliki oleh China Huadian Power, dan Jambi 2 oleh PT Sumber Segara Primadaya. Alih-alih dikebut, kedua proyek PLTU di Jambi dibiarkan tanpa target waktu. Pun Perusahaan Listrik Negara (PLN) tak kunjung mencoret dari dokumen rencana kelistrikan.

"Kalau dilihat kondisinya di lapangan, kami tidak melihat kemajuan konstruksi yang berarti. Jadi lebih baik dicoret dalam dokumen rencana kelistrikan. Kalaupun dilanjutkan dampak lingkungan yang terjadi akan sangat besar," kata Teguh.

Kajian Wahana Lingkungan Hidup Provinsi Jambi (Walhi Jambi) dan Trend Asia--lembaga nirlaba yang fokus pada isu kampanye lingkungan menegaskan pentingnya pembatalan rencana pengembangan PLTU mulut tambang, khususnya PLTU Mulut Tambang 1 dan 2 di Jambi. Kedua PLTU itu dipandang berpotensi merusak lingkungan dan merugikan masyarakat.

Pengembangan batu bara sebagai sumber energi menurut Teguh, sudah tidak diperlukan mengingat ketersediaan listrik jaringan Sumatera telah oversupply. Selain itu, jika pengembangan PLTU diteruskan lebih jauh akan semakin mempersulit pengembangan energi terbarukan yang menjadi prioritas publik. "Seharusnya porsi bauran energi baru terbarukan yang kudu digenjot," kata Teguh.

Proyek PLTU MT Jambi 1 dikerjakan oleh PT Jambi Power, sebuah perusahaan kopnsosium dari hasil patungan antara PT Indonesia Power (anak perusahaan PLN) dan PT Sumber Segara Primadaya (SSP). Berdasarkan kajian, proyek ini akan mendapatkan pendanaan dari perusahaan BUMN asal Tiongkok. Selain itu, proyek ini juga bagian dari program pemenuhan listrik 35.000 MW yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.

Sementara itu, untuk PLTU MT Jambi 2 ada perusahaan China Huadian. Diketahui perusahaan ini telah menandatangani perjanjian jual beli listrik dengan PLN dan berkomimen untuk mengembangkan PLTU Jambi 2 berkapasitas 2x300 MW dengan masa operasi selama 25 tahun menggunakan teknologi supercritical.

 


PLTU Jambi untuk Siapa?

Diskusi publik dan rilis riset berjudul "PLTU Jambi untuk Siapa?" yang digelar Walhi Jambi dan Trend Asia. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Proyek energi dari sumber bahan baku utama batu bara di Provinsi Jambi bermula pada pada Maret 2014. Masih menurut kajian berjudul "PLTU Jambi untuk Siapa?" ketika itu PLN berniat membangun pembangkit listrik tenaga batubara berkapasitas 800 MW diProvinsi Jambi, yang diproyeksikan mulai beroperasi pada tahun 2019 dan 2020. Namun dalam rencana jangka panjang 2016-2025, besaran proyek tersebut diubah menjadi 2x600 MW.

Dalam rencana jangka panjang 2017-2026, proyek tersebut dibagi menjadi dua proyek yaitu PLTU MT Jambi-1 (2x300 MW) dan PLTU MT Jambi-2 (2x300 MW). Konsep PLTU mulut tambang didorong untuk memanfaatkan cadangan batubara berkalori rendah yang tersedia secara lokal.

Manajer Riset Trend Asia Zakki Amali mengatakan, semakin rendah kualitas batubara, semakin sedikit panas yang dihasilkan. Sebab itu PLTU mulut tambang akan membutuhkan pasokan 1,5 hingga dua kali jumlah batubara dibanding PLTU non-mulut tambang.

Hal ini kata Zakki, membuat pengusaha tambang berbondong-bondong membidik PLTU MT. Padahal listrik sudah oversupply dan PLTU yang sudah ada menimbulkan kerusakan lingkungan dan mengganggu warga.

"Siapa yang diuntungkan oleh pembangunan ini? Tentu sesungguhnya hanya pengusaha. Apapun jenisnya PLTU, semua berbahaya,” ujar Zakki dalam diskusi publik tersebut.

Provinsi Jambi yang tergabung dalam jaringan Sumatera saat ini sudah kelebihan pasokan (oversupply) hingga 34 persen. Angka ini dapat tumbuh menjadi 52.2 persen per 2025 dan bertahan di atas 39 persen per 2030 jika pembangunan-pembangunan PLTU diteruskan.

Kelebihan pasokan ini papar Zakki, membuat PLN merugi dalam skema take-or-pay dan mempersulit energi terbarukan untuk masuk. Kondisi ini akan diperburuk oleh pembangunan pembangkit batubara seperti PLTU MT Jambi 1 dan 2.

Walhi Jambi dan Trend Asia menuilai pembangunan PLTU MT juga akan menimbulkan ancaman bencana ekologis. Berdasarkan dokumen AMDAL, PLTU MT Jambi 1 akan membutuhkan air sebanyak 36.000 m³ yang akan diambil dari aliran sungai Desa Pemusiran

Sementara itu, dari segi pendanaan, PLTU MT Jambi 1 dan 2 juga tengah berada dalam ketidakpastian. Seiring dengan komitmen mencegah perubahan iklim, investor kehilangan semakin kehilangan minat mendanai proyek kotor seperti energi batu bara. Perusahaan China Huadian, dikabarkan mundur dari pembangunan PLTU MT Jambi 2.

Sengkarut ketidakjelasan pendanaan ini membuat proyek ini mandek. Meski PLTU MT Jambi 1dan 2 direncanakan beroperasi pada 2026 dan 2027, hingga kini konstruksi masih mangkrak.

“Saya rasa ini proyek yang sangat tidak masuk akal jika ada yang mau mendanai. Dalam rencana saja mereka sudah berniat untuk tetap menggunakan bahan baku batubara, sehingga kedepannya akan menjadi proyek yang bermasalah. Sumatera sudah terlalu banyak pembangkit baseload, sehingga manfaat PLTU MT Jambi 1 dan 2 untuk penyediaan tenaga listrik sangat rendah, apalagi Indonesia juga sudah komitmen untuk meninggalkan PLTU Batubara,” ujar Abdullah.

Abdullah mendesak bahwa lembaga-lembaga pendana internasional memegang komitmennya untuk tidak lagi mendanai PLTU. Termasuk untuk negara-negara seperti China, Jepang dan Korea Selatan yang baru-baru ini berkomitmen untuk menghentikan seluruh investasi PLTU.

Sementara itu, pejabat Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jambi Sinta Hendra dalam diskusi publik tersebut mengatakan, PLTU Jambi 1 telah mengantongi izin lingkungan Nomor 75 Tahun 2019 yang dikeluarkan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sarolangun.

Sedangkan, PLTU Jambi 2 juga telah mengantongi Surat Kelayakan Lingkungan Hidup Nomor 01 Thaun 2021 yang dikeluarkan DLH Sarolangun dengan kapasitas 2x350 MW.

Hendra menjelaskan, saat ini pemerintah daerah tak punya kewenangan dalam industri batu bara, termasuk PLTU. Kewenangan industri batu bara saat ini telah ditarik oleh pemerintah pusat.

Kini di tengah ketidakpastian proyek tersebut masih bisa berlangsung. Sehingga pembangunan proyek energi kotor PLTU Jambi 1 dan 2 mesti dibatalkan. Jika benar terealisasi, proyek ini sangat berpotensi menimbulkan krisis air pada masyarakat. Sungai Sekamis, Sungai Selempado, dan berbagai sungai lain juga berpotensi tercemar akibat aktivitas pertambangan batubara dan pengoperasian PLTU.

"Polusi udara dari PLTU akan mengancam Desa Pemusiran dan Desa Lubuk Napal, yang sudah terganggu oleh debu pertambangan," kata Direktur Eksekutif Walhi Jambi Abdullah.

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya