Liputan6.com, Jakarta Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Bogor menyampaikan keresehannya akan alam politik dan demokrasi Indonesia hari-hari ini, terlebih menjelang masa pemungutan suara Pemilu 2024 pada 14 Februari mendatang.
Ketua Presidium PMKRI Cabang Bogor, Aurelius Maria De Quirino berharap Pemilu 2024 ini bisa berjalan dengan damai, adil, dan penuh kejujuran.
Advertisement
Terlebih jangan sampai khususnya anak muda hak politiknya diintervensi.
Pihaknya juga berharap, ASN, Polri, TNI, serta aparatur negara lainnya tetap netral, sehingga membawa Pemilu ke depan terasa jujur dan adil sebagaimana selalu dikumandangkan semua kalangan.
"Semoga kita semua, terkhusus anak-anak muda, gunakan hak politik kita tanpa intervensi. Memilih dari hati berdasarkan track record paslon," kata dia dalam keterangan tertulis, Senin (12/2/2024).
Pria yang akrap disapa Mayo ini juga berpesan, agar anak-anak muda jangan sampai tak menggunakan hak suaranya dan menjadikan mereka golongan putih alias golput.
Dia meminta mereka bisa membayangkan bagaimana setiap paslon memimpin bangsa ini ke depan.
"Jangan golput, kita perlu membayangkan bagaimana cara memimpin paslon 1, 2, dan 3 dari pengalaman mereka sebelumnya, (atau) gambaran kepemimpinan mereka 5 atau 10 ke depan apakah sama dengan yang pernah mereka lakukan sebelumnya," ungkap Mayo.
Pemimpin yang Junjung Etika dan Moral
Mayo juga menuturkan, penting mencari pemimpin yang di mana saat menjalankan roda pemerintahannya tak hanya berlandasan pada payung hukum semata. Menurut dia, perlu juga mengedepankan etika dan moral sebagaimana tata cara budaya ketimuran.
"Kami menilai sangat penting siapapun pemimpin Indonesia yang akan datang, tentu saja harapan kami adalah tidak hanya memimpin berlandaskan pada payung hukum Indonesia, tetapi juga mengedepankan budaya ketimuran," kata dia.
Advertisement
Sejumlah Insiden
Mayo mengungkapkan, insiden pelanggaran etik yang terjadi Mahkamah Konstitusi (MK) serta yang terakhir oleh para pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU), jelas memperlihatkan bukan hanya demokrasi, tapi moralitas kian merosot.
"Bagi kami penting melihat persoalan moralitas, karena pada dasarnya bangsa ini tidak hanya mempraktikan hukum positif tetapi juga soal kultur atau tata cara budaya ketimuran. Kami perlu memberi batas demarkasi pada hukum positif dengan moralitas kekuasaan. Tentu saja kami tetap mendukung cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum yang ada di Indonesia, sekaligus tetap menjunjung tinggi moralitas budaya ketimuran," ungkap dia.