Liputan6.com, Jakarta PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF) atau Adira Finance membukukan kinerja positif sepanjang 2023. Direktur Utama Adira Finance, I Dewa Made Susila mengatakan, kinerja perseroan tahun lalu sudah kembali pada posisi sebelum pandemi Covid-19.
Sepanjang 2023, perseroan berhasil membukukan laba bersih sebesar Rp 1,94 triliun pada 2023 atau naik 21 persen dari Rp 1,62 triliun pada 202. Pertumbuhan ini terutama didorong meningkatnya total pendapatan sebesar 14 persen menjadi Rp 9,5 triliun yang relatif sejalan dengan tumbuhnya pembiayaan baru Perusahaan. Dengan demikian, Return on Asset (ROA) dan Return on Equity (ROE) Perusahaan masing- masing menjadi 8,6 persen dan 18,7 persen.
Advertisement
"Jadi pendorong utama dari pertumbuhan laba adalah kenaikan aset. Karena memang pembiayaan baru itu naik, sehingga aset yang dikelola naik 25 persen mencapai Rp 55 triliun. Kami akui baru tahun lalu kita bisa membalikkan komposisi sebelum Covid-19. Sebelumnya aset kami terus turun," kata Dewa dalam paparan kinerja perseroan, Selasa (13/2/2024).
Sepanjang 2023, pembiayaan baru Adira Finance tercatat mengalami kenaikan sebesar 31 persen yoy menjadi Rp 41,6 triliun dan piutang pembiayaan yang dikelola Perusahaan (termasuk pembiayaan bersama) tumbuh sebesar 25 persen menjadi Rp 55,7 triliun.
Khusus untuk kinerja bisnis otomotif juga mencatatkan capaian serupa. Sejalan dengan membaiknya kondisi ekonomi di Indonesia, penjualan ritel sepeda motor baru mencatatkan pertumbuhan sebesar 12 persen yoy menjadi 6,0 juta unit. Sementara itu, penjualan ritel mobil baru, mengalami penurunan sebesar 2 persen yoy menjadi 998 ribu unit pada 2023. Mengingat penetrasi mobil masih rendah, terdapat potensi pertumbuhan penjualan mobil ke depannya.
“Adira Finance berhasil memperkuat bisnis otomotifnya di tahun 2023 yang tercermin dari kenaikan pangsa pasar mobil baru dan sepeda motor baru masing- masing sebesar 5 persen dan 10 persen dibandingkan tahun 2022 sebesar 4,0 persen dan 8,2 persen," beber Dewa.
Jika Pemilu Dua Putaran, Bagaimana Dampaknya ke Sektor Multifinance?
Sebelumnya, gelaran pesta demokrasi akbar berupa pemilihan umum (pemilu) 2024 menjadi perhatian pelaku ekonomi dan pasar dalam negeri.
Untuk pemilihan presiden kali ini, diperkirakan berlangsung dua putaran karena diikuti oleh tiga pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres).
Meski begitu, tidak menutup kemungkinan pemilu selesai dalam satu putaran dengan syarat dan ketentuan berlaku. Gelaran pemilu secara umum memantik kekhawatiran atas ketidakpastian di kalangan pelaku pasar. Sebab, akan terjadi transisi kepemimpinan. Biasanya, hal itu akan diikuti kebijakan makro lainnya sehingga banyak yang memilih untuk wait and see.
"Yang berdampak itu biasanya dalam kasus perubahan pemerintahan itu adalah investasi besar (yang wait and see). Wajar mereka ingin tahu siapa yang akan mengelola negara ini 5-10 tahun ke depan. Jadi pasti akan terjadi penundaan investasi," ujar Direktur Utama Adira Finance, I Dewa Made Susila kepada wartawan di Jakarta, Selasa (13/2/2024).
Ia menilai, penundaan investasi lebih lanjut akan berpengaruh ke ekonomi. Secara spesifik untuk sektor pembiayaan atau multifinance, Made mengatakan, imbas lain dari pemilu dua putaran adalah turunnya daya beli atau konsumsi.
Sebagai gambaran, Made menuturkan, jika orang yang sudah memiliki aset seperti kendaraan baik roda dua maupun roda empat, kemungkinan akan menunda konsumsi atau pembelian barang yang sama atau dalam nilai yang besar.
Sementara untuk masyarakat menengah ke bawah atau yang belum memiliki aset bernilai, konsumsi masih cenderung terjaga ketika daya beli itu ada.
Advertisement
Dampak Ketidakpastian
"Konsumen menengah atas sudah punya mobil (atau semacamnya), biasanya dari kondisi ketidakpastian mereka akan menunda (untuk barang serupa). Kalau konsumen yang belum punya, tidak peduli. Dia pasti beli karena memang nggak punya. Jadi begitu punya daya beli, punya duit, beli," kata Made.
Dengan pemilu berjalan dua putaran, Made menilai dampak ketidakpastian makin besar karena berlangsung lebih lama. Namun, di sisi lain, patut diapresiasi pasar Indonesia tidak volatil negara tetangga seperti Singapura yang mengandalkan pendapatan ai ekspor. Menurut Made, sekitar 55 persen pendapatan RI disumbang dari aktivitas konsumsi.
"Jadi Indonesia itu seperti Amerika. Di mana karena penduduknya banyak, sekitar tiga ratusan, konsumsi dalam negerinya kuat. Jadi menurut saya, kalau (periode kekhawatiran) pendek, walaupun lemah di kuartal I, kita ada 9 bulan untuk ngejar. Nah kalau (pemilu berlangsung) enam bulan, apakah mampu mengejar," imbuh Nyoman.