Liputan6.com, Jakarta - Saat ini umat Islam telah memasuki bulan Sya'ban 1445 Hijriyah. Itu artinya, sebentar lagi kita memasuki Ramadhan, bulan mulia yang ditunggu-tunggu komunitas muslim sedunia.
Tak hanya muslim, secara umum masyarakatpun sangat menunggu momen Ramadhan. Sebab, segala sesuatu akan lebih bergairah, termasuk dunia perdagangan atau bisnis.
Advertisement
Kembali ke topik semula. Dalam tradisi Jawa, bulan Sya'ban disebut Ruwah atau bulan Ruwah. Itu sebab, Sya'ban juga disebut bulan arwah.
Pertanyaan yang muncul kemudian, kenapa Bulan Sya’ban disebut Ruwah?
Soal ini, ulama kharismatik asal Rembang, KH Maimoen Zubair atau Mbah Moen menjelaskannya dengan gamblang. Terungkap pula, tradisi ruwah di Jawa berkaitan dengan haul Nabi Hud dalam tradisi di Yaman.
Penjelasan Mbah Maimoen ini diungkapkan oleh murid terkasihnya, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha.
Simak Video Pilihan Ini:
Muasal Kata Ruwah
Gus Baha dalam salah satu ceramahnya menerangkan tentang awal mula nama “Ruwah” untuk bulan “Sya’ban”.
Mengutip YouTube Kalam-Kajian Islam, Senin (14/03/22) Gus Baha menjelaskan bahwa asal muasal ruwah berasal dari kosakata Arab, yakni “arwah” dan selanjutnya diserap ke dalam Bahasa Jawa menjadi “Ruwah”.
“Saya masih ingat betul ketika Mbah Moen (K.H. Maemun Zabair) mengajar dan di antara yang diterangkan itu mengapa Sya’ban disebut Ruwah, Ruwah itu dari Bahasa Arab arwah, terus dijawakan menjadi Ruwah," tutur Gus Baha atau KH Ahmad Bahauddin Nursalim, dikutip dari laman Regional Liputan6.com, Rabu (14/2/2024).
Advertisement
Tradisi Yaman
Lalu Gus Baha juga menjelaskan bulan Sya’ban atau Ruwah tersebut sebagai bulan “arwah”. Hal tersebut didasarkan bahwa pada bulan tersebut masyarakat Indonesia, khususnya Jawa mendoakan arwah para lelulur pada bulan Sya’ban.
Selain itu, Ulama kharismatik asal Rembang ini juga menerangkan asal muasal tradisi mengirim doa untuk arwah pada bulan Sya’ban ini diadaptasi dari tradisi Yaman.
Penduduk Yaman pada bulan Sya’ban ini memiliki tradisi mengadakan haul Nabi Hud sehingga kiai-kiai Jawa mengirimkan doa ketika bulan Sya’ban atau bulan Ruwah. Maka muncullah istilah tradisi ruwah atau ruwahan, yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa.
“Karena di antara tradisi di Indonesia mengikuti Yaman. Dan di Yaman itu ada khoulnya Nabiyullah Hud dan itu pada waktu Sya’ban. Sehingga kiai-kiai Jawa kalau kirim doa itu dibarengkan pas Sya’ban atau Ruwah”, terang Gus Baha.
Tradisi di Jawa pada Bulan Ruwah (Arwah)
Mengutip NU Online bahwa bulan sya'ban atau ruwah, masyarakat Indonesia, khususnya Jawa mengadakan ritual doa untuk para arwah. Keluarga yang masih hidup berbondong-bondong mendoakan arwah para leluhur menjelang bulan ramadhan.
Baik melalui doa, sedekah, tahlil dan tahmid maupun langsung berziarah ke kubur. Bulan sya'ban menjadi bulan istimewa, artinya ada beberapa tradisi yang berlaku di bulan ini yang tidak dilaksanakan pada bulan-bulan lain.
Ada banyak macam nama untuk tradisi ziarah kubur menjelang bulan Ramadhan atau di akhir bulan Sya'ban. Sebagian mengatakan dengan istilah arwahan, nyekar (sekitar Jawa Tengah), kosar (sekitar Jawa Timur), munggahan (sekitar tatar Sunda) dan lain sebagainya. Meskipun berbeda nama, namun pada intinya dalam kegiatannya diisi dengan hal yang sama yakni mendoakan arwah para leluhur.
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, hal ini telah menjadi adat atau kebiasaan. Oleh karena itu, hal ini menjadi semacam sebuah keharusan. Dan jika pada bulan Sya’ban ini meninggalkan tradisi-tradisi tersebut, serasa ada yang kurang dalam menyambut bulan Ramadhan.
Penulis: Khazim Mahrur/Madrasah Diniyah Miftahul Huda Cingebul I
Advertisement