Peringatan Sekjen PBB: Krisis Iklim dan Pangan Mengancam Perdamaian Global

Perut kosong, kata Sekjen PBB Antonio Guterres, dapat memicu kerusuhan.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 15 Feb 2024, 17:00 WIB
Ilustrasi (AFP)

Liputan6.com, Washington, DC - Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Selasa (13/2/2024) memperingatkan bahwa krisis iklim dan krisis pangan meningkatkan ancaman terhadap perdamaian global.

Dia menggarisbawahi bencana iklim membahayakan produksi pangan dan perut kosong memicu kerusuhan.

Guterres mendesak Dewan Keamanan (DK) PBB mengatasi dampak kekurangan pangan dan kenaikan suhu terhadap perdamaian dan keamanan internasional.

"Iklim dan konflik adalah dua pendorong utama krisis pangan global," kata Guterres, seperti dilansir AP, Kamis (15/2). "Saat perang berkecamuk, kelaparan merajalela – baik karena perpindahan penduduk, kehancuran pertanian, kerusakan infrastruktur, atau kebijakan penolakan yang disengaja."

"Sementara itu, krisis iklim membahayakan produksi pangan di seluruh dunia."

Guterres menuturkan dunia penuh dengan contoh hubungan buruk antara kelaparan dan konflik.

Di Jalur Gaza yang dilanda perang, kata Guterres, tidak ada seorang pun yang mempunyai cukup makanan dan wilayah kecil itu menyumbang 80 persen dari 700.000 orang paling kelaparan di dunia.

Setelah lebih dari satu dekade perang Suriah, sebut Guterres, 13 juta warga Suriah tidur dalam keadaan lapar setiap malam.

"Dan di Myanmar, prospek mengakhiri kelaparan sudah tidak ada lagi karena konflik dan ketidakstabilan," ujarnya.

Sekretaris Eksekutif Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) Simon Stiell menggemakan pernyataan Guterres dengan menyatakan bahwa perubahan iklim berkontribusi terhadap kerawanan pangan dan konflik.

Dia mengatakan satu dari 10 orang di dunia saat ini sudah menderita kelaparan kronis dan jika perubahan iklim semakin cepat, hal ini akan menjadi lebih buruk.

"Tindakan yang cepat dan berkelanjutan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan ketahanan diperlukan saat ini untuk membantu menghentikan hal-hal tersebut agar tidak menjadi tidak terkendali," tegas Stiell.

DK PBB, tutur Stiell, harus mengakui bahwa masih banyak yang bisa dilakukan daripada berharap isu ini akan hilang.


Tidak Ada Perdamaian Tanpa Ketahanan Pangan

Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, mencatat sekitar 201 hektar lahan sawah terancam mengalami puso atau gagal panen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Beth Bechdol, wakil direktur FAO, mengatakan bukti ilmiahnya jelas, "Perubahan iklim membahayakan ketahanan pangan dan dampaknya merupakan ancaman yang semakin besar terhadap perdamaian dan keamanan internasional."

Dia mengulangi peringatan lama FAO, "Tidak ada ketahanan pangan tanpa perdamaian dan tidak ada perdamaian tanpa ketahanan pangan."

Bechdol menuturkan 258 juta orang di 58 negara menghadapi tingkat kerawanan pangan yang tinggi dan lebih dari dua pertiga dari mereka – 174 juta orang – berada pada tingkat kelaparan yang tinggi karena iklim dan konflik.

"Meskipun tidak ada hubungan sebab akibat langsung antara keduanya, terdapat bukti jelas bahwa perubahan iklim meningkatkan risiko dan pemicu konflik serta ketidakstabilan, seperti sengketa tanah dan air," kata Bechdol. "Dan konflik berkontribusi terhadap kerentanan perubahan iklim, terutama bagi orang-orang yang terpaksa meninggalkan rumah dan bermigrasi."

Sebagai contoh hubungan kompleks antara perubahan iklim dan konflik, Bechdol merujuk pada para penggembala di Afrika Barat dan Tengah yang dengan damai melintasi perbatasan dengan ternak mereka untuk mencari air dan padang rumput selama bertahun-tahun. Namun perubahan iklim, tekanan lingkungan dan keamanan telah menyebabkan meningkatnya ketegangan dan persaingan antara penggembala dan petani untuk mendapatkan sumber daya yang langka termasuk air dan tanah.

Bechdol menekankan bahwa perubahan iklim dan konflik tidak hanya berdampak pada peternakan tetapi juga produksi tanaman, perikanan dan kehutanan yang terkait erat dan tidak dapat dipisahkan dengan perubahan iklim. Dia mendesak PBB dan negara-negara lain untuk fokus pada pertanian sebagai solusi utama terhadap meningkatnya ancaman perubahan iklim, konflik, dan dampaknya terhadap ketahanan pangan.


Sikap Berbeda Rusia

Nybol Madut duduk bersama anak-anaknya di tempat penampungan di Sudan Selatan (22/11). Mereka menderita krisis air bersih dan kelaparan karena minimnya persediaan pangan. (AFP Photo/Albert Gonzalez Farran)

Presiden Guyana Mohamed Irfaan Ali, yang negaranya menjabat sebagai presiden DK PBB bulan ini dan memimpin pertemuan tingkat tinggi PBB pada Selasa, menyatakan dampak perubahan iklim dan kerawanan pangan terhadap perdamaian dan keamanan internasional dipilih sebagai topik pertemuan karena meningkatnya keterkaitan.

"Konflik adalah penyebab utama kerawanan pangan akut di Afrika dan hal yang sama juga terjadi di Haiti," kata Ali dalam pertemuan tersebut, seraya menambahkan bahwa perang di Jalur Gaza menyebabkan berton-ton emisi karbon ke atmosfer.

DK PBB, tegas Ali, harus mempertimbangkan dampak terhadap ketahanan pangan dan iklim dalam mengatasi isu-isu konflik dan perang. Dia menekankan bahwa masalah-masalah ini terkait erat dengan supremasi hukum, demokrasi dan pemerintahan.

Namun, Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia, salah satu dari lima anggota tetap DK PBB, mengingatkan kembali posisi lama Rusia bahwa tidak ada hubungan langsung antara masalah sosial dan ekonomi seperti iklim dan pasokan pangan dengan mandat DK PBB untuk menjamin perdamaian dan keamanan internasional. Karena itu, menurutnya, isu-isu ini harus didiskusikan di badan-badan khusus PBB lainnya.

Sebaliknya, Nebenzia menyalahkan negara-negara bekas kolonial Barat dan Amerika Serikat sebagai akar penyebab permasalahan yang dihadapi negara-negara berkembang di Afrika dan negara-negara lain saat ini.

Dia mengatakan Barat terus menyedot sumber daya dari bekas koloni dan mengambil tindakan militer terhadap negara-negara berdaulat yang bermasalah untuk menghancurkan negara mereka - merujuk pada Yugoslavia, Libya, Afghanistan, Irak, dan Suriah.

"Praktik neo-kolonialisme adalah penyebab sebenarnya dari kesulitan sosio-ekonomi yang dihadapi negara-negara berkembang," imbuhnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya