Ekonomi Kontraksi 0,4%, Jepang Masuk Jurang Resesi

Produk domestik bruto atau pertumbuhan ekonomi Jepang mengalami kontraksi 0,4 persen pada kuartal IV 2023.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 15 Feb 2024, 12:32 WIB
Gunung Fuji terlihat dari kuil Arakura Fuji Sengen di kota Fujiyoshida, prefektur Yamanashi, pada Kamis (22/4/2021). Prefektur Yamanashi terletak di sebelah barat Tokyo yang memiliki spot-spot wisata terkenal, salah satunya gunung tertinggi di Jepang, Gunung Fuji. (Behrouz MEHRI / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Perekonomian Jepang mengalami resesi teknis, setelah secara tak terduga kontraksi pada kuartal terakhir 2023, data sementara pemerintah menunjukkan.

Melansir CNBC International, Kamis (15/2/2024) resesi terjadi setelah lonjakan inflasi menghambat permintaan domestik dan konsumsi swasta di negara dengan perekonomian terbesar keempat di dunia itu.

Laporan produk domestik bruto terbaru memperumit kasus normalisasi suku bunga bagi Gubernur Bank of Japan Kazuo Ueda dan dukungan kebijakan fiskal untuk Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida.

Hal ini juga berarti Jerman mengambil alih posisi Jepang sebagai negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia pada tahun lalu dalam hal dolar.

Data sementara menunjukkan produk domestik bruto Jepang mengalami kontraksi 0,4 persen pada kuartal keempat 2023 dibandingkan dengan tahun lalu, menurun ke 3,3 persen pada periode Juli-September 2023.

Angka PDB Jepang kali ini jauh di bawah perkiraan median pertumbuhan sebesar 1,4 persen dalam jajak pendapat para ekonom.

Namun ekonom menilai, angka PDB Jepang masih mungkin diperdebatkan.

"Apakah Jepang kini telah memasuki resesi masih bisa diperdebatkan," kata Marcel Thieliant, kepala Capital Economics untuk Asia-Pasifik, dalam catatan kliennya.

"Sementara lowongan pekerjaan melemah, tingkat pengangguran turun ke level terendah dalam sebelas bulan sebesar 2,4 persen pada bulan Desember. Terlebih lagi, survei yang dilakukan oleh Bank of Japan menunjukkan bahwa kondisi bisnis di semua industri dan ukuran perusahaan berada dalam kondisi terkuat sejak tahun 2018 pada kuartal keempat,” tambahnya.

"Bagaimanapun, pertumbuhan Jepang diperkirakan akan tetap lamban tahun ini karena tingkat tabungan rumah tangga telah berubah menjadi negatif," jelas Thieliant.


Inflasi Jepang Picu Permintaan Domestik Melemah

Pemandangan umum ini menunjukkan atap-atap yang tertutup salju di sebuah lingkungan di pusat kota Tokyo pada tanggal 6 Februari 2024, setelah ibu kota Jepang ini diguyur salju pada malam sebelumnya. (Richard A. Brooks/AFP)

Konsumsi swasta Jepang turun 0,2 persen pada kuartal keempat dibandingkan kuartal sebelumnya, berbeda dengan perkiraan median yang memperkirakan ekspansi sebesar 0,1 persen.

Sementara itu, inflasi inti Jepang telah melampaui target BOJ sebesar 2 persen selama 15 bulan berturut-turut. Namun, BOJ masih melanjutkan rezim suku bunga negatif terakhir di dunia.


Bagaimana Langkah BOJ Selanjutnya?

Ilustrasi kota Tokyo, Jepang. (Unsplash/agafapaperiapunta)

Namun, angka PDB yang lebih lemah dari perkiraan pada hari Kamis akan mempertanyakan preferensi BOJ terhadap inflasi di Jepang yang didorong oleh permintaan domestik, yang lebih berkelanjutan dan stabil.

Bank sentral Jepang itu meyakini kenaikan upah akan menghasilkan spiral yang lebih bermakna dan mendorong konsumen untuk berbelanja.

Banyak pelaku pasar yang mengharapkan BOJ untuk menjauh dari rezim suku bunga negatif pada pertemuan kebijakan bulan April, setelah negosiasi upah musim semi tahunan mengkonfirmasi tren kenaikan upah yang berarti.

Namun, angka pertumbuhan ekonomi yang lebih lemah dari perkiraan menunjukkan tingginya inflasi merugikan konsumsi domestik, meskipun ada prospek upah yang lebih tinggi, dan mungkin memperkuat alasan untuk kebijakan moneter yang lebih longgar dalam jangka waktu yang lebih lama.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya