Jutaan Keledai Dibunuh Setiap Tahun untuk Dijadikan Obat

Pada tahun 2015 di Ethiopia, sesuatu aneh terjadi, keledai milik para warga mulai menghilang. Mereka menemukan tumpukan tulang, otot, dan organ yang dibuang ke semak diluar pemukiman mereka, bangkai keledai tersebut juga ditemukan tanpa kulit.

oleh Fitria Putri Jalinda diperbarui 17 Feb 2024, 18:35 WIB
Perburuan dan perkawinan silang dengan keledai domestik biasa telah mengurangi populasi hewan ini hingga menempatkannya pada tingkat kepunahan kritis, kategori terakhir dalam daftar IUCN sebelum kepunahan. (MARTIN BERNETTI / AFP)

Liputan6.com, Addis Ababa - Pada tahun 2015 di Ethiopia, sesuatu yang aneh terjadi, keledai milik para warga tiba-tiba menghilang. Tak beberapa lama kemudian, ditemukan tumpukan tulang, otot, dan organ yang dibuang ke semak di luar permukiman mereka, bangkai keledai tersebut juga ditemukan tanpa kulit.

Semakin banyak keledai yang hilang menyebabkan kesulitan yang luar biasa. Ethiopia memiliki populasi keledai terbesar di dunia dan sekitar 70 persen penduduk di sana bergantung pada keledai --  dalam hal transportasi primitif untuk barang dan air.

Walaupun Ethiopia menjadi negara yang paling terkena dampak dari hilangnya keledai-keledai ini, pola serupa terus belanjut di seluruh benua. Tidak terhitung jumlah keledai yang dicuri ataupun dibunuh.

Sementara itu, jutaan keledai dibeli secara legal dan dikirim untuk disembelih.

Hal ini menyebabkan jumlah keledai menjadi langka dan harganya  naik. 

Di Burkina Faso, Afrikat barat, harga seekor keledai naik dari £60 menjadi £108 atau sekitar Rp1,1 juta menjadi Rp2,1 antara tahun 2014 dan 2016.

"Ada krisis global yang mempengaruhi keledai. Keledai belum pernah menghadapi ancaman sebesar ini, karena populasi keledai di beberapa negara menurun drastis karena tingginya permintaan akan kulit mereka," mengutip dari theethicalist.com, Sabtu (17/2/2024).

Pada tahun 2016, penyelidik dari The Donkey Sanctuary mulai menyelidiki hal aneh ini.

Apa yang lembaga non-profit ini temukan sungguh mengejutkan. Tanpa disadari, pengurangan populasi keledai secara besar-besaran sedang terjadi.

Hal ini disebabkan karena adanya permintaan "senyawa" yang ditemukan pada kulit keledai dan digunakan dalam pengobatan tradisional Tiongkok yang disebut ejiao.


Zat Ditemukan di Kulit Keledai

Ilustrasi kapsul obat. (Sumber Max Pixel via Creative Commons)

Penemuan zat pada kulit keledai yang digunakan pada pengobatan tradisional Tiongkok disebut ejiao. Zat ini seperti lem atau agar-agar yang bisa diperoleh dengan merebus kulit keledai dan digunakan untuk mengobatin pendarahan, pusing, susah tidur, dan batuk kering meskipun tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan khasiatnya.

Penelitian Selanjutnya yang dilakukan bersama dengan University of Reading di Inggris menunjukkan bahwa sekitar 4,8 juta kulit dibutuhkan untuk membuat 5.600 ton ejiao yang diproduksi pada tahun 2016. 

Industri obat-obatan yang berbasis di Tiongkok ini memperoleh sekitar 1,8 juta kulit keledai dari dalam negeri, sementara 3 juta sisanya berasal dari perdagangan kulit keledai global yang sebagian besar tidka dilaporkan.

Jumlah tersebut bahkan diduga bisa lebih besar, karena juru bicara salah satu produsen ejiao terbesar di Tiongkok, Dong-E-E-Jiao mengonfirmasi bahwa Tiongkok mengimpor 3,5 juta kulit keledai pada tahun 2016.

Ketika para penyelidik "menggali" lebih dalam, mereka menemukan jaringan pedagang keledai internasional yang lebih luas, beberapa di antaranya legal atau sah, dan yang lainnya ilegal terkait dengan kejahatan teroganisir.


Peternakan Keledai Hingga Pasar Gelap

Buruh naik gerobak keledai saat berjalan di tengah cuaca berkabut di Lahore (21/12/2022). Kabut tebal kembali menyelimuti berbagai kota di Punjab, termasuk Lahore pada malam hari antara Selasa dan Rabu, melumpuhkan kehidupan sehari-hari dan mengganggu lalu lintas jalan raya dan udara.(AFP/Arif Ali)

Keledai asli dari Tiongkok dikabarkan telah berkurang dengan cepat sekitar 11 juta pada tahun 1990 menjadi enam juta pada tahun 2014. Fenomena ini terus berlanjut, upaya untuk beternak keledai di sana telah dilakukan namun gagal. Mereka membutuhkan waktu dua tahun untuk mencapai kesuburan dan hanya memiliki satu anak keledai dalam setahun.

Para pedagang keledai terpaksa mencari tempat lain untuk mendapatkan hewan tersebut. Hal ini memberikan tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap jumlah keledai secara global dan berkontribusi terhadap menurunnya populasi keledai skala nasional.

Di Afrika, kenaikan harga keledai justru menciptakan pasar gelap untuk penjualan hewan curian. Keledai-keledai curian tersebut dikirim dan melintasi perbatasan, seringkali dalam jarak ribuan km dan dalam kondisi yang memprihatinkan. Hal ini mengakibatkan banyak keledai yang meninggal dalam perjalanan menuju tempat pemotongan. 


Nasib Para Keledai

Seekor keledai liar Somalia yang langka telah lahir di sebuah kebun binatang di Chile, spesimen keempat dari spesies yang terancam punah yang lahir di negara Amerika Selatan tersebut, demikian ungkap pemilik kebun binatang tersebut. (MARTIN BERNETTI / AFP)

The Donkey Sanctuary menerbitkan sebuah buku berjudul Under The Skin, buku ini berisikan laporan pertama mereka mengenai bencana kematian keledai pada tahun 2017. Mereka menggambarkan bagaimana penduduk desa di salah satu pedesaan di Tanzania menemukan 24 keledai mereka dicuri, dibunuh, dan ditemukan tanpa kulit dalam semalam.

"Hampir tidak dapat dijelaskan mengapa hal ini tidak terdeteksi begitu lama. Hal ini menjadi perhatian kami ketika keledai ditemukan dikuliti di pinggiran komunitas di Etiopia. Ketika kami mulai menyelidiki, kami menyadari skala dari apa yang sedang terjadi,” ujar Simon Pope, ketua The Donkey Sanctuary. 

Sejak tahun 2010, perusahaan produksi ejiao terbesar di Tiongkok, Shandong Dong-e, telah menginvestasikan lebih dari £2.700.000 atau Rp53 miliar di rumah potong hewan keledai di dekat Addis Ababa yang cukup besar untuk memproses 200 keledai sehari namun ditutup oleh otoritas setempat setelah laporan tersebut.

Pihak berwenang setempat mengatakan bahwa pembunuhan keledai bertentangan dengan ‘norma dan budaya masyarakat’.

 


Pesanan Terhadap Ejiao

Keledai Liar Somalia (Equus Africanus Somaliensis) (Pixabay/Stevebidmead)

Namun alih-alih menghentikan skandal kulit keledai, permintaan akan ejiao justru meningkat seiring dengan semakin banyaknya keledai yang dibunuh.

Dalam laporan lanjutannya pada tahun 2019, Mike Baker, CEO The Donkey Sanctuary, menulis: ‘Ada krisis global yang berdampak pada keledai. Keledai belum pernah menghadapi ancaman sebesar ini, karena populasi lokal mereka di beberapa negara menurun drastis karena tingginya permintaan akan kulit mereka.’

Di seluruh dunia, dan sering kali dengan bantuan investor Tiongkok, mereka berupaya memanfaatkan permintaan ejiao. Di Australia Utara misalnya, sejumlah besar keledai liar dianggap sebagai hama.

Para peternak mengumpulkan keledai di peternakan yang luas dan menjualnya seharga $800 sekitar Rp12 juta per ekor. Sementara itu, di negara bagian selatan AS, keledai liar dikumpulkan dan dikirim ke perbatasan Meksiko untuk disembelih di rumah potong hewan tanpa izin dan kemudian dikirim ke Tiongkok.

Secara tradisional, ejiao dibuat dari kulit keledai hitam yang 'bergizi baik' dengan menggunakan air dari sungai tertentu di Dong'e, Tiongkok. Namun asal dari mana zat ini tampaknya tidak menjadi pertimbangan bagi sebagian besar produsen ejiao.

 

Infografis Imbauan Penyembelihan Hewan Kurban Saat Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya