Liputan6.com, Jakarta - Indonesia memiliki kekayaan dengan ragamnya bahasa daerah. Indonesia merupakan salah satu negara yang menduduki posisi kedua memiliki bahasa daerah terbanyak di dunia setelah Papua Nugini.
Berdasarkan dari data Badan pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPBP) pada Oktober 2019 kini total bahasa daerah yang sudah dipetakan sejumlah 718 bahasa daerah. Namun, dari 718 bahasa tersebut, 11 bahasa daerah sudah punah.
Advertisement
Bahasa-bahasa daerah yang sudah punah terdapat di Indonesia bagian timur, yaitu 9 bahasa di Maluku dan Maluku Utara (Hoti, Hukumina, Serua, Palumata, Moksela, Kajeli/Kayeli, Ternateno, dan Nila), 2 di Papua (Tandia dan Mawes). 11 bahasa tersebut merupakan bahasa lisan yang tidak terdapat mengenai penutur, bahasa, kearifan lokal, dan budayanya.
Menurut Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayanaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), E. Aminudin Aziz, sebuah bahasa daerah bisa punah karena para penggunanya tidak lagi menggunakan Bahasa daerahnya unttuk percakapan sejhari-hari baik secara lisan maupun tulisan. Penyebab uttama Bahasa daerahnya jarang atau bahkan tidak lagi dipakai karena dianggap tidak lagi komunikatif dan kurang efektif penggunaannya.
“Bisa juga karena faktor migrasi. Orang yang biasa menggunakan Bahasa daerah tertentu saat pindah ke daerah lain dan tidak bertemu dengan orang laon yang menggunakan Bahasa daerah yang sama, maka dia akan beralih menggunakan bajasa lain yaitu Bahasa yang digunakan dj daerah tempat tinggalnya,” terangnya.
Faktor lainnya adalah faktor keluarga, kalau di sebuah keluarga tidak terbiasa menggunakan Bahasa daerah, maka kebiasaan menggunakan Bahasa daerah mereka lama-kelamaan bisa terlupakan dan tidak lagi didakai di dalam keluarga.
“Bisa juga karena perkawinan. Jadi misalnya ada orang dengan penutur Bahasa Jawa menikah dengan penutur Bahasa Batak. Saat mereka punya anak mereka bingung mau mengajarkan Bahasa daerah apa untuk anaknya, lalu mereka lebih menilih Bahasa ketiga yaitu Bahasa Indonesia, mereka jadi melupakan Bahasa daerah mereka,” jelas Aminudin pada Liputan6.com, Jumat, 15 Februari 2024.
Model Pembelajaran Bahasa Daerah
Untuk itu, Kemendikbudristek melalui Merdeka Belajar memberikan perhatian yang besar pada keterancaman bahasa daerah. Punahnya bahasa bukan hanya hilangnya unsur bahasa, tapi juga hilangnya unsur nonbahasa. Bahasa bukan sekadar sekumpulan kata atau seperangkat kaidah tata bahasa, tetapi sebagai khazanah kekayaan budaya, pemikiran, dan pengetahuan.
Kepunahan bahasa berarti hilangnya kekayaan batin para penutur bahasa tersebut.“ "Program kegiatan Revitalisasi Bahasa Daerah yang diluncurkan oleh Kemendikbudristek telah memberikan kebermanfaatan dan praktik baik Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya. Indonesia yang memiliki bahasa daerah terbanyak kedua di dunia kini mempunyai arah kegiatan yang jelas dan solutif,” tutur Aminudin.
Sasaran dari revitalisasi bahasa daerah ini, adalah 1.491 komunitas penutur bahasa daerah, 29.370 guru, 17.955 kepala sekolah, 1.175 pengawas, serta 1,5 juta siswa di 15.236 sekolah. Sementara itu, untuk komunitas penutur, Kemendikbudristek akan melibatkan secara intensif keluarga, para maestro, dan pegiat pelindungan bahasa dan sastra dalam penyusunan model pembelajaran bahasa daerah, pengayaan materi bahasa daerah dalam kurikulum, dan perumusan muatan lokal kebahasaan dan kesastraan.
Kemendikbudristek akan melatih para guru utama serta guru-guru bahasa daerah; mengadopsi prinsip fleksibiltas, inovatif, kreatif, dan menyenangkan yang berpusat kepada siswa; mengadaptasi model pembelajaran sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing; serta membangun kreativitas melalui bengkel bahasa dan sastra.
Advertisement
Kemajuan Teknologi dan Bahasa Daerah
"Nanti siswanya dapat memilih materi sesuai dengan minatnya. Bangga menggunakan bahasa daerah dalam komunikasi. Didorong untuk mempublikasikan hasil karyanya, ditambah liputan media massa dan media sosial, dan didorong untuk mengikuti festival berjenjang di tingkat kelompok/pusat pembelajaran, kabupaten/kota, dan provinsi," jelas Aminudin.
Kemajuan teknologi seperti maraknya pengumaan media sosial juga bisa jadi sarana untuk lebih mempoipulerkan bahasa daerah. "Jadi ada anak-anak atau remaja yang menguasai Bahasa daerah tertentu atau pemenang lomba Bahasa daerah bisa membagikan hal-hal menarik seputar Bahasa daerah di akun media sosial mereka.
“Ada juga juara lomba Bahasa daerah yang bisa mendongeng dalam bahasa daerah. Cara mereka mendongeng juga cukup ekspresif dan itu bisa dibagikan lewat video-video di media sosial,” ujarnya.
Selain itu semakin berkembangnya lagu-lagu berbahasa daerah juga sangat membantu perkembangan Bahasa daerah. Bahkan dengan lagu berbahasa daerah bisa membuat seseorang tertariik untuk mempelajari bahasa daerah tertentu. Ditambah lagi pelantun lagu-lagu berbahasa daerah seperti Denny Caknan dan mendiang Didi Kempot menjadi idola banyak orang dari berbagai kalangan dan usia/ Hal itu bisa membuat minat untuk belajar bahasa daerah semakin bertambah.
"Kalau mereka sudah suka maka mereka mau belajar dengan perasaan senang bukan karena terpaksa, jadi bisa lebh mudah dalam menyerap pelajaran Bahasa daerah dengan cara yang lebih menyenangkan,” tutur Aminudin.
Bahasa Asing dan Bahasa Daerah
Ia menambahkan, banyaknya anak muda yang belajar Bahasa Korea tidak akan terllalu mempengaruhi Bahasa daerah. Dengan balajar Bahasa asing maka bisa memperluas wawasan dan khazanah Bahasa.
"Jadi anak muda sekarang ini bisa mempelajari berbagai macam Bahasa karena biasanya sudah dibiasakan sejak kecil. Belajar Bahasa asing itu bagus karena banyak manfaatnya, yang penting jangan sampai melupakan Bahasa daerah,” pungkasnya.
Di sisi lain, Indonesia juga harus tetap waspada karena ancaman kepunahan bahasa daerah sudah di depan mata. Menurut Kepala Bidang Pengembangan Strategi Kebahasaan Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan (PPSDK) Joni Endardi, ada beberapa hal yang menyebabkan bahasa daerah punah.
"Salah satunya karena adanya perkawinan campur, itu juga bisa menyebabkan sebuah Bahasa daerah punah. Kemudian ibu dan bapaknya tidak mengajarkan lagi bahasa daerah. Kemudian penutur-penutur, terutama di Indonesia bagian timur dan tengah sudah mulai tua dan anak mudanya enggan menggunakan bahasa daerah," ujar Joni pada Liputan6.com.
Advertisement
Kesadaran Pemertahanan Bahasa Daerah
Hal itu membuat PPSDK mengembangkan Laboratorium Kebinekaan dan Sastra untuk mendokumentasikan seluruh bahasa daerah yang ada di Indonesia, terutama di tengah tergerusnya kecintaan terhadap bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
"Ada sebanyak 652 bahasa daerah di Indonesia, yang menurut UNESCO, 15 hari sekali akan punah. Maka laboratorium kebinekaan ini untuk media pembelajaran dan pengajaran dengan menggunakan teknologi terkini," ungkapnya
Joni menyebutkan Laboratorium Kebinekaan Bahasa dan Sastra ini digagas sejak 2015. Ia mengaku prihatin karena kesadaran pemertahanan bahasa daerah dan nasional di Indonesia sangat kurang.
"Salah satunya kasus Sipadan-Ligitan. Kenapa pulau itu bisa lepas? Karena setelah kita cari informasi ke Mahkamah Internasional, bahwa di sana ternyata masyarakatnya menggunakan bahasa Melayu Malaysia. Karena itulah kita kalah," ucapnya. Selain itu, bahasa daerah juga merupakan identitas diri. Karena itu, Joni mengimbau agar masyarakat Indonesia terus melestarikan bahasa daerah.
"Identitas diri kita itu kan mosaik dari 652 bahasa daerah yang terdiri atas sekitar 13.000 suku bangsa di Indonesia, dan itu adalah taman sarinya budaya Indonesia," tutupnya.