Liputan6.com, Jakarta 'Jika perkara diserahkan pada bukan ahlinya, tunggulah kiamat’. Atau ada pula kalimat lain, 'Munculnya pemimpin tak berkompeten tanda kiamat sudah dekat', dan kalimat-kalimat lain yang kurang lebih bermakna identik.
Pada intinya, salah satu tanda kiamat adalah munculnya orang yang berkemampuan menjadi pemimpin.
Penggalan kalimat itu mendadak ramai beberapa waktu terakhir, seturut berlangsungnya Pemilu 2024, termasuk di dalamnya, Pilpres 2024.
Baca Juga
Advertisement
Penggalan kalimat di atas diambil dari hadis yang cukup populer tentang tanda kiamat. Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari.
فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
Artinya: “Apabila amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kiamat”. Orang itu (Arab Badui) bertanya, “Bagaimana hilangnya amanat itu?” Nabi saw menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat.” (HR. Al-Bukhari).
"Urusan atau perkara ini terkait dengan kepemimpinan. Bentuk penyalahgunaan amanah dalam hadis tersebut yaitu apabila suatu perkara atau jabatan diserahkan kepada yang bukan ahlinya," tulis Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, dalam ulasannya di NU Online, dikutip Sabtu (17/2/2024).
Simak Video Pilihan Ini:
Peran Penting Diserahkan kepada yang Tak Kompeten
Amien Nurhakim menjelaskan, secara gamblang, makna hadis di atas mempertegas ketika peran-peran penting di tengah masyarakat diberikan pada sosok yang tidak memiliki kompetensi dan keahlian dalam memimpin, mengelola dan mengurus maka kehancuran pun akan datang.
"Tentunya, abai terhadap suatu amanah bukanlah hal baru dalam sejarah perjalanan manusia. Amanah yang pertama kali diemban manusia saat pertama diciptakan ialah menjadi khalifah di muka bumi," jelas Amien.
Al-Quran terang-terangan menyebut manusia sebagai orang yang zalim dan juga bodoh sebab menerima amanah, padahal nyatanya mereka sering abai. Allah berfirman dalam surat Al-Ahzab Ayat 72:
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh,” (QS Al-Ahzab : 72).
Apabila kita merujuk kepada penjelasan hadits tersebut, kompetensi yang dimaksud adalah kompetensi dalam bidang keagamaan. Keteguhan dalam memegang paham agama dan ketekunan dalam menjalaninya menjadikan seseorang amanah dan tidak menyelewengkan sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya. Ibn al-Batthal menyebutkan:
أن الأئمة قد ائتمنهم الله على عباده وفرض عليهم النصح لهم، فينبغي لهم تولية أهل الدين، فإذا قلدوا غير أهل الدين، فقد ضيّعوا الأمانة التي قلدهم الله تعالى إياها.
Artinya, “Bahwa para pemimpin telah diberi kepercayaan oleh Allah dan wajib untuk menasihati hamba-hamba-Nya, maka hendaknya mereka menyerahkan kepemimpinan pada ahli agama. Jika mencontoh selain ahli agama, maka mereka telah menyia-nyiakan amanah yang telah dianugerahkan Allah." (Muhammad al-Khadir, Kautsar al-Ma’ani al-Darari, [Beirut: Muassasah al-Risalah, 1995], jilid III, hal. 12).
Advertisement
Kerusakan di Muka Bumi
Syekh Mutawalli al-Sya’rawi dalam tafsirnya al-Khawatir ketika menjelaskan ayat 27 surat Al-Baqarah terkait lafaz yufsiduna fil ardh (membuat kerusakan di muka bumi), beliau mengatakan bahwa awal mula kerusakan adalah ketika suatu perkara diserahkan pada orang yang tidak kompeten, sebagaimana disebutkan oleh hadits Nabi saw di atas.
Menurutnya, alamat kiamat yang demikian disebabkan karena masyarakat dibangun dengan asas hipokrit dan ketidakseimbangan, bukan keikhlasan dan kompetensi. Orang-orang munafik yang bodoh itulah yang naik ke panggung kekuasaan, sedang orang-orang kompeten tidak menjadi apa-apa di tengah masyarakat.
Lebih lanjut lagi, Syekh Mutawalli al-Sya’rawi menjelaskan, ketika orang-orang kompeten itu mengerjakan sesuatu tanpa basic keilmuan yang seharusnya, maka terjadilah kehancuran yang dimaksud. Kehancuran tersebut adalah hilangnya kebenaran dan nilai-nilai, sehingga masyarakat seolah-olah hidup di hutan rimba. Beliau berkata:
. كل إنسان يريد أن يحقق هواه بصرف النظر عن حقوق الآخرين. ويحس من يعمل ولا يصل إلى حقه أنه لا فائدة من العمل، فيتحول المجتمع كله إلى مجموعة من غير المنتجين.
Artinya: “Setiap manusia ingin mencapai keinginannya tanpa menghiraukan hak orang lain. Orang yang bekerja dan tidak menemukan haknya, akhirnya merasa tidak ada gunanya bekerja, sehingga seluruh masyarakat berubah menjadi sekelompok manusia yang tidak produktif.” (Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, al-Khawathir, [Mesir: Muthabi’ Akhbar al-Yaum], jilid I, hal. 220).
Kemudian, apabila kita melihat dari hukum fikih, ada larangan untuk menyerahkan suatu amanah kepada seseorang yang tidak kompeten. Apalagi sekelas memimpin negara, maka dibutuhkan keahlian dalam siasat, mengambil keputusan penting, mengelola militer, mengatur hukum dan mengolah intelektualitas politik. (Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, [Kuwait: al-Wizarah. T.t.], jilid 45, hal. 142-144).
Pendapat tersebut didasarkan pada hadits di atas, juga hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Artinya: “Dari Abu Dzar dia berkata, ‘Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah Anda menjadikanku sebagai pejabat?’ Abu Dzar berkata, ‘Kemudian beliau menepuk bahuku dengan tangan beliau seraya bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar’.” (HR. Muslim).
Kisah Imam Syafi’i dan Ibnu ‘Abdil Hakam
Ada suatu kisah menarik antara Imam Syafi’i dan Ibnu ‘Abdil Hakam soal penyerahan perkara bukan pada ahlinya. Semasa hidupnya, banyak orang-orang yang memberikan hadiah kepada Imam Syafi’i, namun jarang beliau menerimanya, bahkan tak sungkan beliau sedekahkan hadiah yang diterimanya pada orang yang membutuhkan.
Ada salah seorang muridnya yang bernama Ibnu ‘Abdil Hakam, konon, ia merupakan pemilik pertanian pohon kurma dan banyak menolong Imam Syafi’i.
Suatu hari, Imam Syafi’i pun ingin mengunjungi rumahnya. Mendengar kabar tersebut, sontak Ibnu ‘Abdil Hakam senang dan meminta juru masak untuk menghidangkan beragam makanan. Saking senangnya, ia bahkan melepaskan seorang budak karena kedatangan Imam Syafi’i.
Di kala Imam Syafi’i berumur 54 tahun dan merasa ajalnya sudah dekat, orang-orang bertanya siapa kiranya yang akan menggantikan beliau di majelisnya dan memegang tanggung jawab untuk mengajar. Orang sekaliber Imam Syafi’i tentu majelisnya dihadiri oleh banyak orang, sehingga tidak sembarang orang bisa menggantikannya.
Ibnu ‘Abdil Hakam pun inisiatif untuk meminta posisi sebagai pengganti Imam Syafi’i di majelisnya. Namun, Imam Syafi’i tahu bahwa ada yang lebih kompeten dibandingkan Ibnu ‘Abdil Hakam, “Sepeninggalku, pemilik majelis ini adalah Isma’il bin Yahya al-Muzani, pamannya al-Thahawi.” Tegas Imam Syafi’i.
Kendati banyak jasa dan kebaikan yang diberikan Ibnu ‘Abdil Hakam kepada Imam Syaafi’i, soal tanggung jawab pengajaran dalam majelisnya ia berikan kepada orang yang lebih kompeten, yaitu al-Muzani
Kisah ini terdapat dalam Faydhul Bari syarh Shahih al-Bukhari karya al-Kashmiri Ketika menjelaskan hadits tanda kiamat adalah menyerahkan perkara pada orang yang tidak kompeten. Wallahu a’lam. (Sumber: NU Online)
Advertisement