Mahkamah Internasional Tolak Permintaan Afrika Selatan untuk Intervensi Serangan Israel ke Rafah

Israel telah mengidentifikasi Rafah sebagai benteng terakhir Hamas yang tersisa di Jalur Gaza dan berjanji melanjutkan serangan ke sana.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 18 Feb 2024, 08:01 WIB
Lebih dari 1,5 juta pengungsi Palestina memadati pengungsian sementara di Kota Rafah. (MOHAMMED ABED/AFP)

Liputan6.com, Den Haag - Mahkamah Internasional (ICJ) pada Jumat (16/2/2024) menolak permintaan Afrika Selatan untuk menerapkan langkah-langkah mendesak demi melindungi Rafah di Jalur Gaza dari serangan Israel. Meski demikian, ICJ menekankan bahwa Israel harus menghormati perintah yang diberlakukan 26 Januari 2024.

ICJ mengatakan situasi berbahaya di Rafah menuntut penerapan tindakan sementara yang segera dan efektif seperti yang diperintahkan pada 26 Januari. Menurut ICJ, tidak diperlukan perintah baru karena keputusan yang ada dapat diterapkan di seluruh Jalur Gaza, termasuk di Rafah.

Lebih lanjut, ICJ menambahkan Israel tetap terikat untuk sepenuhnya mematuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi Genosida dan keputusan 26 Januari yang memerintahkan negara itu melakukan semua yang bisa dilakukannya untuk mencegah kematian, kehancuran, dan segala tindakan genosida di Jalur Gaza. Demikian seperti dilansir AP, Minggu (18/2).

Mengutip Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, ICJ mencatat perkembangan terkini di Jalur Gaza, khususnya di Rafah, akan secara eksponensial meningkatkan apa yang sudah menjadi mimpi buruk kemanusiaan dengan konsekuensi regional yang tak terhitung banyaknya.

Israel telah mengidentifikasi Rafah sebagai benteng terakhir Hamas yang tersisa di Jalur Gaza dan berjanji melanjutkan serangan ke sana. Diperkirakan 1,4 juta warga Palestina, lebih dari separuh populasi Gaza, memadati kota tersebut. Sebagian besar dari mereka adalah pengungsi yang melarikan diri dari pertempuran di tempat lain di Jalur Gaza.

Klaim Israel menyebutkan pihaknya akan mengevakuasi warga sipil sebelum menyerang, sebuah ironi mengingat para pejabat bantuan internasional mengatakan tidak ada tempat lain yang aman dan bisa dituju warga Jalur Gaza karena kehancuran masif yang diderita wilayah kantong itu.


Israel Desak ICJ Tolak Permintaan Afrika Selatan

Militer Israel tengah bersiap untuk mengalihkan fokus serangan dari Gaza ke Rafah. (Mohammed ABED/AFP)

Afrika Selatan pada Selasa mengumumkan bahwa mereka telah mengajukan permintaan mendesak kepada ICJ untuk mempertimbangkan apakah operasi militer Israel yang menargetkan Kota Rafah di Gaza Selatan melanggar perintah sementara yang dijatuhkan pengadilan bulan lalu dalam kasus dugaan genosida.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Afrika Selatan Clayson Monyela mengatakan via X alias Twitter, "Pengadilan telah menegaskan pandangan kami bahwa situasi berbahaya memerlukan implementasi segera dan efektif dari tindakan sementara yang ditunjukkan pengadilan dalam perintahnya pada 26 Januari 2024 yang berlaku di seluruh #GazaStrip & telah mengklarifikasi bahwa ini termasuk #Rafah."

Pernyataan ICJ dikeluarkan pada Hari Sabat Yahudi, ketika kantor-kantor pemerintah tutup. Untuk itu, belum ada komentar langsung dari Kementerian Luar Negeri Israel.

Pada Kamis, (15/2), Israel mendesak ICJ menolak apa yang mereka sebut sebagai permintaan Afrika Selatan yang sangat aneh dan tidak pantas.

Israel dengan tegas membantah melakukan genosida di Jalur Gaza dan mengatakan pihaknya melakukan semua yang mereka bisa untuk menyelamatkan warga sipil serta hanya menargetkan militan Hamas. Mereka mengklaim bahwa taktik Hamas yang menyerang dari wilayah sipil membuat sulit untuk menghindari jatuhnya korban sipil.


Operasi Militer Israel dan Apartheid

Warga Palestina yang mengungsi akibat pemboman Israel di Jalur Gaza berkumpul di sebuah kamp tenda di Rafah, Jalur Gaza selatan, Senin (4/12/2023). Ratusan ribu warga Palestina telah meninggalkan rumah mereka ketika Israel melancarkan serangan darat terhadap kelompok militan Hamas yang berkuasa. (AP Photo/Fatima Shbair)

Kampanye hukum di Afrika Selatan berakar pada isu-isu penting yang menjadi identitas mereka.

Partai yang berkuasa, Kongres Nasional Afrika, telah lama membandingkan kebijakan Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat dengan sejarah mereka sendiri di bawah rezim apartheid yang didominasi minoritas kulit putih. Apartheid berakhir pada tahun 1994.

INFOGRAFIS_Jalur Gaza terbagi atas lima kegubernuran (Dok. Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya