Liputan6.com, Jakarta Perlambatan ekonomi dan resesi Jepang dinilai tidak memberikan dampak negatif terhadap pasar modal di Indonesia karena indeks Nikkei 225 sedang berada dalam posisi yang tinggi. Hal tersebut diungkapkan Pengamat pasar modal Teguh Hidayat.
“Pasar modalnya di sana Nikkei itu justru sekarang lagi dalam posisi salah satu yang tertinggi sepanjang sejarah. Jadi, harusnya tidak ada dampak negatif terhadap pasar modal kita,” ujar Teguh Hidayat dikutip dari Antara, Minggu (18/2/2024).
Advertisement
Menurutnya, melihat indeks pasar saham tersebut yang kini melebihi angka 38.000 dan hampir mencetak rekor tertinggi sepanjang masa, tidak sedang terjadi resesi di Jepang.
Namun, ia mengakui bahwa ada perlambatan ekonomi di Negeri Sakura itu, dilihat dari pertumbuhan ekonominya yang minus 3,3 persen yoy pada triwulan III serta minus 0,4 pada triwulan IV tahun lalu.
Selain itu, Teguh menuturkan bahwa pertumbuhan PDB Jepang juga turun dari 1,7 persen di 2022 menjadi 1 persen di 2023.
“Tapi, angka pertumbuhan segitu untuk sebuah negara maju terhitung masih cukup tinggi,” ucapnya.
Indeks Nikkei 225 ditutup naik sebesar 329,30 poin, atau sekitar 0,86 persen, menjadi 38.487,24 pada Jumat lalu.
Indeks tersebut menguat ke tingkat tertinggi dalam 34 tahun terakhir berkat sentimen positif terhadap Wall Street karena adanya optimisme pemangkasan suku bunga The Fed dalam waktu dekat.
Inggris dan Jepang Resesi, Indonesia Siapkan Antisipasi
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyoroti terkait perekonomian Inggris dan Jepang yang masuk ke jurang resesi teknis pada kuartal terakhir 2023. Produk domestik bruto Jepang mengalami kontraksi 0,4 persen, dan produk domestik bruto negara Inggris menyusut 0,3 persen.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso, mengatakan pelambatan ekonomi yang terjadi di negara-negara maju, seperti Jepang dan Inggris utamanya diakibatkan oleh masih tingginya tingkat inflasi dan melemahnya permintaan domestik, sehingga berakibat pada terkontraksinya pertumbuhan di negara tersebut.
"Pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi secara dua kuartal berturut-turut memberikan sinyal bahwa Jepang dan Inggris masuk ke dalam resesi secara teknikal. Namun demikian, masih terlalu dini menilai bahwa kedua negara akan memasuki resesi ekonomi yang sebenarnya," kata Susiwijono kepada Liputan6.com, Sabtu (17/2/2024).
Ia pun mencontohkan, menurut National Bureau of Economic Research (NBER), resesi secara luas dapat diartikan sebagai penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh ekonomi, berlangsung lebih dari beberapa bulan, biasanya terlihat dalam PDB riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir-eceran.
Advertisement
Dampak ke Indonesia
Kendati begitu, dampak dari pelambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara ini juga perlu diberikan perhatian khusus, utamanya Jepang.
Sebab Indonesia saat ini memiliki hubungan kerja sama yang baik dengan Jepang, seperti investasi dan ekspor-impor. Saat ini Jepang merupakan salah satu tujuan utama ekspor kita dengan komoditas utama ekspor batubara, komponen elektronik, nikel dan otomotif.
"Pemerintah akan terus menghitung bagaimana transmisi pelambatan ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia,' ujarnya.
Saat ini perekonomian Indonesia masih cukup solid dan resilien didukung data ekonomi makro yang terus membaik. Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh permintaan domestik yang masih tumbuh dan dijaga dengan inflasi yang terkendali.