Hukum Mengeraskan Suara Bagi Imam Perempuan dalam Sholat Berjamaah

Dalam kondisi tertentu tak jarang bagi perempuan menjadi imam sholat bagi makmum perempuan juga. Lantas, bolehkan perempuan mengeraskan suara ketika sholat berjamaah? Berikut penjelasannya.

oleh Putry Damayanty diperbarui 19 Feb 2024, 18:30 WIB
Anak-anak perempuan mengisi teras musholla di Palembang untuk mengikuti salat Idul Fitri 1441 Hijriah berjamaah (Liputan6.com / Nefri Inge)

Liputan6.com, Jakarta - Sholat merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Sholat dapat dilaksanakan secara sendiri maupun berjamaah.

Ketika melaksanakan sholat berjamah, tak selamanya seorang Imam memimpin sholat dengan suara keras, tetapi ada pula waktu-waktu yang menggunakan suara pelan.

Terdapat istilah sholat jahriyah dan sholat sirriyah dalam Islam. Sholat jahriyah disunnahkan dengan suara keras; dan sholat sirriyah, yaitu disunahkan dengan suara pelan.

Pada konteks sholat fardhu, sholat zuhur dan ashar termasuk sholat sirriyah; sedangkan sholat maghrib, isya, dan subuh adalah sholat jahriyah.

Dalam sholat jahriyah bagi imam disunnahkan mengeraskan suara pada gerakan sholat tertentu. Namun demikian, hukum ini berlaku bagi imam laki-laki. 

Lalu bagaimana hukum mengeraskan suara ketika yang menjadi imam perempuan bagi para makmum yang perempuan juga?

 

Saksikan Video Pilihan ini:


Hukum Mengeraskan Suara bagi Imam Perempuan

Mengutip dari laman NU Online, dalam kasus seperti ini hukumnya dapat diperinci sebagai berikut: 

  1. Bila imam perempuan itu shalat di hadapan laki-laki non mahram, maksudnya di dekat tempat sholatnya ada lelaki nonmahram, maka ia tidak sunnah mengeraskan suaranya; dan 
  2. Bila imam perempuan itu tidak sholat di hadapan laki-laki non mahram, maksudnya di dekat tempat sholatnya tidak ada lelaki nonmahram, seperti adanya lelaki mahram atau sesama wanita, maka sunnah mengeraskan suara.   

Menjelaskan perincian hukum seperti ini, Imam An-Nawawi dalam Kitab Al-Majmu' mengatakan:

وأما المرأة فقال أكثر أصحابنا إن كانت تصلى خالية أو بحضرة نساء أو رجال محارم جهرت بالقراءة سواء صلت بنسوة أو منفردة وإن صلت بحضرة اجنبي أسرت وممن صرح بهذا التفصيل المصنف والشيخ أبو حامد والبندنيجي وأبو الطيب في تعليقهما والمحاملى في المجموع والتجريد وآخرون وهو المذهب  

Artinya: “Adapun perempuan, maka mayoritas ulama mazhab Syafi'i berpendapat, bila perempuan sholat di tempat sepi, di hadapan perempuan; atau di hadapan lelaki mahram, maka ia sunnah mengeraskan suara bacaan Al-Qur'an (dan semisalnya), baik ia sholat dengan mengimami jamaah perempuan atau sholat sendiri. Namun bila perempuan itu sholat di hadapan lelaki nonmahram, maka ia sunnah melirihkan bacaannya. Di antara ulama yang secara terang-terangan memerinci hukum seperti ini adalah penulis Kitab Al-Muhadzdzab yaitu Abu Ishaq As-Syirazi, Syekh Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Bandaniji dan Abut Thayyib dalam Kitab Ta'liq mereka berdua, Imam Al-Mahamili dalam Kitab Al-Majmu' dan Kitab At-Tajrid, dan ulama lainnya. Inilah pendapat Al-Mazhab” (An-Nawawi, Al-Majmu' Syarhul Muhaddzab, juz III, halaman 390). 


Kesimpulan

Dari uraian Imam An-Nawawi ini menjadi sangat jelas, hukum mengeraskan suara dalam sholat jahriyah bagi imam perempuan adalah diperinci. Sunnah mengeraskan suara dalam sholat jahriyah bila di dekat tempat sholatnya tidak ada lelaki nonmahram, dan tidak sunnah mengeraskan suara bila ada lelaki nonmahram. 

Yang perlu dicatat, maksud hukum tidak sunnah mengeraskan suara dalam shalat jahriyah bagi wanita yang sholat di dekat lelaki nonmahram adalah hukum makruh. Dalam hal ini Imam Ar-Ramli menjelaskan:

وأفتى به الوالد رحمه الله تعالى فقد صرحوا بكراهة جهرها بها في الصلاة بحضرة أجنبي وعللوه بخوف الافتتان  

Artinya: “Al-Walid Syihabuddin Ar-Ramli telah memfatwakan tidak haramnya perempuan mengeraskan suara bacaan Al-Qur'an di dalam dan di luar sholat. Karena ulama telah terang-terangan menghukumi makruh suara keras bacaan Al-Qur'an perempuan di dalam sholat di hadapan lelaki nonmahram. Mereka bergumen dengan kekhawatiran adanya fitnah lelaki nonmahram itu tergoda suaranya.” (Syamsuddin Muhammad bin Abil Abbas Ahmad Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: 1404 H/1984 M], juz I, halaman 408). 

Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum mengeraskan suara dalam sholat maghrib, isya, dan subuh bagi perempuan yang menjadi imam jamaah perempuan adalah diperinci. Sunnah bila di dekat tempat shalat tidak ada lelaki nonmahram, dan makruh bila ada. Adapun kemakruhan ini karena khawatir lelaki nonmahram itu akan tergoda dengan suaranya. Wallahu a'lam. 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya