Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terus melaporkan perkembangan kasus kematian petugas Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Hingga Minggu (18/2/2024) pukul 23.58 WIB, total petugas Pemilu 2024 meninggal mencapai 84 orang.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, jumlah kasus kematian tersebut meliputi 71 orang petugas dari unsur Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan 13 petugas dari unsur Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Advertisement
"Tadi Pak Ketua KPU angkanya 71 untuk yang tanggal 14-18 (Februari 2024), dari Bawaslu ada tambahan 13 orang itu tanggalnya sama. Jadi totalnya ada 84 pak yang meninggal sampai sekarang," kata Budi saat jumpa pers di Kantor Kemenkes, Jakarta Pusat, Senin (19/2/2024).
Menkes menuturkan, jumlah tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kasus kematian petugas pada Pemilu 2019 lalu. "Itu 16 persen dari pemilu yang sebelumnya yang angkanya di atas 500," kata Budi.
Meski demikian, Kemenkes RI terus berupaya menekan angka kematian petugas pemilu. Baginya, satu nyawa hilang sudah terlalu berharga.
"Jadi kami berpikir bagaimana caranya untuk terus perbaiki, sudah turun 80 persenan lebih, bisa enggak kita turun lebih banyak lagi. Kalau bisa enggak ada yang meninggal. Satu nyawa itu udah terlalu berharga," ujarnya.
Mewakili pemerintah, Budi menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya para petugas Pemilu 2024. Dia mendoakan mereka yang meninggal diterima amal ibadahnya.
"Kami atas nama pemerintah mengucapkan turut berduka cita atas wafatnya petugas pemilu dan kami doakan semoga para almarhum ini diampuni dosanya dan diterima amal ibadahnya," ucap Menkes.
Di lokasi yang sama, Ketua KPU Hasyim Asy'ari merinci jumlah petugas ad hoc Pemilu 2024 yang meninggal dunia berdasarkan data per Minggu (18/2/2024) pukul 23.58 WIB.
"Berdasarkan monitoring kami, terhadap status atau situasi teman-teman kami sahabat-sahabat kami para penyelenggara pemilu badan ad hoc terutama pada peak season yang bebannya berat pada tanggal 14 Februari sampai 18 Februari 2024 jam 23.58 WIB, dalam catatan kami yang meninggal ada 71 orang," kata Hasyim.
Hasyim merinci, petugas yang meninggal dunia meliputi 1 anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), 4 orang anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa/kelurahan, dan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebanyak 42 orang.
"Kemudian Linmas (Perlindungan Masyarakat) yang menjaga keamanan kegiatan pemungutan penghitungan suara di TPS yang meninggal ada 24 orang," ucapnya.
Selain itu, Ketua KPU juga menyampaikan perkembangan terkait jumlah petugas Pemilu 2024 yang sakit, yakni sebanyak 4.567 orang. Adapun rinciannya, 136 orang di tingkat kecamatan atau PPK. Berikutnya, di tingkat PPS desa kelurahan ada 696 orang.
"Kemudian anggota KPPS di tingkat TPS ada 3.371 orang. Untuk Linmas yang sakit ada 364 orang," ucap Hasyim Asy'ari.
Sementara Anggota Bawaslu RI Herwyn JH Malonda mengatakan, total ada sebanyak 27 orang pengawas Pemilu 2024 yang meninggal dunia. Data itu tercatat sejak tahapan pemilu yang berlangsung pada 2023 hingga 19 Februari 2024.
Sementara jumlah pengawas Pemilu yang meninggal dunia jika dihitung sejak hari pencoblosan yakni 14 Februari 2024 hingga saat ini berjumlah 13 orang.
"27 (orang meninggal dunia) dengan rincian 7 orang di 2023, 7 orang dari 1 Januari - 13 Februari 2024, dan 13 orang di 14-19 Februari saat ini, dan itu masih berlangsung terus laporannya dinamis masuk ke kami terus terkait dengan hal ini," ujar Herwyn dalam konferensi pers di Kantor Kemenkes.
Selain itu, hingga 19 Februari 2024 ini terdapat 1.322 pengawas Pemilu yang mendapatkan penanganan kesehatan. Adapun rinciannya adalah untuk rawat jalan 1.077 orang, rawat inap 147 orang, dan kecelakan 71 orang.
Herwyn menyampaikan, pihaknya masih terus melakukan pemantauan terhadap seluruh petugas pengawas Pemilu 2024. Sebab, kata dia, tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024 masih berjalan.
"Terutama pemungutan dan perhitungan suara, masih berjalan terkait dengan dua hal, terkait dengan pemungutan dan atau penghitungan suara ulang di TPS yang ada."
"Kemudian terkait Pemilu lanjutan atau susulan akibat dari kondisi tertentu misalnya banjir. Sambil memang kami masih menunggu laporan dari jajaran Panwaslu di luar negeri," ucap Herwyn.
Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pihaknya sejatinya sudah melakukan tes atau screening kesehatan kepada 6,8 juta petugas Pemilu 2024. Meski demkian, masih ada sekitar 400 ribu orang yang memiliki risiko tinggi meninggal dunia, ternyata lolos kesehatan.
"Kita sudah screening. Jadi tugas kita adalah jangan keburu sakit. Kalau bisa bekerjanya sudah sehat duluan, kondisinya masih sehat. Tugas kita ingin jaga sehat. Oleh karena itu sudah dilakukan screening ke 6,8 juta petugas. Dari 6,8 juta itu 6,4 juta sehat," kata Budi.
"Nah yang 400 ribunya ini berisiko tinggi kemarin. Ini yang banyak masih lolos," sambungnya.
Pemicu Petugas Pemilu Meninggal
Menkes Budi mengatakan, dari jumlah risiko tinggi itu paling banyak mengalami hipertensi. Tertinggi kedua adalah penyakit jantung.
"Banyak sekali masyarakat Indonesia hipertensi. Jadi makannya tolong diatur jangan banyak garam, gula, lemak. Rokoknya kalau bisa dikurangi. Kedua jantung itu 26 persen. Itu dua yang paling besar," ujarnya.
Budi beralasan, mereka masih bisa lolos skrining karena sudah terlanjur mendaftar menjadi petugas Pemilu 2024. "Itu makanya dilakukan screening sehingga turun 80 persen lebih yang wafat. Tapi ke depannya kan 2029 kita pengen 0 yang wafat," kata Menkes.
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Ali Ghufron Mukti memaparkan penyakit terbanyak yang diidap petugas penyelenggara Pemilu 2024. Dari skrining yang dilakukan, penyakit yang paling banyak diidap petugas adalah hipertensi, mencapai 63 persen.
"Jadi paling besar itu hipertensi ada 63 persen dari petugas ini. Kemudian yang kedua itu jantung koroner 26 persen, gagal ginjal kronik 8 persen, dan diabetes melitus 3 persen," kata Ali Ghufron dalam konferensi pers di Kemenkes.
Dia juga mengungkapkan, masih ada 278.495 orang dari 7,9 juta petugas Pemilu yang belum terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.
"Tetapi yang menarik adalah kesadaran sangat tinggi dari 7,9 juta itu. Ada 6.825.951 yang melakukan skrining atau 86,4 persen," katanya.
"Dari skrining tadi itu ada 398.155 yang berisiko penyakit, atau 5,83 persen yang diskring itu berisiko penyakit dan kita beritahukan lewat dashboard yang bisa diakses, kita juga beritahukan ke peserta atau masyarakat umum, tapi terbatas," tambahnya.
Upaya skrining terhadap para petugas pemilu kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai antisipasi. Seperti, para petugas kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang bekerja untuk memonitor dan memberikan hal-hal yang diperlukan agar kesehatan mereka lebih baik.
Petugas di layanan FKTP ada 12,7 persen atau 50.596 orang. Sementara jumlah kunjungannya mencapai 69.004.
Pada data Kemenkes yang dirilis Minggu (18/2/2024), jumlah petugas badan ad hoc pemilu yang meninggal dunia mencapai 57 orang. Data tersebut terhitung mulai 10-17 Februari 2024 pukul 18.00 WIB.
Data Kemenkes menunjukkan bahwa kasus kematian tersebut terdiri dari 29 anggota KPPS, 10 anggota Linmas, sembilan saksi, enam petugas, dua petugas PPS, serta satu anggota Bawaslu.
Sedangkan berdasarkan usia, kasus kematian ini terdiri dari empat petugas berusia 17-20 tahun, tujuh petugas berusia 21-30 tahun, delapan petugas berusia 31-40 tahun, 18 petugas berusia 41-50 tahun, 15 petugas berusia 51-60 tahun, dan lima petugas berusia di atas 60 tahun.
Adapun penyebab kematian tertinggi para petugas adalah penyakit jantung (13 kejadian), kemudian kecelakaan (8 kejadian), gangguan pernapasan akut (ARDS) dan hipertensi masing-masing sebanyak lima kejadian.
Selain itu penyakit serebrovaskular sebanyak empat kejadian, kegagalan multiorgan dan syok septik masing-masing sebanyak dua kejadian, serta sesak napas, asma, dan diabetes melitus masing-masing sebanyak satu kejadian. Sementara penyebab kematian 15 orang lagi masih dikonfirmasi.
Angka kematian tertinggi pada petugas Pemilu 2024 ini ditemukan di Jawa Barat (13 kasus), Jawa Timur (12 kasus), Jawa Tengah (11 kasus), dan DKI Jakarta (6 kasus).
Adapun di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Banten, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, masing-masing ada dua petugas meninggal. Sementara di Riau, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, masing-masing ada petugas meninggal.
Sementara itu, sebanyak 8.381 petugas Pemilu 2024 dirawat dengan pasien terbanyak yaitu anggota KPPS sebanyak 4.281 orang, PPS sebanyak 1.040 orang, dan petugas sebanyak 1.034 orang.
Kemudian saksi sebanyak 707 orang, anggota Linmas sebanyak 694 orang, anggota Bawaslu sebanyak 381 orang, dan PPK sebanyak 244 orang.
Berdasarkan rentang usia, pasien berumur 17-20 tahun sebanyak 531 orang, 21-30 tahun sebanyak 2.424, 31-40 tahun sebanyak 1.967 orang, 41-50 tahun 2.049 orang, 51-60 tahun sebanyak 1.161 orang, dan 60 tahun ke atas sebanyak 249 orang.
Para pasien tersebut dirawat karena mengidap berbagai penyakit antara lain penyakit pada kerongkongan, lambung dan usus 12 jari, hipertensi, infeksi saluran pernafasan bagian atas akut, gangguan jaringan lunak, radang paru-paru, infeksi usus, dan penyakit telinga bagian dalam.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan pada Kamis (15/2/2024) sekitar 15 persen dari petugas KPPS Pemilu 2024 berusia di atas 55 tahun.
"Masih ada sekitar 15 persen petugas yang berusia lebih dari 55 tahun dikarenakan memang terbatasnya yang berkenan menjadi petugas. Selain itu, masih ada yang memiliki penyakit komorbid, tetapi tidak terkontrol," kata Nadia.
Antisipasi Agar Tak Terulang pada Pemilu 2029
Fenomena kasus kematian petugas ad hoc pemilu ini turut menyita perhatian pakar global health security Dicky Budiman. Menurutnya, orang memang bisa meninggal karena kelelahan luar biasa ditambah dengan kondisi kesehatan yang tidak bugar.
"Ini akibat pekerjaan yang berat dalam durasi yang lama dan ini terjadi bukan hanya dalam konteks Pemilu. Pekerja berat seperti di China, Korea, itu terkenal banyak mengalami kematian mendadak karena banyak faktor, antara lain karena ritme kerja yang berat dan terus-menerus," ujar Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara, ditulis Sabtu, 17 Februari 2024.
Risiko meninggal juga semakin tinggi jika kondisi tubuh memang sedang tidak fit atau ada komorbid, jarang berolahraga, dan sebagainya.
"Dalam konteks Pemilu, sebetulnya kematian petugas Pemilu akibat kelelahan yang luar biasa bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi di negara lain pun terjadi, misalnya di India."
Dicky menambahkan, peristiwa meninggalnya petugas KPPS adalah bentuk dari dampak buruk begadang bagi kesehatan. Ditambah beban kerja yang tidak hanya berpengaruh pada fisik, tapi juga mental.
Di sisi lain, Dicky melihat bahwa mayoritas korban adalah kelompok berisiko.
"Mayoritas yang menjadi korban ini masuk dalam kategori berisiko, dari sisi usia di atas 40, bahkan mungkin di atas 45 tahun. Kemudian memiliki komorbid baik itu jantung, hipertensi, diabetes dan lain sebagainya. Ini yang menempatkan mereka menjadi semakin riskan," katanya.
Ditambah lagi, dampak dari infeksi COVID-19 di masa pandemi dapat membuat sebagian masyarakat ada dalam kondisi rapuh.
"Nah ini kalau tidak dilakukan skrining memadai ketika pemilihan petugas ini ya kita akhirnya mendapatkan petugas-petugas yang dalam posisi sangat rawan untuk bekerja dalam situasi yang berat seperti pemilu ini."
"Ini bukan main-main ya, baik sebelum, selama, maupun setelah pencoblosan itu kan proses yang tidak ringan untuk satu orang yang kondisinya tidak fit atau tidak bugar," ucap Dicky.
Menurut Dicky, ada sejumlah faktor yang membuat peristiwa petugas KPPS meninggal dunia saat pemilu kembali terjadi. Guna mengantisipasi hal ini terjadi lagi pada pesta demokrasi berikutnya, Dicky Budiman menyarankan 5 hal, yakni:
1. Skrining Kesehatan yang Teliti
Terulangnya peristiwa petugas KPPS meninggal diyakini Dicky karena skrining kesehatan yang dilakukan pemerintah tak cukup teliti.
"Saya kira dan saya yakin dalam pemilihan petugas ini tidak ada skrining kesehatan yang cukup teliti dalam artian dilakukan medical check up, kan tidak. Nah ini yang tentu akhirnya membuat sebagian yang memang sudah dalam kondisi tidak fit akhirnya meninggal," kata Dicky.
Ditambah lagi, ada keterbatasan dalam memilih petugas KPPS. Misalnya, anak-anak muda tidak berminat menjadi petugas KPPS dan sebagainya.
"Ini akhirnya menjadi beragam faktor yang menyebabkan kasus seperti ini akhirnya terulang atau terjadi lagi," ujarnya.
2. Kerja Sama Kemenkes dan KPU Saat Rekrutmen
Saran kedua yang perlu dilakukan pemerintah yakni membangun kerja sama yang baik antarlembaga, terutama Kemenkes dan KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Kerja sama ini dapat dilakukan ketika rekrutmen petugas KPPS agar skrining kesehatan lebih memadai.
"KPU harus melibatkan Kemenkes atau jajaran kesehatannya dalam melakukan perekrutan petugas ini dari sejak awal. Termasuk juga melakukan skrining yang memadai sehingga kita memperoleh petugas-petugas yang masuk dalam kategori fit dan bugar."
3. Pemantauan Kesehatan Berkala
Ketiga, Dicky menyarankan adanya pemantauan kesehatan berkala sebelum dan selama berlangsungnya Pemilu, terutama saat pencoblosan dan penghitungan suara.
"Bicara mitigasi ya tidak hanya bicara pada fase skrining saja, tapi juga sebelum pencoblosan yang saya kira ada rangkaiannya dan terus dilakukan pemantauan kesehatan secara berkala. Terutama pas pencoblosan dan penghitungan itu, yang kita tahu beban besarnya ada di situ kan."
4. Sertakan Periode Istirahat
Keempat, Dicky menyarankan agar Pemilu dapat diatur untuk menyertakan periode istirahat.
"Harus ada periode istirahat, dukungan selain nutrisi yang baik juga disediakan tempat istirahat. Dan situasi, kondisi, lokasi atau lingkungan pencoblosan juga minim risiko kesehatan."
5. TPS di Dalam Gedung
Kelima, agar lokasi pencoblosan minim risiko kesehatan, maka Dicky menyarankan agar tempat pemungutan suara (TPS) berada di dalam gedung.
"Saya sih lebih mendukung pencoblosan tuh jangan di tenda-tenda, apalagi kemarin musim hujan. Ya mungkin hujannya besar, tendanya tidak memadai misalnya. Kan itu juga bisa menjadi risiko lainnya ya. Jadi, lebih baik di gedung atau gedung semi permanen kek."
"Nah ini juga akan membantu selain dari pengaturan waktu istirahat petugas Pemilu ini," ucap Dicky menandaskan.
Kata FKUI
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Ari Fahrial Syam juga turut merespons kasus kematian pada petugas ad hoc Pemilu 2024. Kata dia, FKUI bersama tim kedokteran sebelumnya telah menyampaikan rekomendasi untuk mencegah kasus kematian seperti pada Pemilu 2019 terulang.
"Memang 2019 kita sudah mengikuti kasus KPPS itu. Setelah kejadian itu, FKUI dan tim kedokteran okupasi bertemu dengan pimpinan KPU waktu itu sudah menyampaikan rekomendasi," kata Ari saat ditemui di Aula IMERI FKUI, Jakarta Pusat, Sabtu (17/2/2024).
Adapun rekomendasi yang disampaikan FKUI dan tim kedokteran antara lain, yakni:
- Pembatasan umur petugas KPPS yakni 18 sampai 55 tahun;
- Pemeriksaan skrining yang ketat karena yang meninggal terbukti memiliki latar belakang hipertensi, penyakit jantung, dan diabetes melitus; serta
- Waktu jeda untuk beristirahat.
"Yang kita sampaikan waktu itu adalah, tolong ada waktu jeda untuk mereka istirahat. Ternyata tidak bisa karena undang-undang menyebutkan bahwa mereka harus menyelesaikan penghitungan suara sampai selesai, sampai pagi," katanya.
Di 2024 ini, pihak Ari pun sudah datang ke KPU untuk memberikan rekomendasi-rekomendasi serupa.
"Yang 2024 ini pun kami sudah datang ke KPU memberikan beberapa rekomendasi yang tadi saya sebutkan. Dan pada kenyataanya kan kita tahu akhirnya ada juga kasus yang meninggal."
"Kita belum tahu sebenarnya di tengah masyarakat ini bagaimana, karena kan kadang-kadang mungkin tidak dilaporkan. Tapi justru ini mesti dilaporkan," ucap Ari.
Sejatinya, lanjut Ari, para petugas pemilu ini dalam keadaan sehat. Tapi ketika melakukan penghitungan suara mereka menjadi meninggal. Ini menjadi sebuah masalah.
Ari berharap, petugas KPPS yang jatuh sakit segera dirawat dengan baik agar tak sampai meninggal dunia.
"Ini sudah terjadi. Kita tahu juga ada ratusan orang anggota KPPS yang saat ini sakit. Tolong yang sakit ini benar-benar ditolong jangan sampai meninggal," katanya.
Dalam waktu dekat, masyarakat akan melakukan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak. Ari berharap hal ini dipersiapkan lebih baik.
"Ke depan kita masih ada Pilkada segala macam. Tetap saya harus ingatkan bahwa mereka mesti ada skrining yang ketat terlebih dahulu buat mereka yang akan menjadi anggota KPPS."
"Kemudian, waktu jam kerjanya juga tolong dibatasi karena sekali lagi saya sampaikan, orang itu bekerja 8 jam kerja keras, 8 jam kerja ringan, dan 8 jam istirahat dan tidur. Kalau ini tidak dipenuhi pasti akan terjadi sesuatu," ucap Ari.
Dia melanjutkan, kebutuhan untuk istirahat perlu dipenuhi apalagi pada orang-orang yang tidak terlatih.
"Lain halnya dengan dokter, petugas kesehatan, tentara, polisi, atau teman-teman media. Itu dalam tanda petik mereka sudah bisa mengantisipasi. Cuma umumnya petugas KPPS ini bukan orang-orang yang terlatih dan terbiasa bekerja pada malam sampai dini hari."
"Jadi sekali lagi menurut saya, ya ini sudah terjadi tapi yang ke depan, memang harus ada ketetapan dari DPR untuk melihat apa memang harus selesai (penghitungannya) dalam satu waktu tersebut atau bisa dibuat dua shift. Atau hal-hal lain yang bisa membuat beban kerja KPPS ini tidak sampai melebihi waktu seharusnya dia bekerja," ucap Ari mengakhiri.
Advertisement
Angka Kematian Menurun Dibanding Pemilu 2019
Sementara itu, Anggota KPU Idham Holik mengatakan bahwa angka kematian petugas KPPS pada pemilu 2024 menurun dibandingkan dengan pemilu sebelumnya yang tercatat mencapai 894 petugas meninggal dunia.
"Jumlahnya memang tidak banyak," ujar Idham, Kamis 15 Februari 2024.
Menurut dia, menurunnya angka kasus kematian ini tidak lepas dari upaya pemerintah yang memperketat seleksi petugas KPPS. Sebelum dinyatakan lulus, mereka terlebih dulu melalui serangkaian tes ketat, terutama soal kesehatan dan ketahanan fisik.
KPU sendiri masih terus mendata jumlah petugas yang meninggal dunia saat melaksanakan tugas. Selain itu, KPU juga harus dapat melihat perbedaan waktu meninggalnya anggota KPPS.
"Kalau kita bicara tentang badan adhoc yang wafat khususnya KPPS, itu kita harus bedakan. Yang pertama pada pemungutan, sebelum pemungutan. Terus yang kedua hari H, hari pemungutan suara. Yang ketiga pasca-pemungutan suara," katanya.
Lebih lanjut, KPU sejatinya telah mengusulkan agar penghitungan suara pada Pemilu 2024 dilakukan dengan dua panel, yaitu panel menghitung surat suara Presiden dan Wakil Presiden serta DPD. Kemudian panel lainnya menghitung surat suara DPR dan DPRD.
Hal itu dilakukan untuk mengurangi beban kerja yang terlalu berat bagi KPPS, berkaca pada pelaksanaan Pemilu 2019.
"Kami sudah merancang dua panel perhitungan suara di TPS. Menurut kajian kami yang telah melakukan simulasi di Kota Tangerang, Kota Bogor, Palembang, Kutai Kartanegara, itu ada efisiensi waktu," ucap Idham.
Kendati demikian, Idham mengungkapkan saat rapat konsultasi, pembentuk Undang-Undang masih memandang bahwa penghitungan suara cukup satu panel. Karena itu, penghitungan suara Pemilu 2024 dilakukan sama persis seperti Pemilu 2019.
Pemilu 2024 meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, anggota DPD RI, anggota DPRD provinsi, serta anggota DPRD kabupaten/kota dengan daftar pemilih tetap (DPT) tingkat nasional mencapai 204.807.222 orang.
Mekanisme Penyaluran Santunan
Pemerintah memastikan bahwa seluruh petugas Pemilu 2024 yang meninggal dunia atau mengalami kecelakaan kerja akan mendapatkan santunan dengan besaran yang telah diatur dalam undang-undang.
"Santunan kecelakaan kerja yang meninggal dunia bagi penyelenggara ad hoc pemilu diatur berdasarkan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2022 dan secara teknis diatur dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 59 Tahun 2023," kata Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari melalui pesan singkat yang diterima Liputan6.com, Minggu (18/2/2024).
Hasyim menambahkan, besaran santunan telah diatur berdasarkan Surat Menteri Keuangan S-647/MK.02/2022 melalui Satuan Biaya Masukan Lainnya (SBML) Tahapan Pemilihan Umum dan Tahapan Pemilihan.
"Untuk besaran santunan sebesar Rp36.000.000 dan untuk bantuan biaya pemakaman sebesar Rp10.000.000," ucap Hasyim merinci.
Dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Kemenkes pada Senin (19/2/2024), Ketua KPU kembali menjelaskan terkait mekanisme penyaluran santunan kepada para petugas Pemilu 2024 yang meninggal dunia atau mengalami kecelakaan kerja.
"Untuk menyalurkan santunan perlu verifikasi data dan dokumen pendukung seperti surat keterangan kematian atau surat sehat apakah sedang dirawat atau tidak," kata Hasyim.
Terhitung sampai dengan 17 Februari 2024, santunan yang telah disalurkan yaitu kepada 4 orang dari total 71 petugas yang sudah terdata. Santunan tersebut diserahkan kepada ahli waris petugas yang meninggal dunia.
Hasyim memastikan, perlindungan jaminan kesehatan dan jaminan sosial kepada seluruh petugas badan ad hoc terus dilakukan sampai kegiatan rekapitulasi dan penetapan hasil pemilu berakhir yaitu pada 20 Maret 2024.
Sebab, para petugas KPPS juga masih dihadirkan dalam rekapitulasi di tingkat kecamatan untuk mengawal hasil suara dari tiap TPS.
"Begitu juga rekap di kabupaten kota, anggota PPK juga dihadirkan untuk rekap di kabupaten/kota. Begitu juga di TPS yang melalukan pemungutan suara ulang dan lanjutan. Dalam situasi seperti ini, petugas KPPS masih bekerja, maka masih dalam coverage dan monitoring jaminan sosial tersebut," ucap Ketua KPU.
Anggota Bawaslu RI, JH Malonda juga menjelaskan bahwa para pengawas ad hoc yang mengalami kecelakan kerja akan diberikan santunan. Ada sejumlah kriteria pemberian santunan bagi pengawas Pemilu baik yang meninggal dunia, cacat permanen, luka berat, maupun luka sedang.
Adapun pemberian santunan merujuk pada Surat Keputusan Bawaslu Nomor 11 Tahun 2023 tentang Petunjuk Teknis (Juknis) Pemberian Santunan Kecelakaan Kerja Badan Ad Hoc.
Herwyn menyatakan, pengawas Pemilu yang meninggal dunia akan diberikan santunan senilai total Rp46 juta.
"Yang meninggal dunia kami berikan santunan Rp36 juta rupiah, kemudian santunan pemakaman Rp10 juta, itu sama sekali tidak kita harapkan juga. Kemudian cacat permanen ini Rp16.500.000, luka berat Rp16.500.000, dan luka sedang Rp8.250.000," ucap Herwyn.
Advertisement