Pasar Kripto Sempat Koreksi, Cek Sentimen Sepekan

Trader Tokocrypto, Fyqieh Fachrur menuturkan, di sisi lain arus masuk ke ETF Bitcoin spot mencapai USD 2,2 miliar atau setara Rp 34,3 triliun.

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 20 Feb 2024, 08:44 WIB
Pasar kripto dan Bitcoin mengalami penurunan pada akhir pekan lalu. Penurunan ini dipicu oleh data Producer Price Index (PPI) Amerika Serikat (AS) dan performa lemah pasar ETF BTC. (Foto: Traxer/Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Pasar kripto dan Bitcoin mengalami penurunan pada akhir pekan lalu. Penurunan ini dipicu oleh data Producer Price Index (PPI) Amerika Serikat (AS) dan performa lemah pasar ETF BTC, yang terjadi selama libur akhir pekan di Amerika Serikat. 

Trader Tokocrypto, Fyqieh Fachrur menuturkan, di sisi lain arus masuk ke ETF Bitcoin spot mencapai USD 2,2 miliar atau setara Rp 34,3 triliun (asumsi kurs Rp 15.629 per dolar AS) antara 12 Februari dan 16 Februari, menunjukkan minat yang kuat dari investor. 

"Meskipun demikian, Bitcoin hanya mengalami kenaikan sekitar 7%, menghadapi resistensi kuat di dekat USD 52.000 atau setara Rp 812,7 juta,” kata Fyqieh kepada Liputan6.com, ditulis Selasa (20/2/2024).

Sentimen Negatif Jangka Pendek

Fyqieh menambahkan salah satu kekhawatiran jangka pendek adalah potensi penjualan saham Grayscale Bitcoin Trust senilai sekitar USD 1,3 miliar atau setara Rp 20,3 triliun oleh Genesis, untuk membayar kreditor. Meski demikian, hal ini tidak mempengaruhi minat investor terhadap Bitcoin dan pasar kripto secara keseluruhan. 

Bitcoin Fear & Greed Index masih menunjukkan kenaikan pada Senin mencapai 75 poin di level Greed. Hal ini menunjukkan optimisme dari pergerakan pasar Asia pada hari tersebut, yang mungkin mendorong investor untuk melakukan pembelian atau mempertahankan posisi mereka. 

"Pergerakan Bitcoin pada awal pekan ini mungkin belum terlalu kuat, terutama karena minggu perdagangan ini singkat akibat libur Presidents' Day di Amerika Serikat pada Senin,” ujar Fyqieh.


Peristiwa Penggerak Pasar

Ilustrasi Kripto, Crypto atau Cryptocurrency. Foto: Freepik/Frimufilms

Meskipun demikian, beberapa peristiwa penggerak pasar dijadwalkan untuk beberapa hari ke depan, termasuk risalah pertemuan FOMC The Fed Januari dan laporan pendapatan Nvidia (NVDA). 

Risalah pertemuan FOMC Januari dapat memberikan wawasan lebih lanjut tentang keputusan pejabat Fed untuk tidak memulai pelonggaran kebijakan pada kuartal pertama 2024, seperti yang diperkirakan sebelumnya oleh pasar. 

Kemungkinan penurunan suku bunga oleh The Fed pada Juni, dengan kemungkinan penurunan pada Mei, meningkat menjadi sekitar 44%. Selain itu, perilisan data PMI Februari akan menjadi indikator penting bagi perekonomian AS, digunakan oleh para ekonom dan analis untuk memahami perubahan kondisi ekonomi. 

Sentimen terhadap Bitcoin tetap kuat, terlihat dari tren pasar derivatif yang menunjukkan para pedagang bersikap lebih bullish. Dengan open interest Bitcoin yang saat ini berada di puncak sejarahnya, potensi kenaikan dapat memanfaatkan momentum positif untuk memperpanjang reli ke wilayah USD 53.000 atau setara Rp 828,3 juta.

 

Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.


Indonesia Diminta Tiru Thailand Bebaskan PPN untuk Transaksi Kripto

Ilustrasi Kripto (Foto: Traxer/unsplash)

Sebelumnya diberitakan, Thailand telah mengambil langkah progresif dalam regulasi pajak terkait aset digital dengan menghapuskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 7 persen untuk transaksi perdagangan kripto. Keputusan ini dirancang untuk mendukung dan memfasilitasi pertumbuhan industri aset digital di negeri Gajah Putih tersebut.

Pembebasan PPN ini ditujukan bagi bursa kripto, pialang, serta platform kripto yang beroperasi di bawah pengawasan ketat dari Komisi Sekuritas dan Bursa Thailand. Dengan berlakunya kebijakan ini efektif per 1 Januari 2024, Thailand menunjukkan komitmen kuatnya untuk mengembangkan ekonomi digitalnya.

Langkah ini bukanlah yang pertama, mengingat pada Mei 2023, Thailand telah membebaskan transfer aset kripto dari kewajiban PPN. Kebijakan pembebasan pajak ini diharapkan dapat mendorong lebih banyak aktivitas dalam pasar aset digital Thailand dan memperkuat posisi negara sebagai pusat inovasi dan perdagangan aset digital di kawasan.

Perbandingan yang mencolok terlihat dengan Indonesia, dimana pemerintah masih menerapkan PPN sebesar 0,11 persen dan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,1 persen untuk transaksi yang dilakukan melalui exchange atau pedagang aset kripto terdaftar.

Kondisi ini memunculkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri kripto Indonesia. CEO Tokocrypto, Yudhono Rawis menekankan pentingnya Indonesia untuk tidak tertinggal dalam penerapan regulasi yang mendukung pertumbuhan ekosistem kripto, dengan mengusulkan beberapa perubahan penting dalam kebijakan pajak kripto di Indonesia.

"Perkembangan kebijakan pajak kripto di Thailand, memberikan kami semangat optimisme. Kami berharap Indonesia dapat mengikuti langkah serupa untuk menciptakan regulasi kripto yang lebih ramah dan kompetitif. Hal ini diharapkan dapat mendorong inovasi dan pertumbuhan industri kripto di dalam negeri, sekaligus memberikan kejelasan hukum yang dapat meningkatkan kepercayaan investor dan pengguna," ujarnya, Minggu (18/2/2024).

 


Usul Penurunan Besaran Pajak

Koin Kripto atau Crypto. Disimak harga kripto hari ini.

Yudho menyarankan agar Indonesia kembali hanya mengenakan pajak atas keuntungan modal (capital gain) dan merevisi aturan PPN, mengingat aset kripto menurut undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) lebih cenderung diklasifikasikan sebagai aset keuangan atau sekuritas daripada komoditas.

Selain itu, ia juga mengusulkan penurunan besaran pajak yang saat ini berlaku, agar lebih kompetitif dan tidak menghambat perkembangan industri kripto di Indonesia.

"Skema capital gain hanya mengenakan pajak pada keuntungan yang diperoleh dari penjualan aset kripto, dan bukan pada setiap transaksi. Pendekatan ini dianggap lebih adil dan efisien, karena investor hanya dikenai pajak ketika mereka benar-benar menerima keuntungan ekonomi. Hal ini dapat mendorong lebih banyak orang untuk berinvestasi dalam aset kripto tanpa khawatir tentang beban pajak yang berat untuk setiap transaksi yang dilakukan," imbuhnya. 

Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) ini juga menjelaskan, skema tersebut dapat memudahkan pelaporan pajak bagi investor. Lantaran, mereka hanya perlu melaporkan transaksi yang menghasilkan keuntungan.

INFOGRAFIS: 10 Mata Uang Kripto dengan Valuasi Terbesar (Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya