Liputan6.com, Jakarta Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar mengatakan Indonesia sudah melalui masa wait and see pasca Pemilu 2024.
"Indonesia tidak pada periode wait and see seperti yang didengungkan sebelum pemilu," kata Mahendra dalam pembukaan Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2024, di Jakarta, Selasa (20/2/2024).
Advertisement
Ia berharap, semua pihak dapat menjadikan momen pasca Pemilu 2024 ini untuk meningkatkan pembangunan perekonomian nasional dan stabilitas industri keuangan.
"Harapan kita semua Presiden, Wakil Presiden beserta seluruh kabinet Indonesia maju, DPR, DPD, seluruh lembaga negara, dan masyarakat Indonesia menjadikan momen luar biasa itu untuk sprint akhir berlari cepat menuju garis finish yang gemilang dipenghujung presidensi Presiden dan masa tugas lembaga legislatif periode saat ini," ujarnya.
Menurutnya, jumlah pemilih pada pemilu tahun ini sangat banyak, yakni tembus 164 juta pemilih. Angka tersebut lebih besar dibandingkan jumlah pemilihan umum di dunia. Misalnya di Amerika Serikat hanya tercatat 158,43 juta Pemilih, Brazil 123,68 juta pemilih.
"Kita patut bersyukur bahwa minggu lalu masyarakat Indonesia sudah melaksanakan pesta demokrasi. Pemilihan umum dan Pilpres kelima setelah era reformasi dengan 204,8 juta pemilih terdaftar dan turn out atau sekitar 80 persen tepatnya 164 juta pemilih yang jauh lebih besar daripada jumlah pemilih Pilpres manapun di dunia ini," ujar Bos OJK.
Terbesar di Dunia
Artinya, dengan begitu Indonesia bukan lagi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, tetapi menjadi negara demokrasi Presidensial terbesar di dunia.
Selain itu, kata Mahendra, Pilpres di Indonesia dilakukan secara terbuka dan langsung, jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang dilakukan menggunakan perwakilan di setiap negara bagian.
"Oleh karena itu, kita harus menggunakan hal ini sebagai modalitas pembangunan perekonomian nasional dan stabilitas industri keuangan," pungkasnya.
Segera Listing, OJK Tetapkan Saham-Saham Ini sebagai Efek Syariah
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan sejumlah saham calon emiten sebagai efek syariah. Saham-saham calon emiten tersebut antara lain PT Harta Djaya Karya Tbk (MEJA), PT Topindo Solusi Komunika Tbk (TOSK), PT Homeco Victoria Makmur Tbk (LIVE), PT Bersama Mencapai Puncak Tbk (BAIK).
Selain itu, ada PT Ecocare Indo Pasifik Tbk (HYGN), PT Mitra Pedagang Indonesia Tbk (MPIX), dan PT Multikarya Asia Pasifik Raya Tbk (MKAP).
"Dikeluarkannya keputusan tersebut adalah sebagai tindak lanjut dari hasil penelaahan Otoritas Jasa Keuangan terhadap pemenuhan kriteria Efek Syariah atas Pernyataan Pendaftaran oleh PT Griptha Putra Persada Tbk," mengutip pengumuman OJK, Selasa (6/2/2024).
Advertisement
YLKI Terima 360 Aduan Sektor Jasa Keuangan sepanjang 2023, Mayoritas Soal Pinjol
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menerima ratusan laporan atau pengaduan di sektor industri jasa keuangan sepanjang 2023. Sebagian besar pengaduan tersebut mengenai pinjaman online (pinjol).
Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi menjelaskan, YLKI mencatat pengaduan mengenai jasa keuangan terus mendominasi pengaduan sejak 5 tahun terakhir. Pengaduan di komoditas jasa keuangan mencapai 38,2 persen atau kurang lebih 360 aduan dari total 943 aduan atau yang masuk sepanjang 2023.
Disusul aduan sektor e-commerce sebanyak 13,1 persen, telekomunikasi sebanyak 12,1 persen, aduan sektor perumahan 6,7 persen, serta aduan seputar listrik sebanyak 2,4 persen.
Khusus untuk komoditas jasa keuangan, aduan mengenai pinjol mencapai 50 persen. Aduan pinjaman online tersebut didominasi oleh pinjaman online ilegal yang disebabkan oleh rendahnya literasi digital dan inklusivitas finansial masyarakat.
“Jadi konsumen hanya membuka handphone dan mengklik tanpa membaca syarat dan ketentuan yang berlaku, bunga berapa, cara penagihan seperti apa dan konsumen banyak dikejar debt collcector. Di berita ada yg bunuh diri, dipecat dari perusahaan, cerai karena menyangkut utang piutang dengan pinjaman online,” ucapnya dikutip dari Antara, Selasa (23/1/2024).
Padahal, lanjut Tulus, pinjaman online terutama di negara-negara lain merupakan suatu gagasan yang positif karena bisa mempercepat inklusi keuangan. Namun di Indonesia, pinjaman online justru menjadi hal yang problematik karena masih lemahnya mitigasi dampak dan pengawasan yang bermuara pada pinjaman online ilegal.
Masalah Pinjol
Pada kesempatan yang sama, Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI Rio Priambodo merinci permasalahan pada pinjaman online adalah cara penagihan mencapai 33,6 persen, lalu permohonan keringanan sebanyak 6,6 persen, pembobolan/penipuan akun sebanyak 4,5 persen hingga tagihan bermasalah sebanyak 3,1 persen.
“Penipuan dan pembobolan di sektor jasa perbankan juga sangat tinggi. Ada soal penipuan dan pembobolan ini yang kami soroti karena pada 2022 sudah ada perlindungan data pribadi, hanya permasalahan ini terus kontinu dari tahun ke tahun soal penipuan dan pembobolan,” jelasnya.
Advertisement