Liputan6.com, Jakarta - Para pakar PBB menyoroti "tuduhan yang kredibel" mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang terus dialami perempuan dan anak perempuan Palestina di Gaza dan Tepi Barat di tengah serangan bertubi-tubi tentara Israel. Perempuan dan anak perempuan Palestina dilaporkan telah dieksekusi secara sewenang-wenang.
"Kami terkejut mendapati laporan mengenai penargetan yang disengaja dan pembunuhan di luar proses hukum terhadap perempuan dan anak-anak Palestina di tempat mereka mencari perlindungan, atau saat melarikan diri. Beberapa dari mereka dilaporkan memegang kain putih ketika dibunuh tentara Israel atau pasukan afiliasinya," kata para ahli, dikutip dari situs web Dewan HAM PBB, Selasa (20/2/2024).
Advertisement
Para ahli menyatakan keprihatinan serius atas penyanderaan sewenang-wenang terhadap ratusan perempuan dan anak perempuan Palestina, termasuk pembela hak asasi manusia, jurnalis, dan pekerja kemanusiaan, di Gaza dan Tepi Barat sejak 7 Oktober 2023.
Banyak di antara mereka yang dilaporkan jadi sasaran perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat, tidak diberi pembalut, makanan, dan obat-obatan, serta menghadapi pemukulan yang kejam. Para perempuan Palestina yang ditahan di Gaza diduga dikurung di dalam kandang di tengah hujan dan kedinginan, tanpa makanan.
"Kami sangat tertekan mendapati laporan bahwa perempuan dan anak perempuan Palestina yang ditahan juga jadi korban kekerasan seksual, seperti ditelanjangi dan digeledah tentara laki-laki Israel. Setidaknya dua tahanan perempuan Palestina dilaporkan diperkosa, sementara yang lain dilaporkan diancam dengan pemerkosaan dan pelecehan seksual," kata para ahli.
Menyerukan Penyelidikan Independen
Para ahli PBB juga mencatat bahwa foto-foto tahanan perempuan dalam 'kondisi merendahkan' juga dilaporkan diambil tentara Israel dan diunggah secara online. Sejumlah perempuan dan anak-anak Palestina, termasuk anak perempuan, pun dilaporkan hilang setelah kontak dengan tentara Israel di Gaza.
"Ada laporan yang meresahkan mengenai setidaknya satu bayi perempuan yang diambil secara paksa oleh tentara Israel ke Israel, dan tentang anak-anak yang dipisahkan dari orangtuanya, yang keberadaannya masih belum diketahui," kata mereka.
"Kami mengingatkan pemerintah Israel akan kewajibannya menjunjung hak hidup, keselamatan, kesehatan, dan martabat perempuan dan anak perempuan Palestina dan memastikan tidak ada seorang pun yang jadi sasaran kekerasan, penyiksaan, perlakuan buruk, atau perlakuan merendahkan martabat, termasuk pelecehan seksua," kata para ahli.
Mereka menyerukan penyelidikan independen, tidak memihak, cepat, menyeluruh, dan efektif terhadap tuduhan tersebut. Pihaknya juga mendesak Israel bekerja sama dalam penyelidikan tersebut.
"Secara keseluruhan, dugaan tindakan ini mungkin merupakan pelanggaran berat terhadap hukum hak asasi manusia dan kemanusiaan internasional, dan merupakan kejahatan serius berdasarkan hukum pidana internasional yang dapat dituntut berdasarkan Statuta Roma," kata para ahli.
Advertisement
Krisis Kemanusiaan yang Parah
Lebih dari empat bulan setelah perang Israel di Gaza berlangsung, warga sipil di wilayah kantong itu menghadapi krisis kemanusiaan yang parah. Kondisi mengenaskan ini pun tidak mengecualikan para bayi, yang mana banyak di antara mereka terancam malnutrisi, bahkan kelaparan.
Saking sulit, bayi berusia kurang dari enam bulan terpaksa diberi makanan padat, seperti kurma. "Saya tidak bisa membelikannya susu fomula karena kami tidak punya cukup uang. Kami bahkan tidak bisa membeli popok. Saya coba menyusuinya, tapi (ASI saya) seperti air," cerita seorang ibu, dikutip dari Middle East Eye, 10 Februari 2024.
"Ia tidak mau (meminum ASI saya), karena ia tidak merasakan nilai gizinya," si ibu menambahkan. Perang di Gaza telah memicu bencana kemanusiaan yang menyebabkan kekurangan bahan pokok. Beberapa yang paling terdampaknya adalah bayi, anak-anak, dan orangtua mereka, yang mana popok dan susu formula sulit didapat atau harganya melonjak hingga tidak terjangkau, lapor AP.
Penderitaan mereka semakin rumit karena pengiriman bantuan yang terhambat pembatasan Israel dan pertempuran yang tiada henti. Pengungsi Palestina juga semakin terdesak ke wilayah yang kian sempit, sehingga memicu wabah penyakit, yang mana anak-anak kekurangan gizi sangat rentan terdampak.
Bantuan Tidak Menjangkau Semua Orang
PBB mengatakan, penduduk Gaza berada dalam risiko kelaparan, dan seperempat penduduknya sudah kelaparan. Bagi warga Palestina yang mengalami kondisi yang semakin mengerikan, tindakan paling mendasar, seperti mengganti popok anak, telah jadi sebuah kemewahan yang membutuhkan pengorbanan.
Bantuan tidak menjangkau semua orang, dan kekurangan bahan pokok telah menyebabkan harga meroket. Dengan hancurnya perekonomian Gaza, hanya sedikit warga Palestina yang memiliki pendapatan tetap dan sebagian besar menghabiskan tabungan mereka atau hidup dari bantuan.
Di kios-kios darurat, anak-anak yang lebih besar bekerja sebagai pedagang asongan, menjual popok satuan dengan harga tiga hingga lima shekel (sekitarRp13 ribu--Rp21 ribu) atau satu bungkus dengan harga hingga 170 shekel (sekitar Rp723 ribu). Sebungkus popok sebelum perang berharga 12 shekel sekitar Rp51 ribu).
"Harga popok sangat tidak masuk akal," kata Anis al-Zein, yang membelinya di sepanjang jalan di pusat Deir al-Balah dan tidak memiliki hubungan keluarga dengan Zainab. "Seorang anak membuat Anda mengeluarkan uang 20 shekel (sekitar Rp85 ribu) sehari."
"Apalagi dalam situasi buruk seperti ini, semua harga melambung tinggi dan tidak ada pendapatan bagi masyarakat. Bahkan tidak ada bantuan," imbuhnya.
Advertisement