Pasca Surya Paloh Bertemu Jokowi, Partai Papan Tengah Dinilai Tak Siap Jadi Oposisi

Pertemuan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dan Presiden Jokowi menimbulkan sejumlah spekulasi, terkait isi perbincangan keduanya yang diduga berkaitan dengan koalisi dan rekonsiliasi.

oleh Jonathan Pandapotan PurbaMuhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 20 Feb 2024, 14:20 WIB
Presiden Jokowi (kanan) memberikan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana kepada Tokoh Pers Nasional, Surya Paloh di Istana Negara, Jakarta, Kamis (13/8) (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pertemuan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dan Presiden Jokowi menimbulkan sejumlah spekulasi, terkait isi perbincangan keduanya yang diduga berkaitan dengan koalisi dan rekonsiliasi.

Menanggapi hal itu, Pengamat Politik Ahmad Khoirul Umam menganalisis tindakan Surya Paloh adalah sebuah manuver sebab tindakannya tidak ada izin dari dua partai rekanan di barisan Perubahan yakni PKB dan PKS.

“Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan fungsionaris PKS mengkonfirmasi bahwa manuver Paloh itu tidak atas sepengetahuan partai-partai Koalisi Perubahan lainnya. Karena itu, wajar kalau saat ini santer gonjang-ganjing di internal Koalisi Perubahan yang mulai gusar karena khawatir merasa akan dikhianati,” kata Umam seperti dikutip dari keterangan tertulis diterima, Selasa (20/2/2024).

Umam menambahkan, tidak heran jika akhirnya PKS dan PKB mempertanyakan spirit perubahan dalam diri Surya Paloh dan Nasdem. Apalagi jika mengingat pernyataan Capres Nomor Urut 1 Anies Baswedan saat debat Capres, banyak pemimpin politik yang tidak tahan menjadi oposisi, karena membuat mereka tidak bisa berbisnis.

“Manuver Paloh ini tampaknya memanfaatkan momentum pasca statemen Prabowo Subianto, yang menyatakan siap merangkul semua pihak di Kubu 01 dan 03 untuk memperkuat pemerintahannya,” jelas dia.


Ketergantungan Politik

Pria yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (INDOSTRATEGIC) ini melihat, realita Pilpres 2024 tidak menghadirkan coat-tail effect sama sekali bagi partai yang dipimpin Prabowo Subianto. Diketahui, Gerindra pada hasil hitung cepat sementara harus berpuas diri berada di peringkat ketiga dengan elektabilitas 13 persen.

“Konsekuensinya, Prabowo akan memiliki tingkat ketergantungan politik (political dependency) yang sangat tinggi untuk menjaga stabilitas politik dan pemerintahannya di fase transisi awal kekuasaan yang seringkali penuh turbulensi,” tutur Umam.


Harus Kumpulkan 70 Persen Suara

Maka dari itu, jika Prabowo menginginkan smooth landing setidaknya harus bisa mengumpulkan sekitar 70 persen kekuatan politik di parlemen.

“Kesempatan tersebut seolah menjadi peluang emas bagi partai-partai papan tengah untuk putar balik dari koalisi lama, dengan membelot pada kubu pemenang. Sebab, partai-partai kelas tengah cenderung tidak siap berhadap-hadapan dengan kekuasaan,” yakin Umam.

“Mereka juga tampaknya tidak siap untuk menanggung resiko dan konsekuensi ekonomi-politik dan stabilitas internal partainya, ketika mereka harus berpuasa dari kekuasaan,” imbuh dia menandasi.

Infografis Ragam Tanggapan Kode Jokowi Usai Pertemuan dengan Surya Paloh. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya