Pemicu Fenomena Penggemar Taylor Swift yang Toksik Menurut Ahli Psikologi

Siapa di antara kalian yang Swifties? Kalian harus tahu bahwa ada penggemar Taylor Swift yang toksik.

oleh Putri Astrian Surahman diperbarui 27 Feb 2024, 14:00 WIB
Pada kesempatan ini, Taylor Swift hadir dengan tube dress dengan belahan tinggi yang memberikan efek kaki jenjang saat dikenakan. [Foto: Instagram/ Taylor Swift]

Liputan6.com, Jakarta - Keberadaan penggemar melengkapi kiprah karier seorang bintang, tak terkecuali dengan Taylor Swift. Penyanyi dunia yang memiliki 281 juta pengikut di Instagram itu memiliki penggemar setia yang dijuluki Swifties. 

Para penggemar pemenang 14 Grammy Award itu berasal dari seluruh dunia yang membentuk komunitas online dan terdiri dari jutaan orang. Mereka sering membedah lirik lagu idolanya, mencari petunjuk perilisan album, karaoke bersama di suatu tempat dengan lagu-lagu Taylor Swift, hingga mendiskusikan kehidupan dan karya lain Taylor Swift.

Swifties terbagi menjadi dua faksi: mereka yang sangat mendukung dan mereka yang toksik sampai nekat menyerang orang yang tidak sependapat dengan mereka. Ketika orang-orang non-Swifties masuk ke dalam diskusi publik untuk mengungkapkan apa pun selain pujian, pasukan penggemar yang toksik biasanya yang paling berdedikasi dan siap untuk melawan orang-orang yang dianggap sebagai pengkritik ratu mereka.

Itu dialami pula oleh Reporter Pertahanan Business Insider Chris Panella. Ia mengaku pernah menerima ancaman pembunuhan karena "mengkritik dengan lembut" konser Taylor Swift yang sangat sukses.

Panella menyatakan bahwa meskipun menganggap pertunjukan itu sebagai "prestasi yang luar biasa", dia juga merasa bahwa pertunjukan itu "terkadang gagal". Dia mengaku lebih menyukai "kohesi, tema, produksi, dan komunitas" Renaisans Beyoncé. 

Membaca kritik itu, sejumlah Swifties menjadi sangat marah. Panella hingga dituduh melakukan pedofilia dan diberitahu bahwa anggota keluarganya akan 'ditipu' atau informasi pribadi mereka akan dirilis sebagai pembalasan. "Saya terkejut dan merinding melihat sejauh mana hal ini terjadi," tulis Panella, dikutip dari Newsweek, Rabu, 21 Februari 2024.


Fenomena Stanning

Ilustrasi ancaman. (Photo by Sofia Sforza on Unsplash)

Penggemar-penggemar yang toksik semacam ini sangat melampaui batas. Mereka bertindak seolah mereka adalah kerabat dekat dari idolanya atau bertindak seolah tidak boleh ada yang menyerang 'ratuku', sekalipun itu kritik halus. Tingkat fandom ini sering disebut sebagai "stanning". Istilah ini dipopulerkan oleh hit Eminem pada 2000.

Hampir mirip dengan penggemar yang toksik, dalam fenomena ini biasanya penggemar bertindak seolah mereka memiliki hubungan darah atau memiliki ikatan kerabat dengan idola favorit mereka. Profesor Ilmu Politik di Universitas Connecticut, Jeffrey R. Dudas, Ph.D., mengatakan kepada Newsweek bahwa ada "ironi besar" dalam klaim istilah tersebut.

"Fenomena stanning menunjukkan betapa banyaknya komunitas penggemar yang mendapat informasi dari apa yang oleh para pakar disebut sebagai hubungan 'parasosial', di mana penggemar membayangkan diri mereka memiliki hubungan pribadi yang dekat dengan selebriti favorit mereka," katanya.

Penggemar toksik seperti ini sangat tidak sehat. Alih-alih mendukung idolanya, keberadaan mereka justru seringkali membuat jelek nama idolanya padahal idolanya tidak mengharapkan dukungan berlebihan seperti itu.


Fenomena ‘Stanning’

Konser itu jadi kesempatan pertama Taylor Swift dan Swifties bertemu langsung di Argentina. (AP Photo/Natacha Pisarenko)

 

Psikiater Beverly Hills, Carole Lieberman, M.D. mengatakan kepada Newsweek bahwa penggemar jenis ini lebih banyak merugikan daripada menguntungkan dalam upayanya menjunjung tinggi kejayaan idolanya. 

"Penggemar fanatik atau stans adalah fenomena budaya tidak sehat, yang berkembang karena anonimitas media sosial dan internet," kata Lieberman. "Mereka mungkin mengira mereka mendukung bintang favoritnya, namun menghubungkan sikap negatif mereka dengan seorang bintang tidaklah baik bagi siapa pun baik orang yang mereka serang, sang bintang, maupun diri mereka sendiri," sambungnya.

Parasosial adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antara penggemar dan idola mereka. Dalam kasus seperti ini, Taylor Swift bukan satu-satunya bintang yang memiliki banyak pengikut. BTS didukung oleh ARMY-nya, Nicki Minaj mendapat dukungan dari Barbie-nya, dan bintang besar lainnya.

Biasanya antar-fandom dengan fandom lainnya sering terjadi adanya adu domba idola mereka, bahkan ketika tidak ada persaingan di antara idola mereka sekalipun.


Elemen Parasosial dari Fandom

Ratusan ribu ARMY, fans BTS, berkumpul di Seoul, Korea Selatan dalam acara perayaan anniversary ke-10 BTS pada Sabtu (17/6/2023). (AFP)

Kasus penggemar toxic dari Taylor Swift bukan yang pertama kali terjadi. Jenis perilaku ekstrem yang dapat diakibatkan oleh adanya hubungan parasosial berupa 'pertahanan' agresif terhadap tim favorit seperti dalam bentuk serangan pedas atau bahkan hingga tindakan kekerasan fisik, jelas bukanlah hal yang baru.

Dudas juga mengatakan kepada Newsweek bahwa kita tidak boleh membayangkan bahwa hubungan parasosial semacam ini hanya terjadi pada tokoh-tokoh dunia hiburan saja, namun juga di bidang lain.

Dalam kesempatan berbeda, Kepolisian New South Wales (NSW) mengeluarkan peringatan keras bagi para penggemar Taylor Swift yang akan menonton konser The Eras Tour pekan lalu. Penjabat Asisten Komisaris Kepolisian New South Wales, Andrew Holland mendesak para Swifties, sebutan bagi penggemar Taylor Swift, yang tidak memiliki tiket untuk tidak nekat datang ke area stadion. Dia juga memperingatkan mereka yang hadir untuk berperilaku baik dan tidak berbuat rusuh.

"Perilaku anti-sosial tidak akan ditoleransi. Polisi akan bertindak adil dan tegas untuk memastikan semua orang bersenang-senang tanpa mengganggu keselamatan orang lain, jadi tolong untuk saling menjaga," sebut Holland, dilansir dari news.com.au, Rabu, 21 Februari 2024.

Infografis Konser Musik Pilihan 2023 di Indonesia.  (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya